Salah satu permasalahan komunitas muslim Indonesia hari ini boleh jadi terletak pada persoalan branding. Dan ia bisa ditafsirkan, mula-mula, seperti ini: ada asumsi dasar bahwa orang mulai ngeh dengan persona, citra, dan kesan yang ingin ditampilkan. Yang nantinya akan merepresentasikan keahlian dan keunikan macam apa yang kita miliki sehingga orang lain mesti membutuhkan jasa kita. Apalagi hari ini orang tidak terlalu butuh generalis meski ahli dalam banyak hal boleh jadi membantu. Pada akhirnya kita harus punya satu keahlian spesifik yang mendefinisikan brand kita.
Kebutuhan pada brand ini demikian besar sehingga, betapapun orang sudah ngeh dengan efek buruk pencitraan, orang terjebak, bagaimanapun, pada kebutuhan branding diri.
Suatu waktu Cak Nun pernah bercerita bahwa beliau sering difitnah orang, dengan harapan citranya hancur, tetapi untungnya, Cak Nun menegaskan, beliau tak punya citra—tak punya brand. Tetapi bahkan ‘ketidakpunyaan citra’ itupun adalah citra—adalah brand dari Cak Nun. Dan lebih lanjut bahkan mendefinisikan orang-orang Maiyah yang beliau asuh.
Singkat kata: tidak ada seorangpun dari kita, lelaki dan perempuan, yang sepertinya bisa lepas dari unsur citra, pencitraan, dan/atau dicitrakan. Dan ia bisa diakomodir secara sadar, diatur dan diset sedemikian rupa; atau, bergulir begitu saja dan bertumbuh secara pseudo-‘alamiah’. Kiai-kiai zaman dahulu termasuk kategori yang disebut belakangan.
Mereka adalah orang yang secara konsisten mengaji, kemudian mengelola pesantren dan/atau mengajar ngaji, menjadi tempat bertanya masyarakat terkait persoalan agama dan sehari-hari, dan dengan demikian, secara pelan namun pasti, diposisikan dan dicitrakan sebagai warosah al-anbiya, ahli waris Nabi, pemangku legitimasi ilmu agama, pemimpin spiritual.
Mereka tidak ngeh untuk memasarkan dirinya agar sering diundang pengajian; diundang tabligh akbar. Mereka tidak tergesa memasangkan gelar religio-kultural di depan nama mereka. Apalagi sampai memasang tarif kendati ‘kesadaran’ akan fee pasca pengajian itu ada: atau mungkin mereka ‘nantikan’ juga. Tidak semua dari mereka juga ngeh soal pemilihan pakaian, kadang malah merasa lebih nyaman mengenakan pakaian yang katakanlah ‘tidak layak’.
Tetapi proses yang diperjalani bertahun-tahun itu kemudian mengukuhkan posisi mereka—secara perlahan gelar kiai dan ulama disematkan kepada mereka, yang, mau tidak mau, juga mendorong sang kiai untuk bertingkah laku ‘layaknya’ kiai.
Hari ini, di tengah kesadaran akan pentingnya branding ditambah godaan besar untuk potong kompas, orang bisa disulap dalam sehari dari awam menjadi ustaz; menjadi kiai, ulama, syekh.
Yang baru mualaf pun bisa ditakjimi layaknya ulama besar. Selebritis yang baru hijrah bisa secara percaya diri berfatwa dan menganggap sesat kiai yang berkhidmat kepada umat bertahun-tahun; mendalami ilmu agama dalam tirakat superpanjang mereka. Orang-orang jenis ini ‘tidak perlu’ ngelothok baca kitab kuning, paham (tafsir) Alquran dan hadis, yang penting good looking dan punya kemampuan public speaking yang bagus dan bisa secara percaya diri menyitir satu-dua ayat atau hadist. Fatwanya akan dianggap valid—setidaknya oleh ‘umat’-nya.
Alhasil, ada proses downgrading standardisasi ahlul ‘ilmi dan bahkan mufti. Di satu sisi ada sosial media yang menawarkan pseudo-demokratisasi pengetahuan yang memungkinkan orang tanpa kredibilitas dan kapabilitas berbicara sesuatu di luar kemampuannya—berfatwa seenak udel.
Di sisi lain, ada budaya dan industri pop yang menerjemahkan kebutuhan akan (pendidikan) Islam melalui acara-acara komersil, yang karenanya lebih butuh penampil yang good looking ketimbang yang kapabel tapi ‘tidak menjual’. Akibatnya, kita ‘terbiasa’ mendengar fatwa-fatwa nyeleneh pada acara ceramah di televisi atau sosial media. Misalnya, polemik ‘pesta seks di Surga’ dan kesalahan penulisan ayat suci Alquran.
Situasi ini bukan tanpa konsekuensi. Apalagi kita tahu bahwa tradisi taqlid masih besar—sebagaimana Nurcholish Madjid pernah menulis, muslim Indonesia rata-rata kurang kritis, gampang sami’na wa atho’na. Pertemuan antara ustaz yang downgraded dengan umat yang tidak kritis adalah besarnya potensi miskonsepsi dan logical fallacy.
Tidak heran isu-isu agama gampang sekali dipolitisasi. Bahkan sebagian dari kita masih percaya dengan klik ‘amiin’, like dan bagikan, pada foto hoax dengan caption pseudo-religius: ikan muncul dari aspal tanda kiamat hingga Jack Sparrow sebetulnya seorang muslim!
Tetapi rupanya, fenomena downgrading standardisasi ahlul ‘ilmi bukan eksklusif terjadi di industri ceramah televisi dan/atau kajian online di internet.
Fenomena tersebut juga terjadi pada tataran grassroot yang dekat dengan kalangan pesantren. Misalnya, saya menemukan orang-orang tertentu yang membangun citra diri seorang kiai/ulama untuk memanfaatkan koneksi yang mereka miliki dengan pemerintah, pemangku kebijakan, dan perusahaan-perusahaan besar. Padahal, di pesantrennya sendiri mereka tidak menjadi apa-apa. Pun koneksi yang mereka miliki tidak didampakkan terhadap pesantren.
Mereka bahkan mungkin tidak hanya tidak memiliki kapabilitas ilmu yang cukup tetapi juga kadang tidak memenuhi kriteria standar yang dimiliki industri ceramah pop televisi.
Mereka hanya pandai bersilat-lidah, bernegosiasi, ‘menjual’ diri dan ‘pesantren yang mereka klaim’. Jadi kiai/ulama atau ustaz pada situasi itu menjelma profesi ekonomis dan bukan amanah sosio-kultural yang butuh integritas dan pewakafan diri. Tetapi saya tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya. Mengapa?
Karena pada titik ekstrim yang lain, banyak yang memang pandai mengaji, mengurusi pesantren secara ikhlas, tetapi tidak terlalu tertarik (atau mengerti) pada bagaimana caranya membangun brand, tidak ngeh pada urgensi ‘merebut’ panggung dakwah dari mereka yang secara keilmuan belum mampu. Orang-orang ini ‘terjebak’ di dalam lingkaran rutinitas dan garis orbit supra tradisional pesantren: tidak terekspos dan terkoneksi. Dan pada akhirnya, tidak berdaya dan memberdayakan.
Opo coba?