Saat nyantri kepada Kiai Muhammad Kholil Bangkalan atau yang lebih dikenal dengan Syaikhona Kholil, K.H. Zainal Arifin (selanjutnya ditulis Kiai Zainal) dikenal sebagai santri yang alim dan nyentrik. Bagaimana tidak, ulama asal Sumenep ini mendapatkan jodoh perempuan yang menjadi istrinya karena memenangkan sayembara yang digelar gurunya, Syaikhona Kholil.
Cerita ini dituturkan oleh Nyai Hajjah Aqidah Usymuni, cucu Kiai Zainal dari keturunan Kiai Usymuni, pernikahan itu bermula dari sebuah sayembara mencari kitab—yang konon sengaja disembunyikan oleh Syaikhona Kholil agar tidak sembarang orang bisa menemukannya.
Benar saja, setelah sayembara berlangsung lama, tak satu pun dari peserta berhasil menemukan kitab tersebut. Padahal mereka telah mencari ke berbagai tempat, rumah, dan bahkan hingga lautan yang luas, akan tetapi kitab itu seakan lenyap ditelan bumi.
Tak disangka, Kiai Zainal-lah yang justru berhasil menemukan kitab tersebut. Sebagai imbalannya, Kiai Zainal kemudian dinikahkan oleh Syaikhona Kholil dengan salah satu ponakannya yang bernama Nyai Hatijah. Keputusan sang perestu Nahdlatul Ulama ini menikahkan Kiai Zainal dengan Nyai Hatijah untuk mempersiapkan generasi yang akan melanjutkan estafet dakwahnya menyebarkan Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sekaligus berjuang mengusir penjajah.
Tak ayal, dari pernikahannya ini, Kiai Zainal benar-benar dikaruniai seorang putra alim, kharismatik, dan namanya cukup masyhur di kalangan masyarakat Madura, yaitu Kiai Usymuni. Kelak, perjuangannya mengembangkan Pondok Pesantren Terate dan Nahdlatul Ulama Sumenep, dilanjutkan oleh putra sulungnya tersebut.
Kiai Zainal lahir pada tahun 1877 M di Desa Pandian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep. Ayahnya, Kiai Thalabuddin, merupakan ulama pembabat Desa Pandian yang masih tercatat sebagai keturunan Sunan Cendana Bangkalan. Sementara Ibunya, Nyai Aisyah, diyakini masih memiliki hubungan darah dengan penguasa terakhir kerajaan Majapahit, yaitu Brawijaya V.
Sanad Keilmuan Kiai Zainal
Ditinggal wafat sang ayah tak sedikit pun mengecilkan niat dan tekad Kiai Zainal dalam mencari ilmu. Setelah umurnya cukup, ia diantar oleh Ibunya, Nyai Aisyah, ke Pondok Pesantren Karay Sumenep yang masih diasuh pamannya sendiri, yaitu Kiai Imam. Di pesantren ini, Kiai Zainal dikenal sebagai santri yang alim, tawadhu, dan cerdas. Tidak jarang, ia berhasil meyelesaikan persoalan pelik di masyarakat dengan menyodorkan dasar hukum agama sebagai solusinya.
Pengembaraanya mencari ilmu terus berlanjut. Setelah dari Kiai Imam Karay, Kiai Zainal memuaskan dahaga keilmuannya ke Pondok Pesantren Syaikhona Kholil di Kademangan, Bangkalan, Madura. Selain memperdalam ilmu al-Quran, tauhid, dan kitab-kitab klasik, di pesantren ini Kiai Zainal juga mendapat doktrin jihad antikolonial yang kelak menjadi bekalnya berjuang melawan penjajah.
Kontribusi Lahirnya Terate, NU, dan Melawan Penjajah
Setelah mendapat restu dari kedua gurunya, yaitu Syaikhona Kholil dan Kiai Imam, Kiai Zainal kemudian mendirikan sebuah surau untuk mendidik umat di Desa Pandian, Kota, Sumenep. Surau inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Terate pada tahun 1898.
Diceritakan oleh K.H. D. Zawawi Imron, budayawan dan tokoh agama di Sumenep, pada masanya Kiai Zainal adalah pendidik keislaman yang tangguh. Kepedulianya akan nasib pendidikan oreng kenek (baca: masyarakat kecil)—di saat sekolah milik pemerintah kolonial tidak memberikan akses leluasa untuk kelas sosial tersebut—menjadi alasan kuat mengapa ia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Terate.
Di bawah asuhan santri Syaikhona Kholil ini pondok tersebut tidak hanya mengajarkan ilmu al-Quran dan kitab-kitab klasik, tetapi para santri juga dibekali pendidikan antikolonial. Tujuannya, tidak lain, untuk merintangi penjajah menguasai daerah berjuluk pulau garam itu dengan cara mencerdaskan umat santri melalui pendidikan pondok pesantren.
Tidak hanya itu, sumbangan tak ternilai diberikan Kiai Zainal atas keberhasilannya mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) di Sumenep. Penerimaannya kepada NU, menjelaskan sosoknya yang menjungjung tinggi persatuan sekaligus toleran. Pasalnya, menerima NU sebagai wadah baru perjuangan umat Islam, terlebih dirinya yang merupakan mantan Presiden Sarekat Islam (SI), bukanlah tanpa alasan.
Tajul Arifin dalam bukunya berjudul Biografi & Silsilah Kerabat K.H. Zainal Arifin Terate Sumenep (1998: 21) merekam jelas alasan tersebut:
“Kalau sekarang Nahdlatul Ulama berdiri, maka SI sudah tidak diperlukan lagi. Sebab SI perjuangannya hanya masalah ekonomi Islam. Jadi dengan adanya Nahdlatul Ulama kini sudah waktunya ulama tampil ke depan…”
Alasan Kiai Zainal di atas cukup logis. Sebab, SI—yang hanya bergerak dalam ekonomi dan politik—tidak akan mampu atau minimal mengabaikan perjuangan umat Islam dalam aspek lain yang tak kalah pentingnya, yaitu pendidikan dan keagamaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan wadah baru untuk menampung aspirasi umat Islam dalam aspek tersebut. Alasan inilah yang kemudian membuat Kiai Zainal tidak hanya menerima, tetapi juga ikut mendirikan NU Sumenep.
Alasan lainnya, dengan mendirikan NU, sejatinya Kiai Zainal memberi teladan bagi bekas anggota SI lainnya agar menyingkirkan ego kelompok dan mengutamakan persatuan. Sebab, perjuangan mengusir penjajah mustahil tercapai jika umat Islam bergerak sendiri-sendiri. Karenanya, umat Islam harus bersatu—khususnya SI dan NU—agar dapat berkolaborasi membangun Sumenep, terutama dalam berjuang mengusir penjajah.
Di lain sisi, perjuangan Kiai Zainal melawan penjajah juga dilakukan dengan memanfaatkan SI sebagai penyambung lidah rakyat, khususnya petani garam di Sumenep. Puncak keberhasilannya terjadi ketika SI dibawah komando Kiai Zainal mampu menaikkan harga garam dari harga yang sebelumnya sangat rendah.
Keberhasilan SI lainnya juga bisa dilihat dalam buku Huub de Jonge yang berjudul Madura dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (1989: 48), di sana ditulis selama kurun waktu 1920 sampai 1934, tidak ada konflik berskala besar yang terjadi di kawasan-kawasan garam, walaupun kondisi tersebut belum bisa dikatakan tentram.
Artinya, perjuangan Kiai Zainal dengan memanfaatkan SI untuk menggerakkan umat melawan penjajah berhasil membawa dampak positif bagi keamanan dan kesejahteraan petani garam di Sumenep. Demikian juga Pondok Pesantren Terate dan NU yang ia dirikan. Keduanya menjadi instrumen dakwah Islam yang berhasil membawa banyak pengikut di Sumenep.
Kiai Zainal menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1953 M dan dimakamkan di Asta K.H. Zainal Arifin yang berada di Jalan Pahlawan, Kota, Sumenep. Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang mendalam tidak saja bagi keluarga besar Terate, melainkan segenap masyarakat Sumenep juga turut kehilangan sosok yang selama ini menjadi panutan umat.
Sumber Referensi
- Wawancara Nyai Hajjah Aqidah Usymuni
- WawancaraH. D. Zawawi Imron
- , Tadjul Arifin. Biografi & Silsilah Kerabat KH. Zainal Arifin Terate Sumenep. Sumenep: Tp, 1996.
- Jonge, Huub de. Madura dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT. Gramedia, 1989.