Selama dua tahun ini, pandemi telah mentransformasi banyak aspek dalam kehidupan kita, termasuk kreativitas di bidang sastra. Revolusi teknologi yang berlangsung beberapa tahun lalu, masih akan terus bergulir, membawa kita pada cara-cara baru mengelola ide dan gagasan yang jitu tentang seni dan sastra Indonesia di masa yang akan datang.
Saat ini, kita harus pandai menatap pergerakan dunia sastra bukan sebagai foto dan gambar yang mati, terjebak dalam zona merah, melainkan seperti tayangan-tayangan video yang terus bergerak. Tak ubahnya menyaksikan adegan-adegan film yang terus mencapai klimaks dan endingnya. Munculnya pandemi dan apa yang ada saat ini adalah rangkaian yang terjadi akibat ulah dan perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan, juga merupakan efek dari apa-apa yang telah diperbuat manusia di masa lalu.
Disadari atau tidak, apa-apa yang telah dilakukan sang tokoh, dalam novel terbaru Hafis Azhari, “Jenderal Tua dan Kucing Belang” adalah akibat belaka dari suatu rangkaian sebab yang diperbuat oleh tangan-tangan sang pelakunya, baik positif maupun negatif.
Kemenangan Abdulrazak Gurnah yang meraih nobel di bidang sastra (2021) – meskipun semula kurang diperhitungkan – harus dapat membuka mata-hati para sastrawan dan seniman kita. Karya-karya Gurnah menunjukkan bahwa konsep budaya dan peradaban yang tertuang dalam karya sastra seakan telah mengalami pergeresan nilai dan makna, meskipun pada dasarnya saling terkait dan bersinambung. Pandemi semakin mengukuhkan ruang dan waktu yang sudah bergeser saat ini.
Teori dasar kesusastraan yang semula sangat terikat dengan waktu dan tempat, termasuk praktik skala ekonomis yang berlangsung, kini terbukti tidak ada yang serba kaku dan baku. Skala ekonomis yang masih mengikatkan diri pada waktu dan tempat terancam mengalami kepunahan. Dengan demikian, kita pun bisa menikmati hasil-hasil karya sastra, tanpa harus pontang-panting mencari-cari toko buku yang menyediakan stoknya. Jika kita ingin membaca novel Orang-orang Oetimu (Felix Nesi) atau Perasaan Orang Banten (Hafis Azhari), tinggal klik di depan layar komputer , dan langsung bisa kita nikmati bersama. Fenomena ini memaksa kita agar sanggup belajar dan menerima dengan legawa untuk keluar dari ruang dan waktu (outside the box).
Tahun 2022 nanti akan berlanjut revolusi yang sudah terjadi pada 2021 ini. Pandemi bisa mempercepat perubahan segalanya agar keluar dari tempurung ruang-waktu yang mapan dan stagnan. Penduduk perkotaan akan resisten untuk keluar dari teknologi, karena sudah kadung menikmati dunia tanpa batas, termasuk dalam menikmati karya-karya sastra genuine yang digagas anak-anak muda kita. Di sisi lain, proses akademik dan pola pengajaran di bidang seni dan sastra akan berubah dan mengalami revolusi yang kian cepat. Terlebih, manusia sebagai makhluk sosial yang memang sulit untuk dibendung akibat sekian lama merasa letih dan terkungkung.
Dari perspektif lain, masyarakat Indonesia sudah belajar banyak dan terbiasa hidup dalam krisis. Dunia seni dan kesusastraan juga sudah belajar dari sekuens krisis. Krisis ini tidak bisa membuat seseorang tidur dan berdiam. Bagi penulis yang baik, fenomena krisis justru bisa menjadi tambang-tambang emas kreativitas yang dapat mengilhami batin dan kalbunya.
Tantangan yang dihadapi penulis secara mikro, misalnya dalam proses kreatif penulisan novel “Jenderal Tua dan Kucing Belang” jelas-jelas mencerminkan keberadaan masyarakat Indonesia secara makro dan global. Penulis novel tersebut seakan berikhtiar untuk menjawab problem kesusastraan Indonesia yang selama ini mati suri dan terperangkap gas di gorong-gorong perkotaan.
Hal ini menantang para penulis lama (senior) agar mampu beradaptasi dengan perubahan “iklim” yang menjadi keniscayaan sejarah. Dunia kesusastraan harus berani bersikap independen, dan tidak melulu mengandalkan bantuan dan subsidi yang kadang membelenggu imajinasi dan nalar-nalar kreatif, hingga para penulis seakan terjebak di zona merah selama beberapa dekade ini.
Masa lalu kesusastraan kita (di era Orde Baru) tak jauh dari pola-pola induksi yang mencerminkan kerja laiknya di kebun binatang. Di masa itu, rantai pasok (value creation) lebih diutamakan, seakan-akan yang berhak memberi ide dan gagasan kepada kaum muda adaleh mereka yang disebut “senior” atau “profesional”. Jadi, metode kreasi yang berbasis value creation itu, identik dengan pola kerja dari input ke proses lalu menuju output. Sedangkan, pendekatan para penulis muda masa kini dan mendatang, tentu akan memilih pendekatan “ekosistem”, yakni mencipta dan berkreasi secara independen, lalu disebarluaskan dan seketika dibaca dan dinikmati oleh khalayak.
Jika kita analogikan dengan menanam pohon di area yang luas, nanti akan tumbuh mata air, bukit-bukit subur, akhirnya rusa dan harimau akan datang dengan sendirinya. Dalam pendekatan ekosistem ini, muncul yang namanya rintisan (startup), dan inilah sepertinya yang dilakukan para penggemar novel Pikiran Orang Indonesia yang diparalelkan dengan karya-karya Abdulrazak Gurnah (baca: www.kompas.id, “Takhayul dan Dampak Kolonialisme”).
Dengan demikian, suatu karya sastra yang muncul – jika itu menarik perhatian publik – maka akan menciptakan orchestra tersendiri, termasuk dengan kritik-kritik sastra yang berseliweran, baik yang mendukung maupun yang menentang atau berbeda pendapat. Tidak ada masalah. Yang penting memunculkan dimensi-dimensi pemikiran secara alami, yang dihasilkan dari dialog-dialog yang bersifat dinamis dan bersinambungan. Bukan ikut-ikutan menceburkan diri dalam paguyuban dan gerombolan yang sibuk bertengkar soal subsidi dan bantuan pemerintah. Walah welah, dangkal sekali jika kerjaan seniman kita hanya sebatas itu.
Seandainya terjadi dialog yang dinamis, niscaya karya-karya terbaik dari anak-anak bangsa akan memunculkan orkestranya sendiri. Jadi, masa depan kesusastraan kita, tak beda jauh dengan perubahan ekonomi Indonesia ke depan. Segalanya akan saling terhubung dan terkoneksi dengan baik. Dan semuanya akan saling mendewasakan, saling menyuburkan rizki-rizki, serta menyinarkan kedaulatan rahmat. ***