Memulai membuat karya masih ditakuti oleh beberapa orang. Mereka takut gagal dan salah, padahal solusinya hanya satu ‘coba dulu saja.’ Karya yang tersedia hari ini tidak selesai dalam satu malam.
Para penulis mungkin sudah menghabiskan berlembar-lembar kertas atau mereka sudah membuat beberapa file ‘semi beres’ di komputer mereka atau walaupun hanya satu file, tetapi mereka telah menekan ratusan kali tombol delete. Cetak biru selalu perlu. Otak kita berproses dan otak kita bukanlah AI (Akal Imitasi) yang sekali pencet dengan mengetikkan prompt ‘buatkan artikel’, woosh bagaikan kilat menyambar, kata-kata membanjiri layar komputer dan selesailah makalah.
Proses yang melelahkan itu yang dinikmati oleh para penulis. Dahulu, di film-film, para penulis beberapa kali meremas kertas sewaktu mereka menulis karya dan kertas itu menggunung di sekitar mesin tik. Kesalahan dan kekeliruan selalu terjadi, tak dapat dihindarkan. Dahulu para linguis Arab Klasik membuat kaidah khusus (dalam sintaksis Arab) untuk mengantisipasi kesalahan tersebut karena zaman itu mungkin saja penghapus karet atau tip-ex belum ditemukan. Mencoret adalah satu-satunya cara untuk menghapus kesalahan. Akan tetapi, konsekuensinya tulisan mereka menjadi berantakan dengan banyaknya coretan. Oleh karena itu, badal galath dijadikan solusi agar tak perlu banyak mencoret kata yang salah.
Satu hal yang pertama-tama mesti dilakukan supaya ketakutan itu sirna adalah mulai menulis. Menulis karya atau dalam hal ini kitab merupakan hal yang sakral karena bertautan dengan pewarisan ilmu melalui perekaman ilmu pengetahuan dalam lembaran-lembaran kertas. Kesan kesakralan ini semakin meningkat kala konten yang diangkat berkaitan dengan tema-tema liturgi keagamaan.
Tradisi tulis-menulis karya dalam peradaban Islam memiliki nomenklatur tersendiri yang berbeda secara signifikan dengan tradisi Barat. Selain mengenal filsafat ilmu Islam yang lumrah dikenal oleh kalangan santri dengan mabadi al-asyrah (sepuluh prinsip-prinsip dasar), para sarjana keilmuan Islam dahulu-hingga hari ini mungkin-selalu menyajikan karya tulis mereka dengan format yang sama sehingga menjadi pedoman yang baku untuk hampir seluruh karya kesarjanaan.
Guru kami KH Aceng Abdul Wahid pernah menyebutkan beberapa hal yang hendaknya diterapkan oleh para penulis ilmu, tatkala mereka menuliskan buah pemikiran mereka-yang tentu atas ilham Tuhan. Beliau menyebutkan empat hal utama yang mesti ada ketika sebuah karya dikarang yaitu: lafaz basmalah, hamdalah, sholawat dan salam serta penyebutan nama karya yang dibuat.
Kaitannya dengan pembahasan ini, Syekh al-Ahdal al-Tuhami menyebutkannya dengan lebih lengkap yaitu delapan hal yang mesti dilakukan para penulis ilmu kala mereka hendak menulis. Saran ini memang diberlakukan untuk penulisan kitab/buku yang berbahasa Arab. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika diterapkan dalam karya-karya non-bahasa Arab. Semoga saja kemanfaatan tulisan itu berbekas pada karya yang ditulis oleh karena keagungan nama Allah dan keberkahan nama nabi mulia, Muhammad saw.
Sekilas Biografi Syekh Al-Ahdal Al-Tuhami
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari Al-Ahdal Al-Husaini Al-Tuhami. Tidak seperti nomenklatur penamaan Arab umumnya yang berpola [gelar kesarjanaan + nama laqab + nama kunyah + nama asli + asal daerah + {afiliasi mazhab fiqh khususnya]. Nama sarjana ini tidaklah berpola demikian. Dilahirkan pada tahun 1826 M di Tuhamah, Yaman, menjadikan ia ulama yang hadir di saat dunia memulai revolusi industri. Ia sezaman dengan Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab terkenal karangannya yang matannya yaitu Mutammiah al-Ajrumiyyah, kami kaji bersama-sama guru kami KH. Zenzen Zaenal Muttaqin adalah salah satu dari dua kitab elaborasi kitab tersebut. Kitab gramatika ini dikenal dengan nama Kawakib al-Dzurriyyah. Ia pun memiliki kitab-kitab lain dalam berbagai disiplin ilmu dan dalam fiqh, ia berafiliasi dengan mazhab Syafi’i.
Delapan Hal dalam Alas Kata Karangan Kitab
Dipancing oleh komentarnya terhadap kekhilafan Al-Fakihi, penulis pertama komentar kitab Mutamminah, karena ia ‘lalai’ menyertakan basmalah dalam kitab syarahnya. Syekh al-Ahdal lalu mengutip pendapat sejumlah ulama mengenai delapan hal yang mesti dicantumkan kala hendak mengarang kitab yaitu basmalah, hamdalah, sholawat dan salam kepada Rasulullah saw., dua kalimat syahadat, nama pengarang, nama kitab yang dikarang, tujuan penyusunan kitab dan lafaz amma ba’du. Mari kita uraikan satu persatu.
- Lafaz ini hampir tidak pernah luput dalam alas kata atau pembuka kitab. Para penulis ilmu/kitab memiliki motivasi sendiri mencantumkan lafaz ini. Alasan paling jamak di kalangan penulis kitab yaitu mengikuti kitab Al-Quran (iqtidaan bi al-kitab al-‘aziz) dan bahkan menurut al-Ahdal semua kitab samawi dimulai dan dibuka dengan basmalah sesuai dengan informasi malaikat Agung, Jibril as. Motivasi lain para penulis kitab yaitu hadis nabi yang masyhur yaitu kullu amrin dzi baalin…selain kedua motivasi tadi, belum didapati alasan lain pencantuman basmalah dalam permulaan kitab.
- Secara unik, para penulis kitab seringkali menyelipkan kosakata tertentu yang mewakili disiplin keilmuan yang akan dikaji dalam ucapan persembahan syukur. Gaya penuturan semacam ini dikenal dengan gaya baraah al-Istihlal. Al-Ahdal dalam pembuka kitab Kawakib al-Dzurriyyah menyisipkan kata (رافع), (منتصب), (إنخفض) namun belum ditemukan indikasi I’rab jazm atau kata-kata yang menunjukkan makna serupa. Semua kata itu berkaitan erat dengan terminologi nahwu. Syekh Ibrahim bin Ismail melakukan hal serupa namun lebih indah dan halus. Kata (تعلم), (العلم), (معالم) dan (عوالم) memiliki akar kata yang sama yaitu ع ل م yang tentu berkorelasi dengan pembahasan sekelumit ilmu dalam kitab Ta’lim al-Mutaallim.
- Shalawat dan salam. Selain diperuntukkan untuk Rasulullah tercinta saw. Penulis seringkali mencantumkan sholawat dan salam kepada keluarganya yang mulia dan sahabatnya yang agung. Redaksinya bisa bermacam-macam yang tentu dibuat lebih menarik dengan adanya sajak akhir kata.
- Poin ini agak jarang ditemui dalam karangan. Diantara kitab yang memuat ungkapan syahadatain di dalam alas katanya (muqoddimah) adalah kitab Kawakib al-Dzurriyyah karya al-Ahdal sendiri. Namun ia meletakkannya sesudah hamdalah dalam arti tidak mengikuti urutan yang ia sebutkan. Mungkin saja urutan ini tidak paten dan dapat ditukar seperti yang dilakukan Syeikh al-Ahdal sendiri.
- Nama Pengarang. Sama seperti poin keempat tadi, nama pengarang jarang disebut secara eksplisit dalam muqoddimah. Penulis kitab sering menggunakan kata ganti orang ketiga untuk menyebut dirinya sendiri dan sangat jarang ditemui penulis yang menyebut ‘Saya’ yang disambung dengan nama. Praktek penyebutan penulis kitab dengan kata ganti ketiga ini nampak pada pembuka kitab Taftazani karangan Syekh al-Taftazani. Gaya demikian rupanya merupakan gaya khas penulis dalam memperkenalkan dirinya dalam karangan yang ia buat.
- Nama kitab. Frasa yang lumrah ditemui adalah (وسميته) persis sama di hampir beberapa kitab yang ditemui, frasa tersebut lalu dirangkai dengan penyebutan kitab terkait dan disusul dengan doa kemanfaatan kepada Allah swt. Ungkapan lain yang serupa adalah dengan menggunakan kalimat pengenalan secara langsung dengan pola (هذا/هذه ….) seperti yang dilakukan oleh Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi kala mengelaborasi kitab Safinah al-Naja.
- Tujuan pengarang kitab. Hampir kitab-kitab yang disusun oleh penulis tertentu memiliki alasan penulisan. Syekh Ibrahim al-Bajuri menjadi ‘langganan’ dimintai untuk mengarang kitab. Kitab Fath Rabb al-Bariyyah, Syarh Tijan dan kitab Syarh al-Samarqondi adalah hasil karya wasilah teman-teman Syekh al-Bajuri. Tujuan penulisan kitab biasanya dimulai dengan klausa (قصدتُ…) seperti ungkapan al-Fakihi. Ia bermaksud untuk menentukan makna yang dimaksud (قرر معانيها), menganalisis struktur (تحرير مبانيها) serta menambah faidah dan poin-poin penting. Syekh al-Bajuri ketika membuat komentar atas puisi eksplanatoris Imrithi, bermaksud untuk melakukan analisis atas kata-kata dalam kitab tersebut, memberikan penjelasan dan beberapa alasan lainnya. Ada pula yang mengarang tulisan karena kehendak sendiri tanpa adanya permintaan orang lain. Syekh Abdul Haq bin Abdul Hanan al-Jawi berkata bahwa ia mengarang tanpa dorongan motivasi dari orang lain, tidak ada yang memintanya untuk menulis kitab itu namun ia memiliki motivasi lain yaitu sarana dan cara beliau mengingat ilmu.
- Lafaz amma ba’du (أما بعد). Al-Bajuri memaparkan penjelasan singkat pentingnya alasan pencantuman lafaz ini dengan mengutip pendapat al-Taftazani dari Ibnu Atsir. Manakala seseorang hendak memulai sesuatu atau memulai pembicaraan tentang segala sesuatu hendaklah ia memulainya dengan mengucap basmalah, hamdalah dan shalawat. Nah ketika ia mengakhiri pembicaraan atau pembahasan itu, hendaknya menutupnya dengan amma ba’du (أما بعد). Kata ini sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena maknanya yang padat dan panjang. Variasi lain frasa penutup/peralihan wacana ini yaitu وبعد, kendati lafaz yang pertama lebih utama dipilih sesuai sabda Nabi Mulia saw.
Daftar Referensi
Al-Ahdal, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Bari. (2011). Al-Kawakib Al-Duriyyah Syarh Mutammimah al-Ajrumiyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Abdul Hannan al-Jawi, Abdul Haq. (tt). Tajdrij al-Adani ila Qiraah Syarh al-Sa’di ala Tashrif al-‘Izzi. Jakarta: Dar al-Hikmah.
Al-Bajuri, Ibrahim. (tt). Hasyiyah ala al-Risalah al-Samarqondi. Al-Haramain.
Al-Bajuri, Ibrahim. (tt). Fath Rabb al-Bariyyah ala al-Durrah al-Bahiyyah Nadzm al-Ajrumiyyah. Semarang: Toha Putera.
Nawawi, Abdul Mu’ti Muhammad. (tt). Syarh Kasyifah al-Saja. CV Assalam.
Al-Fakihi, Abdullah bin Ahmad. (tt). Al-Fawakih al-Janiyyah. Semarang: Toha Putera.
Al-Zarnuji. (tt). Syarh Ta’lim al-Mutaallim. CV Assalam.