Ada satu pondok pesantren kecil yang ketika itu baru saja selesai mengadakan acara. Acaranya dimulai dari pukul sembilan pagi sampai pukul dua siang. Karena musalanya sebagian masih banyak barang, shalat jemaah “diliburkan”, karena darurat.
Nah, seperti biasa ada satu santri yang tiba-tiba shalat sendirian, lalu disusul oleh beberapa santri termasuk juga kiainya untuk ikut bermakmum padanya. Ada kira-kira dua baris makmum yang masbuk. Shalat Jamaah tidak betul-betul libur.
Setelah imam salam, semua makmum berdiri. kemudian Fikri santri yang bisa dikatakan agak nakal datang mau mengikuti berjamaah juga. Setelah melihat semuanya berdiri dan tak tampak ada imamnya, Fikri yang ngajinya gak terlalu serius mikir, “Loh, kok gak ada imamnya sih, masa aku yang baru datang bisa langsung jadi imam.”
Fikri agak lama mikir. Ia mencoba mengingat-ingat materi tentang berjemaah. Tak lama kemudian ia ingat meteri yang pernah disampaikan pak kiai megenai cara shalatnya makmum masbuk bahwa kita harus menepuk teman kita yang akan dijadikan imam. Tetapi Fikri mikir lagi, “Emm.. Kalau imamnya banyak gini gimana ya?”
Sejurus kemudian, kali ini tanpa banyak bermikir, takut keburu semuanya selesai, Fikri langsung menepuk satu per satu dua baris makmum masbuk yang shalat tersebut, tak terlewatkan kiainya juga ia tepuk. Ia lalu berdiri di belakang mereka dengan niat bermakmum kepada semuanya.
Ketika semua yang masbuk selesai shalat, lantas semuanya menoleh kepada Fikri. Semuanya sekuat tenaga menahan tawa. Kiainya pun tersenyum sejenak kepada Fikri.
Fikri yang merasa tak enak dipandangi, langsung memejamkan mata layaknya orang khusuk, padahal keringat mengalir deras di badannya.