Sedang Membaca
Menjangkau Aforisme Keihlasan
Jamalul Muttaqin
Penulis Kolom

Penulis esai dan pemerhati ilmu tasawuf. Tinggal di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta

Menjangkau Aforisme Keihlasan

Menjangkau Aforisme Keihlasan

Setiap perbuatan manusia di mana pun dan kapan pun, selalu memiliki dasar, prinsip, bahkan hingga aturan hukum. Bahasa yang lebih umum adalah landasan untuk berbuat. Landasan apa yang paling penting dan dibutuhkan? Landasan keihlasan, ketulusan dari lubuk hati, yang disandarkan pada niat atau pernyataan tertentu.

Imam Nawawi (631 H) menempatkan niat dalam kitab Riyadus al-Sholihin pada bab pertama. Barangkali Imam Nawawi ingin menjelaskan bahwa proses belajar, apapun bentuknya, dan di bidang apa pun seperti keagamaan, politik, dan sosial,  memerlukan keihlasan.

Sebagai seorang ahlul Hadis, tentu Imam Nawawi tak mempersoalkan secara  filosofis tentang batasan arti dari terma ihlas tersebut. Namun, Imam Nawawi menekankan bahwa ihlas adalah inti sari dari kehidupan. Mari kita coba mencari-cari di balik pengertian keihlasan tesebut:

Mencari bentuk definisi yang tepat

Membicarakan definisi ihlas memang sulit bin rumit, karena sifatnya yang tak tampak, samar, dan hanya bisa dirasa dengan dugaan-dugaan.  Ihlas tak terbatas, dan tak dapat diketahui bentuknya, baik melalui termometer logika manusia maupun dengan kecanggihan teknologi.

Imam al-Qusyairi (376 H), pengarang kitab babon tasawuf Risalah al-Qusyairiyah, mengatakan, ihlas adalah sirrun min sirri yang berarti rahasia dari rahasia Allah. Jadi, tak ada yang tahu. Al-Qusyairi menyitir perkataan tersebut dari salah satu Hadis riwayat Hudzaifah.

Junayd dan Dzun Nuun al-Mishry, pernah berkata: “al-Ikhlas la yatimmu illa bissidqi fihi, wassabru alaihi, wassidqu la yatimmu illa bil ikhlas fihi wa al-madzumatu alaiha,”, demikian Dzun Nuun al-Mishry menyandingkan proses keihlasan dengan cara-cara riyadah atau usaha melalui cara-cara kejujuran. Sebaliknya, kejujuran tak dapat diperolah dengan cara-cara yang culas atau bohong, kejujuran hanya dapat diperoleh dengan cara ihlas yang tak terbatas.

Baca juga:  Al-Ghazali tentang Akhlak

Qusyairiyah lewat perkataan Sahl menjawab teka-teki ihlas itu sebagai berikut; “la ya’rifu al-riya’ illa mukhlisun,” menurut Sahl orang yang merasakan ihlas adalah orang ketika dalam satu waktu merasakan terpaan antara keihlasan dan riya’. Artinya, orang tersebut bisa membedakan antara keduanya.

Al-Qusyairiyah sependapat dengan al-Fudhail, cara menempatkan ihlas dan riyak pada satu ruang dan waktu yang sama,  “jika manusia meninggalkan perbuatan karena takut dipuji orang, itu sama artinya dengan riya’, dan berbuat karena ingin dipuji orang itu adalah syirik, sedang ihlas adalah ketika Tuhan menyembuhkan dari dua penyakit tersebut”.

Syahdan, dari saking rahasianya keihlasan itu, Junayd bahkan mengatakan bahwa malaikat pencatat amal (Rakib dan Atit) tidak mengetahui sedikit pun tentang perbuatan apa yang ingin ditulisnya. Oleh karena itu, setan tak dapat merusaknya, bahkan nafsu pun tak menyadarinya untuk mempengaruhi apa yang manusia perbuat.

Degradasi mencapai keikhlasan

Lantas bagaimana cara mendapatkan keihlasan jika sebenarnya ia tak pernah hilang, akan tetapi bersembunyi di balik diri manusia itu sendiri?

Sampai di sini, masih banyak orang yang menyatakan dirinya sebagai yang paling ihlas, sebagai yang paling mampu melakukan keihlasan dengan ukuran yang dipaksakan. Keihlasan tersebut mereinkarnasi bagai fatamorgana, merusak segala kualitas amal hingga menggugurkan “keihlasan” yang dimaksud.

Baca juga:  Kapan Kita Harus Berhenti Berdo’a?

Jangan gampang percaya kepada orang yang mengatakan ihlas berbuat sesuatu semata karena Tuhan. Fenomena ini banyak dijumpai di berbagai situasi dalam kehidupan manusia, dalam soal politik, percintaan, masyarakat, atau bahkan urusan agama sekali pun. Merasa bangga karena keihlasannya diketahui oleh saudaranya, temannya, kenalannya,  daripada Tuhannya, padahal ihlas karena Tuhan adalah tujuan awal yang dicari.

Ihlas adalah penilaian Tuhan. Manusia hanya dapat menciptakan suatu perbuatan secara murni, terbebas dari campur tangan manusia lain, dan alasan-alasan lain. Ia bukan barang yang dapat dipromosikan lewat aforisme-aforisme di depan khalayak umum, ia bukan barang antik yang dapat dijual apalagi dipoles bagai mesin doktrinasi yang dijejalkan kepada orang lain untuk mengakui akan perbuatan secara mutlak.

Tanda-tanda ihlas

Ihlas bagi Dzun Nuun al-Mishry dapat dijelaskan melalui gelagat atau melalui tanda-tanda. Dari sinilah Dzun Nuun al-Mishry membuat metodologi kerangka untuk menggapai keihlasan:

Pertama, manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Manusia menjadi tuli dan buta, ia sebatas mendengar dan melihat dengan suara hatinya. Tak jarang penulis menemukan beberapa ulama yang mendapat kecaman kafir sedang di waktu yang lain menuai pujian, taruhlah di sini al-Hallaj, Ibn Arabi, Abu Yazid, dan para ulama-ulama yang arifin dan khuwasul khawas.

Kedua, manakala manusia melupakan amal ketika beramal. Bagi Rasullah ia adalah orang-orang yang ketika memberi dengan tangan kanan sedang tangan kiri tak mengetahuinya. Sungguh, perbuatan mulia ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang narsis beramal baik; pamer urusan ibadah kepada Allah di media sosial; membanggakan dirinya seolah dijamin masuk surga.

Baca juga:  Kisah-kisah Hikmah (5): Seorang Pencuri dan Nelayan

Ketiga, manakala manusia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya. Tingkatan yang ketiga ini mengingatkan saya kepada Rabiah al-Adawiyah saat berjalan menenteng satu ember air dan membawa satu sulu yang menyala, Rabiah ditanya, ia akan memadamkan api neraka dan membakar surga agar manusia tak lagi menyembah Allah karena alasan-alasan tersebut. Sungguh al-Adawiyah adalah representasi manusia yang melupakan semua balasan terhadap perbuatan baiknya selama di dunia.

Memang, sejauh perkembangan atmosfer ilmu pengetahuan, belum ada pembahasan memuaskan yang memberikan konsep utuh mengenai ihlas. Tidak ada jalan pintas untuk menempuh keihlasan, apalagi semata-mata karena definisi dan istilah.

Mari kita melongok ke belakang, pada 16 abad yang lalu, ketika al-Qusyairi memahami dan memahamkan ihlas dengan pernyataan yang susah dibantah. Tasfiyatu al-fi’li min mulahati al-makhlukina. Maksudnya, ketika ihlas itu terbebas dari campur tangan kepentingan manusia, ia akan sampai pada ihlas yang tak terbatas. Ihlas yang terbebas dari “sekadar” epistemologi atau aksiologi.

Wallahu’alam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top