Malam lailatul qadar, bagi umat muslim menjadi buron-buronan massa. Salah satu tempat beburu yang diyakini mustajab dalam meraihnya adalah masjid tua yang berada di daerah Tegalsari yang berjarak 12 km sebelah selatan dari pusat kota Ponorogo.
Masyarakat yang datang tidak hanya berasal dari Ponorogo dan karisidenan Madiun saja akan tetapi, beberapa kota-kota besar lainya seperti Kediri, Solo, Yogya dan beberapa kota lainnya. Malam-malam ganjil di akhir Ramadhan menjadi waktu yang paling ramai selain faktor isyarah turunya lalilaul qadar, bagi sebagian masyarakat menjadi momentum untuk berziaroh dan mendapatkan ketenangan di lokasi tersebut.
Tegalsari menjadi pilahan utama masyarakat dalam mendapatkan lailatul qadar dan berziaroh disebabkan, tempat tersebut adalah pusat peradaban Islam pada abad ke-18 M dan menjadi cikal bakal beberapa pesantren di Ponorogo dan wilayah sekitarnya. Kiai Ageng Muhammad Besari sebagai pendiri dan tokoh penyebar agama Islam yang makamnya terletak di belakang masjid dipercaya dapat memberikan keberkahan dan ketenangan kepada siapapun yang menziarohinya.
Masjid tua bagi kalangan masyarakat Indonesia, terlebih Jawa dipercaya memiliki nilai sakralitas dan terdapat aura ketenangan dan kenyamanan tersendiri dibandingkan dengan beberapa tempat ibadah atau bangunan masjid yang baru dibangun tahun-tahun belakangan. Kepercayaan tersebut menjadikan masjid Tegalsari menjadi pilihan utama, tidak hanya masyarakat lokal. Namun, masyarakat dari beberapa wilayah di Indonesia.
Tingkat peziarah dan jamaah yang melakukan iktikaf di masjid mengalami peningkatan yang signifikan di malam-malam akhir bulan Ramadhan telebih malam ganjil. Saking banyaknya bahkan, para jamaah baru bisa keluar dari lokasi masjid Tegalsari menjelang adzan subuh berkumandang. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya jamaah yang beribadah dan antrian parkir yang lama dan panjang, sehingga membutuhkan waktu agar bisa keluar dari lokasi beribadah.
Saat penulis berada di warung kopi, tanpa sengaja mendengarkan obrolan dari beberapa masyarakat tentang turunya lailatul qadar yang bertepatan dengan tanggal 27 Ramadhan masjid ini bakalan ramai, jika tidak berangkat duluan kita ngak kebagihan tempat di dalam masjid nanti. Akhirnya mereka bersepakat untuk berangkat lebih dulu agar bisa berziarah dan mendapatkan tempat di dalam masjid dan bisa pulang lebih dulu, karena dengan berangkat duluan akan bisa memilih tempat parkir yang strategis dan dekat dengan jalan raya.
Strategi menjemput lailatul qadar dengan berangkat lebih awal dan menempatkan kendaraan di tempat yang dekat jalan raya menjadi kebiasaaan yang sering dilakukan bagi jamaah yang sering berkunjung di makam dan masjid Tegalsari. Strategi tersebut diturunkan dan disebarluaskan secara turun-temurun melalui kehangatan dan keakraban obrolan di warung kopi.
Sejarah dan Silsilah Tegalsari Ponorogo
Pesantren Tegalsari jika merujuk pada konsep pesantren ala Zamakhsyari Dhofier yang memuat lima elemen pokok yaitu pondok, masjid, kiai, santri, kitab kuning. Maka, pondok pesantren Tegalsari yang memiliki nama asli pesantren Gebang Tinatar inilah yang tergolong pesantren tertua di Indonesia, hal senada juga diungkapkan seorang atropolog bernama Martin Van Bruinesen.
PesantrenTegalsari sendiri didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari atas perintah gurunya bernama Kiai Donopuro dari Desa Setono yang masih keturunan dari sunan Bayat seorang adipati Semarang. Silsilah Kiai Ageng Muhammad Besari dari jalur ayah yakni Kiai Anom Besari jika diruntut masih termasuk keturunan Brawijaya V yang memerintah kerajaan Majapahit, sedangkan dari jalur ibunya yakni Nyai Anom masih keturunan dari Nabi Muhammmad SAW dari sunan Ampel.
Dalam perjalanan menyebarkan agama Islam Kiai Muhammad Besari didampingi oleh sang istri yakni putri dari Kiai Nur Salim yang masih keturunan dari Ki Ageng Mentawis atau Ki Ageng Pemanahan. Pesantren Tegalsari dengan nama asli pondok pesantren Gebang Tinatar berdiri pada tahun 1742 M dalam sejarahnya menjadi pusat pendidikan dan peradaban Islam di pulau Jawa.
Sejarah majunya peradaban dan pendidikan Islam di pesantren Gebang Tinatar ditunjukkan oleh kegemilangan dalam mendidik santri. Sejauh pengamatan dan penelusuran penulis, ada beberapa tokoh terkenal yang dulunya nyantri di pesantren Gebang Tinatar Tegalsari, yakni Kiai Abdul Mannan kakek dari Syekh Mahfudz Termas, R. Ngabehi Ronggowarsito pujangga keraton Surakarta, Kiai Iskhaq pendiri pesantren Coper Ponorogo, Cokronegoro Bupati Ponorogo pada tahun 1856-1882 yang kemudian melahirkan cucu bernama HOS Tjokroaminoto, Kiai Sulaiman Jamal pendiri pesantren Gontor yang kemudian beberapa tokoh diatas melahirkan para cendekiawan dan negarawan yang tersebar di seluruh penjuru dunia, sebut saja I.r Soekarno yang merupakan murid dari HOS Tjokroaminoto dan beberapa tokoh bangsa lainnya.
Faktor sejarah dan sebagai pusat peradaban itulah yang menjadikan aura kesejukan dan ketenangan Tegalsari masih bisa dirasakan hingga sekarang, sehingga menjadi tempat prioritas utama umat Islam dalam berburu lailatul qodar.