Di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul ‘The dobby effect vs the religious abuse effect’ : jalan damai vs jalan brutal’ saya menjelaskan bahwa rasa bersalah dalam membangkitkan perilaku agresif yang dimediasi oleh lembaga agama dalam hal ini organisasi agama dan karakter pemimpin agamanya sehingga dapat menimbulkan ‘the religious abuse effect’. Yaitu efek tekanan mental yang dialami seseorang akibat tindakan lembaga agama atau pemimpin agama yang mampu merubah pola berfikir dan harga diri seseorang.
Namun demikian harus digarisbawahi, bahwa ‘the religious abuse’ muncul bukan karena esensi dari agama itu sendiri. Tetapi dari peran agama sebagai sebuah institusi. Karena pada kenyataannya agama merupakan sumber orientasi moral seseorang. Dengan demikian, karakter individu sangat berpengaruh dalam menentukan sikap ketika penuh tekanan.
Terkait hal ini Mc Gregor, Hayes, Prentice (2015) di dalam artikelnya yang berjudul ‘motivation for aggressive religious radicalization: goal regulation theory and a personality x threat x affordance hypothesis’ menjelaskan bahwa terdapat tiga karakter individu yang dapat melakukan tindakan agresif karena keberagamaannya sehingga agama tampak menjadi ‘abusive’.
Pertama individu dengan karakter ‘facist extremes’ yaitu mereka yang cenderung esktrim dalam menjalankan nilai agamanya dan disertai dengan kecenderungan untuk menjadi fasis. Hal ini disebabkan karena penyerahan diri terhadap nilai-nilai ideal moral yang abstrak yang mungkin sulit untuk mendapatkan dukungan dari orang orang di sekelilingnya.
Kedua, individu yang sangat konservatif, yaitu mereka yang sangat menekankan pada konsesus yang menjadi fondasi dasar moral di dalam kelompoknya dengan otoristas yang kaku, loyalitas berlebihan, dan kesadaran akan kesucian yang kadang bersanding dengan berbagai nilai keadilan sosial yang universal sebagai fondasi moral mereka. Ketiga, individu yang ‘anxiety and frustating’ yaitu mereka yang rapuh dalam situasi kondisi tertentu dapat menjadi konduktor pada tindakan tindakan agresi.
Dalam hal ini Rahchman di tahun 1997 seperti yang dikutip oleh Inozu, Karanci & Clark (2012) di dalam artikelnya yang berjudul ‘why are religious individuals more obsessional? the role of mental control beliefs and guilt in Muslims and Christians’ menemukan bahwa pemahaman keagamaan dan nilai moral yang ketat dapat menjadi latar belakang tindakan seseorang untuk mengambil tindakan yang dianggap sebagai ‘morally acceptable’ yang kemudian mampu menyingkirkan segala bentuk kesdaran sebagai bagian dari proses untuk menghinari rasa bersalah.
Selain itu, riset yang dilakukan oleh Sliwak & Zarsycka (2012) yang berjudul ‘the interplay between post-critical beliefs and anxiety: an exploratory study in a Polish sample’ menemukan bahwa cara pemahaman agama yang literalis dan ortodox secara positif berhubungan dengan ‘guilt proness’. Dalam hal ini religious fundamentalisme di yakini menjadi bagian dari cara keberagamaan yang rawan menimbulkan ‘religious abuse’.
Riset yang dilakukan oleh Simpson, Herman, Lehtman, & Fuller (2016) dalam artikelnya yang berjudul ‘interpersonal transgressions and interest in spiritual activities: the role of narcissism’di kalangan masyarakat Katolik dan Protestan menemukan bahwa orang yang taat di kedua agama tersebut lebih cenderung ditemukan mengalami ‘guilt -prone’ dibanding yang tidak memiliki afiliasi keagamaan. Riset yang lain ditemukan oleh Inozu dkk (2012) bahwa orang yang dengan tingkat keberagamaan tinggai di kelompok Kristen dan Muslim mengalami obsesi yang tinggi yang berpengaruh terhadap tingginya tingat ‘personal guilt’ dan keyakinan bahwa mereka seolah memiliki tanggung jawab untuk mengkontrol berbagai ‘pemikiran’ yang ‘morally acceptable’ yang seharusnya mereka miliki.
Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa fenomena ‘the religious abuse’ ini tidak hanya terjadi di dalam agama Islam tapi juga di agama Katolik dan Protestan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Berdasarkan pemaparan di atas, baik di dalam sel teroris maupun di luar sel teroris peran seorang pemimpin agama sangat signifikan. Dengan demikian, yang pertama, perhatian kita terhadap persoalan ini harus menjadi kesadaran bersama. Bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat mengelola ini semua ? Kebijakan pemerintah dan sikap kritis masyarakat terhadap kualitas dan keterpercayaan pemuka agama sangat dibutuhkan.
Kedua, untuk mengimbangi informasi yang cenderung memunculkan ‘the religious abuse effect’ maka dibutuhkan informasi penyeimbang yang fokus pada ‘pelanggaran’ di satu sisi dan ‘hukuman’ di sisi yang lain yang memungkinkan individu untuk dapat menemukan alternatif solusi dalam menyelesaikan persoalanya secara lebih adaptif dengan mendasarkan pada landasan/nilai nilai agama. Sehingga individu dapat merekonstruksi rasa bersalahnya dengan bentuk yang lebih progresif dan manusiawi.
Ketiga, terkait dengan publikasi di media. Banyak sekali riset yang membuktikan bahwa ketidakpedulian menjadi penyebab utama persoalan kemanusiaan termasuk terorisme dan islamofobia. Dalam kaitannya dengan media, saya pikir tiga karakter ketidak perdulian dari Douglas Pratt (2016) di dalam artikelnya yang berjudul ‘Islam as feared other: perception and reaction’ menjadi penting untuk dipertimbangkan. Sehingga dalam bermedsos, kita dapat secara efektif berkomunikasi dan menjaga diri kita agar tidak mengalami distorsi kognitif karena paparan informasi yang tidak penting atau terlibat dalam ‘adu chat’ yang tidak berguna.
Pertama, innocent ignorance atau dikenal dengan simplificiter ignorance yaitu kondisi naif yang mungkin dialami oleh seseorang karena malas untuk memberikan perhatian pada apa yang sedang terjadi. Artinya, orang ini sebenarnya tahu, tapi tidak berduli karena menganggap tidak penting. Cukup dengan mengatakan ‘I don’t know’ dan membiarkan masalah berlalu begitu saja. Kepada orang seperti ini, kita hanya butuh sedikit usaha untuk terus mengajak diskusi agar tumbuh kesadaran dan dapat berubah. Pendidikan dan informasi yang memadai tentu sangat dibutuhkan.
Kedua, blind ignorance yaitu orang yang terlahir memang memiliki kesulitan untuk berfikir karena barrier kognitif yang dimiliki. Dia kemungkinan tidak memahami apa yang sedang. Jikapun tahu, dia tidak tahu bagaimana harus menyampaikannya. Kepada mereka, kita cukup memberikan informasi yang mudah, sederhana, dan benar yang dapat membantu mereka untuk memhami sesuai dengan kapasitas intelektual mereka.
Ketiga adalah culpable ignorance yaitu orang yang secara aktif menolak untuk memahami dan menghindar jika ditantang untuk memahami sesuatu yang bertolak belakang dengan pengetahuan yang diyakininya dan yang dimilikinya. Dia menolak untuk tahu, lebih menekankan pada prejudice, dan mengelak berbagai argumentasi yang dia dapatkan yang dipandang bertolak belakang. Ketidakpedulian ini menurut penelitian dimiliki oleh kelompok fundamentalis dan extremist yang menafikan segala bentuk alternaif pemikiran karena telah dipandang final dan selesai.
Pratt menyebutnya sebagai ‘the international won’t know’ atau ‘the not wonting to know’ yang resisten teradap segala jenis informasi. Alih-alih membuka cakrawala diskusi, tipe yang satu ini menjadi ancaman kognitif bagi lawan bicaranya. Menghadapi mereka, hanya dengan fakta dan informasi yang langsung tertuju pada konsep dan informasi yang mereka yakini. Atau, jika anda tidak cukup memiliki ilmu agama dan kesebaran cukup lakukan report dan tinggalkan.
Nah, kita mengambil peran untuk memberikan kontribusi di bagian yang mana? Mengambil peran sebagai apa? Media adalah ladang perjuangan kita. Setiap dari kita memiliki peran yang signifikan dalam melawan narasi-narasi yang mampu mendistorsi kognisi yang menyulut kekacauan. Karena ketiga tipe ketidakpedulian ini nyatanya memberikan pengaruh terhadap kehidupan berbudaya dan beragama serta tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat kita. Hingga akhirnya seseorang jatuh ke dalam lingkaran the drifter lalu the misfit dan menjadi ‘bomber’ teroris.
Jadi, jangan diam saja sampai semuanya terlambat. Media sosial membutuhkan kepedulian kita semua.