Irawati Prillia
Penulis Kolom

Seorang sarjana Teknik Lingkungan. Sekarang bekerja di sebuah laboratorium reserach & development sebuah perusahaan skincare di Jerman. Tinggal di desa kecil bernama Stockheim antara kota Cologne dan Aachen. Akun facebook atas nama Irawati Prillia.

Masjid yang Bukan Tempat Ibadah di Schwetzingen

Dav

Untuk apa sebuah masjid dibangun, jika bukan sebagai tempat sembahyang?

***

Di antara semakin banyaknya masjid di Jerman, masjid satu ini bagi saya termasuk istimewa. Sebuah masjid dengan pengaruh arsitektur Eropa. Dibangun atas amaran seorang ningrat Jerman di abad 18 masehi. Di dalam sebuah kompleks istana dan taman di Schwetzingen, negara bagian Baden Wuttemberg, Jerman.

Walau sering melihat foto-fotonya lewat media daring, saya tetap penasaran ingin menyaksikannya secara langsung. Liburan musim dingin lalu, ketika ada kesempatan berada di dekat daerah tempat Masjid Merah, julukan masjid tersebut, saya mampir bersama keluarga.

Hari meremang ketika kami sampai di Schwetzingen. Mendung pula. Di musim dingin, pukul 3 sore, hari sudah mulai menggelap. Suhu udara mendekati titik beku. Memarkir kendaraan tak jauh dari lokasi masjid, kami ingin langsung bergegas masuk kompleks.

Sayangnya kami parkir di tempat salah. Pengunjung yang belum punya tiket, tidak bisa masuk melalui gerbang kecil di sisi kompleks. Melainkan lewat gerbang utama, sekitar 10 menit perjalanan kaki dari tempat kami memarkir kendaraan. Mau tak mau kami berjalan cepat ke arah gerbang utama tersebut. Membeli tiket masuk Taman Istana Schwetzingen untuk keluarga seharga 17,50 euro.

Masjid Merah terletak dalam sebuah kompleks taman dan istana di kota kecil bernama Schwetzingen. Peletak batu pertama pembangunannya adalah Prince Carl Philipp. Ketika beliau mendiami Istana Mannheim tahun 1731, Schwetzingen menjadi rumah musim panas dan tempat berburu. Penerus Carl Philipp, Carl Theodor memperluas kompleks taman dalam kurun waktu 50 tahun. Melalui arsiteknya, Nicolas de Pigage, taman Schwetzingen diperluas, didekorasi aneka patung artistik hingga sebuah kompleks bernuansa oriental.

Baca juga:  Plumblon dan Tiga Makam Kramat

Sebuah masjid di sebuah tempat dan di waktu di mana penduduk muslim di sana bisa dikatakan tidak ada. Apakah kira-kira yang menjadi inspirasi sang pangeran?

Rupanya setelah cerita klasik Seribu Satu Malam diterjemahkan ke bahasa Perancis pada tahun 1704, ketertarikan warga ningrat Eropa akan budaya oriental meningkat. Türkenmode atau Turquerie adalah satu istilah untuk menggambarkan kegandrungan mereka akan seni dan budaya dari timur, utamanya budaya Turki Usmani, yang sebenarnya sudah dimulai sejak abad 16. Fokus mereka sebetulnya bukan pada event-event yang terjadi di timur pada zaman tersebut. Ia lebih mengarah pada fantasi warga Eropa akan kemewahan a la orient. Ketika itu, Turki dikenal sebagai eksportir barang-barang mewah seperti rempah-rempah dan wewangian, serta kopi juga teh.

Di zaman ini, beberapa bangunan bernuansa oriental dibangun tanpa ada latar belakang agama. Masjid Schwetzingen pun demikian. Carl Theodor memerintah pembangunannya sebagai bentuk kekaguman sekaligus toleransi akan dunia orient, yang sering mereka kaitkan dengan Islam.

Nicolas de Pigage mendirikan kompleks Masjid Merah, yang terdiri dari bangunan utama, dua minaret, dan koridor segi empat antara tahun 1779 – 1795. Ia dibangun menyatu dalam Taman Turki yang sudah ada sejak tahun 1774. Pigage tidak mendesain Masjid Schwetzingen persis seperti bentuk masjid Turki Usmani di era itu. Tidak pula meminta pendapat seorang arsitek muslim. Sebagai contoh, diambil desain Taman Masjid hasil rancangan William Chambers di Kew Garden, London. Ditambah desain arsitek Austria bernama Johann Fischer von Erlach. Pigage juga memasukkan unsur-unsur arsitektur klasik Eropa. Kubah bergaya baroque berbulan sabit di puncaknya, jendela berujung lancip, serta arkade melengkung di dekat menara dan pavilyun.

Baca juga:  David dan Goliat Pernah Bersekutu di Dubrovnik

Sebab hari gelap tak lama lagi, kami langsung bergegas ke arah kompleks masjid. Tidak sempat menikmati kompleks luas Taman Schwetzingen yang juga memiliki istana elok di dalamnya. Dari gerbang masuk, kami mesti berjalan sepuluh menitan lagi. Untunglah petunjuk jalan lengkap dan kami tidak kesasar. Hati menjadi lebih tenang saat kubah masjid mulai tampak di kejauhan.

Kami masuk lewat sebuah gerbang metal dijaga oleh dua patung singa menuju kompleks taman. DI musim dingin, sebagian pohon di taman sedang nirdaun. Tak banyak pengunjung selain kami sore itu. Kompleks masjidnya sendiri merupakan konstruksi segi empat. Fasad bangunannya didominasi warna merah muda. Di tengah-tengahnya courtyard tertutup rumput. Tepiannya ditanami tanaman perdu. Kami masuk lewat pintu utamanya. Di beberapa bagian terbaca ornamen bertuliskan Arab dan Jerman. Namun bukan ayat-ayat Alquran.

Rasanya agak aneh ketika membuka pintu kayu yang berderit, masuk ke dalamnya, dan menemukan lantainya tidak berselimut karpet tebal. Seperti ketika masuk masjid lainnya. Dekorasi di dalamnya cantik. Dinding dalamnya bercat putih dengan banyak ornamen hiasan. Nama Allah ditulis beberapa kali. Sekali lagi, kami temukan banyak kalimat bijak dalam bahasa Arab dan Jerman. Menurut situs resmi Istana Schwetzingen, tulisan bahasa Arabnya mengandung banyak kesalahan penulisan saat ditatah oleh pembuatnya. Mimbar dan mihrab pun absen di dalam ruangan utama.

Baca juga:  Berebut Rumah Tuhan di Yerusalem: Sebuah Catatan Perjalanan

Sebuah sumber lain mengatakan, bahwa masjid ini pernah digunakan muslim untuk sembahyang. Usai perang Jerman-Perancis tahun 1870/1871, sebagian tawanan perang asal Afrika Utara muslim dibawa ke daerah yang berdekatan dengan Schwetzingen. Saat itulah mereka sempat menggunakan Masjid Schwetzingen untuk sembahyang. Setelah sempat bobrok akibat perang dan aus, pemerintah daerah ikut turun tangan merenovasi kompleks ini sejak tahun 1990. Sehingga sejak 2007 pengunjung seperti kami bisa menikmati keelokannya kembali. Saat ini, kompleks Istana Schwetzingen termasuk masjid di dalamnya dikelola oleh pemerintah negara bagian Baden Wurttemberg.

Sayang sekali matahari terasa cepat sekali kembali ke peraduan. Berpadu dengan hawa dingin mengigit hingga ke tulang. Seakan mengusir kami secara halus dari bangunan artistik dari masa lalu ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top