Seperti biasa, Jakarta dihiasi dengan macet, penuh polusi, dan segala hal yang bisa memancing emosi. Namun bukan masalah karena secangkir kopi mampu menyejukkan kembali hati dan pikiran.
Seperti bulan lalu, Kafe BukaNagara mengadakan pengajian bertemakan ‘Merasakan Alquran’ dengan pembicara KH. A. Musta’in Syafi’i, Rabu 21 Agustus 2019. Tulisan ini merangkum pengajian semalam yang sejuk lagi damai itu.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diketahui bahwa idiom yang digunakan di dalam Alquran berbeda dengan tradisi yang ada di Arab. Arab yang kala itu memiliki penyair-penyair andal tak pernah ada yang bisa memahami idiom Alquran. Contoh penggunaan huruf yang dipotong di awal surat, seperti alif lam lim itu bahasa mana?
Di Arab tidak pernah ada huruf yang dijadikan syair dan tidak ada bahasa hanya dengan huruf, namun Alquran hadir mematahkan itu semua. Meskipun hanya tiga huruf awalan surat Albaqarah tersebut sangat enak didengarkan dan terasa sejuk dihati.
Begitupun dengan penggunaan huruf di surat yang lain, contoh ha mim ‘ain shin qoof, tho ha, nun, dan lain sebagainya pemilihan huruf yang dijadikan awalan surat pada alquran mempunyai irama yang padu selalu cocok dan enak didengar. Maka jika dari pengucapan hurufnya saja sudah enak dirasakan, lantas bagaimana jika kita tau makna dan isinya ?
Alquran memiliki nilai paling tinggi dalam segi Gramatikal. Dalam gramatikal bahasa Arab satu kata bisa dikembangkan jadi 200 lebih tanpa menghilangkan arti dasarnya.
Hal ini yang tidak terjadi dalam bahasa mana pun. Bahasa Arab (budaya) dengan Bahasa Arab (Wahyu) sangatlah berbeda. Karena itu bahasa Arab versi (wahyu) yang dijadikan referensi dasar jika terjadi perbedaan penafsiran. Artinya akan ada banyak sekali pemahaman yang kurang pas jika seseorang menafsirkan Alquran tanpa tahu gramatiknya terlebih di zaman modern ini.
Kemudian di dalam surat Albaqarah, kita diperlihatkan proyeksi Tuhan yang ingin mengenalkan Firman-Nya yang mengandung efek hidayah. Ayat kedua diterjemah dalam Bahasa Indonesia “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.
Arti Kitab (Alquran) ini jika secara Bahasa Arab seharusnya menggunakan kata hadzal-kitab bukan dzalikal-kitab, menurut Kiai Musta’in Syafi’i hal ini dikarenakan selain Alquran ini berisi Firman Tuhan juga mengandung efek hidayah.
Hidayah sendiri merupakan sebuah misteri yang hadirnya bisa diupakan maupun tanpa diupayakan. Dalam konteks zaman ini hidayah sebaiknya diupakan karena dengan mengupayakan hidayah akan memberikan peluang lebih besar mendapatkannya.
Lantas bagaimana upaya mendapatkan hidayah? Dalam surat di atas penggunaan isyarat Dzalika menunjukkan bahwa hidayah itu tidak gratis melainkan harus ada upaya.
Untuk mendapatkan Hidayah dari Tuhan tentu yang harus dilakukan adalah mencintai utusan Pemilik Hidayah, yakni Baginda Rasulullah Saw meyakini segala perintah-Nya dan mengaktualisasikan dalam kehidupan setiap insan. Adapun indikator pembuktian kepada Alquran dan bagaimana merasakan Islam adalah milik individu masing-masing.
Ibu Arabi dalam hal akidah atau keimanan menyebutkan dengan tegas bahwa iman itu tidak boleh ikut-ikutan. Sesorang beriman dikarenakan ikut bimbingan, ikut orangtua, dan lain sebagainya tanpa adanya pembuktian sendiri maka menurut Ibnu Arabi hal tersebut belumlah beriman wa yuqollibul qulubi kafir. Maka butuh sebuah pembuktian dalam Iman yang sesungguhnya yakni memasrahkan jiwa dan raga kita kepada Tuhan YME yaitu melalui musyahadah.
Contoh keimanan yang sangat masyhur ialah kepatuhan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kisah hari raya qurban yang menceritakan bagaimana Nabi Ibrahim yang kala itu bertahun-tahun tidak punya anak dan setelah punya anak yaitu Nabi Ismail, Tuhan menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail dan bagaimana ketaan Nabi Ismail terhadap Tuhan dan orangtuanya yang mau disembelih tanpa protes.
Kemudian pada saat pisau ditempelkan di leher Nabi ismail terlemparlah Nabi Ismail dan berubahlah yang disembelih itu seekor domba. Itulah bukti bahwa nilai kepatuhan kepada Allah dapat mendatangkan sesuatu di luar nalar manusia.
Kisah Nabi Ibrahim yang bertahun-tahun lamanya membuktikan keberadaan Tuhan maka setelah mendapatkan kebenaran Tuhan, Nabi Ibrahim tidak pernah sekalipun menentangnya menunjukkan tingkat loyalitas Nabi Ibrahim terhadap Tuhannya. Karena hal tersebut itulah akhirnya menjadikannya sebagai Kholiluhhoh (Kekasih Alloh).
Kisah tersebut juga tidak lepas dari pertanyaan kenapa ibadah Haji bersamaan dengan Hari Raya Qurban?
Ibadah haji dan qurban merupakan dua hal yang sama sama memberikan eforia bagi umat muslim, bedanya ibadah haji hanya dinikmati oleh mereka yang hadir di baitullah sedangkan eforia dari qurban dinikmati oleh seluruh makhluk Allah, tidak hanya untuk manusia namun untuk para srigala, burung, dan jin.
Jadi, di mana saat umat meminta pahala dengan doa di sisi lain Allah menyelenggarakan pesta untuk makhluk-Nya. Maka, penilaian menjadi Khalilullah bukanlah ibadah haji tadi tapi seberapa besar kerelaanmu berqurban (loyalitas) kepada Allah. Wallahu a’lam. (atk)