Dalam mendidik anak, terutama dalam hal salat, ada satu hadis yang kerap dijadikan justifikasi untuk “memukul”. Yaitu hadis, “Perintahkan anak kalian untuk melakukan salat usia 7 tahun dan pukullah mereka saat usia mereka 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.” Ada yang bilang bahwa pukulan yang diperbolehkan adalah pukulan yang tidak membuat cedera. Dan tidak diarahkan pada bagian-bagian tubuh tertentu seperti wajah.
Namun begitu, kebolehan memukul seringkali membuat kita bertanya-tanya: apakah Islam memang mengajarkan kekerasan dalam mendidik anak? Jika begitu, bagaimana kita bisa menumbuhkan kesadaran salat jika salat diperkenalkan bersama dengan pukulan? Sewaktu di Australia, saya ngobrol dengan refugee dari Palestina. Dia seorang guru konseling dan dia cerita bahwa agak sulit baginya untuk menjadi Muslim yang baik karena orangtuanya mengajarkan Islam dengan marah-marah. Itu sebabnya, kata dia, saya baru lihat Islam yang unik di Indonesia.
Balik lagi ke pertanyaan tadi: benarkah hadits tersebut mengajarkan kekerasan? Dalam video ini https://www.youtube.com/watch?v=V_WxKnoe9Qg, Youtube Channel “Bener Gitu?” memberikan analogi yang menarik. Anak mulai diajarkan salat usia 7 tahun dan baru “dihukum” di usia 10 tahun. Selisih dari 7 tahun ke 10 tahun adalah 3 tahun. Ini adalah masa-masa pendampingan. Katakanlah setahun ada 300 hari dan setiap hari ada lima waktu salat. Maka jumlah salat yang didampingi sekitar 4.500 kali salat.
Jumlah yang banyak bukan? Dengan jumlah yang banyak tersebut, secara teori harusnya salat sudah menjadi ‘kebiasaan’ dan ‘kebutuhan’. Ia adalah proses training panjang dan bertahap agar salat terinternalisasi di hati dan pikiran si anak. Maka, jika di umur 10 tahun anak masih mangkel, jangan-jangan ada yang salah dengan proses pendampingan kita. Uniknya, yang di-highlight oleh sebagian dari kita malah izin untuk memukul anak.
Rasulullah yang Lemah Lembut
Sebagai bukti, Rasulullah adalah sosok yang sangat lembut kepada anak-anaknya. Dalam sebuah riwayat dikatakan: saat Rasul menggendong bayi kemudian bayi itu pipis di pangkuan Rasul, Ummu Fadhl langsung merebut bayi itu dari Rasul karena khawatir mengotori jubah beliau. Kemudian Rasul berkata: “Air dapat membersihkan pakaianku namun apa yang dapat menjernihkan perasaan bayi yang dikeruhkan oleh sikapmu itu?”
Rasulullah juga biasa bermain kuda-kudaan dengan cucu-cucunya. Jika hal tersebut dilihat dari kacamata upbringing, Rasulullah sebetulnya sedang memberikan jaminan kebebasan bermain. Hal tersebut nantinya akan membangun support system di mana anak tumbuh sebagai anak. Tanpa paksaan dari orangtua. Suatu ketika, Rasulullah melewati Abdullah bin Ja’far yang sedang berjualan mainan anak-anak, seketika rasul berdoa “Ya Allah berkahilah dalam dagangannya.”
Saat mengoreksi atau memotivasi anak, Rasul menggunakan cara yang ”kind and firm“. Rasul pernah mengingatkan Ibnu Umar (kecil) yang tidak bangun untuk salat malam. Kata Rasul, “Sebaik-baiknya orang adalah Abdullah jika ia salat malam.” Menurut Aisyah, Rasulullah tidak pernah memukul siapapun kecuali saat perang.
Kenapa Hadis Tersebut Memperbolehkan Memukul?
Menurut Ibnu Khaldun, “Pendidikan anak yang disertai kekerasan dan pemaksaan akan menyebabkan jiwa anak menjadi sempit, hilang semangat, malas dan mendorong menjadi pendusta dan curang.” Tapi kenapa dalam hadis ada izin untuk memukul? Menurut Bener Gitu? hadis di atas adalah hadis qauli (berupa ucapan Rasul). Ucapan itu biasanya mengandung makna yang harus dipahami konteksnya. Kadang ada makna mendalam di belakangnya.
Untuk menguji dan memahami hadis tersebut, kita juga harus kroscek sunnah Rasul yang bersifat perbuatan/perilaku (fi’li). Apakah pernah ada riwayat Rasulullah memukul anak-anak? Tidak ada. Maka dengan demikian, penekanan pada hadis qauli di atas harus pada proses panjang selama tiga tahun tadi. Yang, jika proses itu berjalan lancar, tidak perlu ada kekerasan. Karena bagaimana mungkin selama 4500 kali salat, nilai salat tidak masuk ke dalam hati si anak? Jika begitu, maka orangtua perlu interospeksi dalam melakukan pendampingan.