Salah satu Walisongo yang makamnya di Giri Jawa Timur adalah Sunan Giri. Sunan Giri-memiliki nama lain Raden Paku, Muhammad Ainul Yakin yang lahir di Blambangan tahun 1442 M. Selain nama tersebut, literatur lain menyebut dengan Jaka Samudra. Yakni, sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dilarungkan ke laut, yang kemudian ditemukan dan diangkat anak oleh saudagar kaya di Gresik bernama Nyai Pinatih. Sehingga menurut Agus Sunyoto (2017:218), karena ditemukan di laut, Nyai Pinatih pun akhirnya memberi nama dengan Jaka Samudra.
Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishak yang dalam sumber Serat Walisana disebut Sayid Yakub yang diberi gelar Pangeran Raden Wali Lanang. Adapun nama ibu Sunan Giri dalam sumber Babad Tanah Jawi adalah Dewi Sekardadu. Adapun dalam Serat Walisana ibu Sunan Giri bernama Retno Sabodi. Meski berbeda secara tokoh, Agus Sunyoto:216, menyebut sumber di atas memiliki alur cerita yang sama bahwa dari ibu, Sunan Giri adalah keturunan Raja Blambangan. Bahkan nama Giri yang digunakan untuk kediamannya terletak di wilayah Gresik, memiliki hubungan dengan nama ibukota Blambangan saat itu. Adapun kini “Giri” menjadi nama kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
Dalam hal pendidikan, Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel. Hal itu sebagaimana dikisahkan Agus Sunyoto:218, bahwa Nyai Pinanti sebagai orangtua angkat Joko Samudra (Sunan Giri/Raden Paku) mengirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Dan saat belajar agama Islam kepada Sunan Ampel itulah, Joko Samudra diganti nama menjadi Raden Paku sebagaimana pesan ayahnya yang tidak lain adalah Maulana Ishak.
Setelah berguru kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, Raden Paku (Sunan Giri) sangat dekat dengan putra Sunan Ampel yakni Raden Mahdum Ibrahim yang akrab dengan sebutan Sunan Bonang. Literatur Babad Tanah Jawa yang dikutip oleh Agus Sunyoto:2018 menyebut, Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim berencana menuntut ilmu ke Mekah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji. Hanya saja, hal itu tidak terwujud karena keduanya hanya sampai di Malaka bertemu dengan Maulana Ishak yang tidak lain adalah ayah kandung dari Raden Paku. Di situlah, selain dijelaskan terkait silsilah keluarga, keduanya juga memperoleh berbagai macam ilmu agama Islam dan juga ilmu tasawuf.
Setelah berguru kepada ayahnya, Raden Paku dibekali segumpal tanah dari Malaka oleh dua orang abdi, yakni Syaikh Koja dan Syaikh Grigis. Maksud dari gumpalan tanah yang dibawa itu Raden Paku diminta untuk mencari tempat yang memiliki kesamaan dengan tanah yang dibawanya dari Malaka. Tempat itupun berada di atas bukit yang disebut Giri yang kemudian dibangun masjid oleh Raden Paku untuk digunakan berdakwah menyebarkan agama Islam. Itu sebabnya, Raden Paku kemudian memiliki julukan Sunan Giri yang bermakna susuhunan (guru suci) yang tinggal di Perbukitan Giri.
Dakwah Ramah Sunan Giri
Sunan Giri dalam hal dakwah fokus pada pendidikan. Hasil penelitian Fuad Falakhudin (2017:7) menyebut, usaha beliau mendirikan “Pesantren Giri” ternyata memiliki pengaruh kuat dengan santri dari berbagai daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan, Makassar, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Tidore, dan Hitu. Selain pesantren, pada bidang seni, Sunan Giri juga mahir dalam menciptakan permainan anak-anak seperti jelungan, jamuran, gendi gerit, dan berbagai tembang anak lainnya seperti padang bulan, jor, gula ganti, serta cublak-cublak suweng.
Alhasil, selain mahir dalam bidang kesenian, dalam hal mendakwahkan ajaran Islam lewat Sunan Giri menggunakan media pendidikan personal approach baru setelah itu dengan social approach. Agus Sunyoto (2017:221) menuturkan, bahwa dalam berdakwah Sunan Giri tidak segan mendatangi masyarakat secara empat mata, setelah keadaan memungkinkan barulah kemudian masyarakat dikumpulkan dalam bentuk upacara-upacara, selamatan dengan memberikan sisipan ajaran agama Islam yang lambat laun diterima oleh masyarakat.
Pada konteks inilah dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri penuh dengan nilai-nilai rahmah (kasih sayang) dan kearifan lokal, local wisdom. Karena pemahaman dan pengamalan keagamaan bisa dinilai berlebihan jika ia melanggar tiga hal: Pertama, nilai kemanusiaan; Kedua, kesepakatan Bersama; dan Ketiga, ketertiban umum. Atas hal di atas, dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri menegaskan, kontekstualisasi moderasi beragama mengandung arti, bahwa upaya menyeimbangkan kebaikan yang berhubungan dengan Allah SWT dengan kemaslahatan yang bersifat sosial kemasyarakatan telah dilakukan sejak awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Sehingga Sunan Giri dalam dakwahnya sangat memperhatikan sisi kemanusiaan sebagai salah satu esensi agama, di mana kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan.
Sisi moderasi dakwah Sunan Giri juga terlihat dari prinsip adil dan berimbang. Artinya, sikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin dirasakan menyejahterakan masyarakat. Sedangkan pada sisi keberimbangan, berarti selalu berada di tengah antara dua kutub. Itu sebabnya, dakwah Sunan Giri terlebih dahulu melakukan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk menjalankan ajaran-Nya yang berorientasi pada upaya untuk memuliakan manusia dalam memperkenalkan ajaran agama Islam dan bukan ekstrem atau terjebak dalam praktek beragama atas nama Tuhan untuk hanya membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan sisi-sisi kemanusiaan.
Dengan demikian, esensi dan spirit moderasi beragama telah jauh-jauh hari diperkenalkan oleh Sunan Giri melalui sikap yang tidak berlebihan dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat yang masih didominasi oleh kepercayaan Hindu. Sebaliknya ia mengenalkan ajaran agama Islam dengan memanusiakan manusia dalam memperkenalkan agama dan laku agama. Pada konteks itulah Sunan Giri sebagai bagian dari Walisongo sesungguhnya telah mentransformasikan risalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang membawa misi rahmatan lil alamin sebagaimana dideklarasikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 107; wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamiin. Tugas profetik inilah yang harus selalu dihadirkan oleh generasi Walisongo di era milenial dan sepanjang zaman untuk mewujudkan dunia harmoni dan penuh damai. Wallahu a’lam.