Ketika diberi amanat sebagai Ketua Tim Pengembang pendirian Sekolah Dasar Bunga Bangsa Samarinda yang dirancang sebagai sekolah bertaraf internasional pada Tahun 2003 (Kini telah berdiri dan menjadi lima sekolah bertaraf internasional di Indonesia), saya memulai dengan melakukan bancmarking studi banding ke pelbagai lembaga pendidikan yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan unggulan yang memiliki reputasi nasional maupun internasional baik sekolah umum maupun lembaga pendidikan keagamaan.
Dengan melakukan serangkaian kunjungan ke beberapa lembaga pendidikan di pelbagai wilayah ini, saya dapat cerita-cerita menarik, kesan, dan definisi baru tentang sekolah unggul atau lembaga pendidikan yang terkenal.
Beberapa lembaga pendidikan yang diagendakan untuk dikunjungi antara lain Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntati, Pondok Pesantren Ibnul Amin Pemangkih Hulu Sungai Tengah, Pondok Pesantren al-Falah Banjar Baru yang semuanya berada di wilayah Kalimantan Selatan, Pondok Pesantren al-Amin Prenduan Sumenep Madura, Lembaga Pendidikan al-Hikmah Surabaya, SD Sabilillah Malang, Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Pondok Pesantren Azzaitun Indramayu dan Sekolah al-Azhar Jakarta. Semua lembaga pendidikan ini adalah hebat dan hampir semua orang mengenalnya sebagai lembaga pendidikan unggulan dengan kekhasannya masing-masing.
Dari kunjungan ini, saya dapat wawasan yang luar biasa dibandingkan dengan duduk di bangku kuliah mendengarkan uraian mata kuliah yang disajikan oleh para dosen yang biasanya sangat teoritis dan abstrak. Untuk mengetahui dan memahami problematika pengelolaan pendidikan ternyata tidak cukup hanya mmbaca barmacam-macam teori pendidikan tetapi terjun langsung melihat realitas di sekolah, madrasah, pesantren dan perguruan tinggi akan lebih baik dan membuat mata kita makin terbelalak. Lembaga pendidikan yang merupakan paduan dari pelbagai komponen seperti regulasi, anggaran, pendidik dan tenaga kependidikan, kurikulum, peserta didik, evaluasi, buku teks dan beberapa komponen lainnya adalah sama-sama memiliki kontribusi untuk menentukan mutu pendidikan.
Ada lembaga pendidikan yang dikenal hebat karena guru-gurunya hebat, siswa-siswa mendapatkan prestasi nasional maupun internasional, kegiatan ekstrakurikulernya menarik, hasil ujian nasional di atas rata-rata, penataan lingkungan yang asri dan lain sebagainya. Hal-hal yang membawa nama baik dan menjadikan sebuah lembaga pendidikan ini menjadi hebat dan terkenal ini tidak mungkin dimiliki oleh lembaga pendidikan semuanya.
Dari pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa yang disebut lembaga pendidikan unggul atau hebat itu sesungguhnya adalah lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan (distingsi) yang menjadikan branding atau trade mark lembaga dan kemudian menjadikan image bahwa sekolah atau lembaga pendidikan ini hebat, berpretasi, terkenal dan sebutan-sebutan lain yang membanggakan.
Kunjungan ini memberikan kesan kepada saya tentang keunggulan lembaga pendidikan. Misalnya Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah. Kalau kita melacak jejak dan kiprah alumninya, mereka banyak menjadi orang-orang yang hebat baik yang menjadi ulama maupun birokrat. Mereka tersebar di pelbagai pelosok dari tingkat desa hingga ibu kota dan bahkan di manca negara.
Sementara yang tidak terlalu jauh dari lembaga ini yakni Pondok Pesantren Ibnul Amin Pemangkih, dengan membangun kekhasanya di bidang ilmu alat (Nahwu dan Shorof), lembaga ini juga tidak kalah populernya. Pondok ini hampir menjadi destinasi anak yang mau mondok dan ingin mendalami kitab kuning di wilayah Kalimantan dan sekitarnya. Meski lembaga ini berdekatan, karena memilki kekhasannya berbeda, tidak ada kekhawatiran salah satunya menjadi kompetitor yang lain untuk salaing melemahkannya. Justru keduanya sama-sama semangat dengan kekhasannya masing-masing.
Pemahaman ini bisa kita saksikan dan buktikan bahwa lembaga pendidikan yang sejak awal membangun komitemen untuk menciptakan kekhasannya, meski di sekitarnya tumbuh jenis lembaga pendidikan yang sama, semuanya akan tetap bisa berkembang dan tidak saling melemahkan atau bahkan mematikan. Bisa kita lihat misalnya di Kabupaten Jombang dan Kediri Jawa Timur, Cirebon Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya, meskipun di situ tumbuh menjamur lembaga-lembaga pendidikan khususnya pondok pesantren, semua akan terus tumbuh dan berkembang dan bahkan banyak yang usianya lebih dari seratus tahun tetapi tetap berkembang.
Sekali lagi kuncinya adalah kekhasan (distingsi). Bagi kelompok masyarakat yang ingin mendidrikan lembaga pendidikan bar, inilah pembelajaran yang harus diperhatikan, jangan melakukan hal yang sama dengan yang telah dilakukan orang atau lembaga lain sebelumnya.
Kita bisa mengamati di mana-mana, tidak ada lembaga pendidikan yang tutup atau gulung tikar selama yang dihadirkan betul-betul memiliki kekhasan. Bahkan lembaga-lembaga pendidikan seperti ini dengan mengusung branding baru meskipun didirikan di atas gunung, di tengah sawah, di tempat terpencil akan terus diburu calon peserta didik karena adanya kesesuaian antara bakat minat anak dengan kekhasan lembaga.
Kita lihat Pondok Gontor, Azzaytun, dan lain-lain yang awal didirikan jauh dari hiruk pikuk keramaian masyarakat dan ibukota, tetapi ternyata setelah berdiri beberapa tahun masyarakat seluruh penjuru tanah air bahhan dari manca negara berbondong-bondong mendatanginya.
Dalam beberapa kunjungan ini, yang tidak kalah menarik adalah kesan yang saya peroleh dari KH. Muhammad Tidjani Djauhari ketika berkunjung di Pondok Pesantren al-Amin Prenduan Sumenep Madura. Ketika bertemu beliau, langsung ada sebuah pertanyaan yang dilayangkan kepada saya untuk dijawab. Pertanyaannya sangat relevan dengan kegelisahan hati saya bagaimana cara membangun lembaga pendidikan yang hebat, bermutu, terkenal dan diminati masyarakat. Pertanyaan yang disampaikan, “Apakah sampean ingin menyelenggarakan pendidikan yang bermutu?”
Saya jawab, “Ya Pak Kiai”.
“Kalau ingin menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, sedkit saja muridnya. Kalau banyak itu namanya pemerataan,” demikian jawabnya.
Lantas beliau mengutip bagian ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah Ayat 249 yang berbunyi, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedkit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.”
Dari penjelasan ayat tersebut juga disinggung dan dihubungkan dengan masalah pendidikan. Lebih lanjut beliau mengatakan, kalau ingin menyelenggarakan pendidikan yang bermutu itu muridnya jangan banyak-banyak, kalau muridnya banyak itu namanya hanya pemerataan.
Nasihat bijak dari KH. Tidjani Djauhari ini makin meneguhkan kita semua para pengelola lembaga pendidikan. Dalam kondisi apapun terkait dengan jumlah murid semestinya tidak membikin gelisah atau kekhawatiran. Bila jumlah muridnya banyak maka kita yakini akan memberikan dampak terhadap perluasan akses dan bila jumlahnya sedikit kita juga yakin bahwa mereka itu adalah orang-orang hebat yang bisa mengangkat nama baik lembaga. Justru dengan peserta didik dengan jumlah yang sedikit sesungguhnya kita akan bisa memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Model seperti inilah yang sesungguhnya bisa memberikan layanan terhadap keragaman kecerdasan peserta didik. Dan ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan yang jumlah peserta didiknya terlalu banyak.
Ada satu lagi pernyataan yang menarik dari KH. Muhammad Tidjani Djauhari, “kalau hanya seperti itu kami sudah lama melaksanakan”. Ungkapan ini disampaikan ketika pondok pesantren kedatangan tamu-tamu dari kementerian pendidikan. Saat itu para pejabat dan konsultan ini sedang mensosialisaikan konsep tentang Manajemen Berbas Sekolah (MBS) dan Total Quality Management (TQM). Setelah konsep ini diuraikan panjang lebar di depan kyai dan beberapa pengurus pondok pesantren dengan serius dan penuh semangat, kyai menanggapi dengan enteng, kalau seperti ini sudah lama kami melaksanakan.
Sangat dimaklumi, karena ini program baru maka perlu intens untuk disosialisasikan kemana-mana sebagai sebuah kebjakan yang harus dilaksanakan oleh stakeholders pemerintah yang mengelola dan menyelenggarakan pendidikan. Dari peristiwa ini dapat diambil pelajaran oleh kedua belah pihak baik pemerintah maupun penyelenggara pendidikan. Bagi pemerintah hendaknya jangan terlalu memaksakan program-program baru yang sesungguhnya secara esensial sebenarnya sudah dilaksanakan di masyarakat. Hanya dengan istilah baru atau dengan menggunakan istilah bahasa asing seolah-olah ini hal yang baru, terobosan dan inovasi padahal isinya atau hakekatnya sudah lama dilaksanakan.
Demikian juga bagi penyelenggara lembaga pendidikan terutama yang sudah cukup lama didirikan, tidak perlu latah dan gegabah mengikuti program-program yang baru padahal apa yang sudah dilaksanakan justru lebih. Kita harus yakin dan bangga dengan yang sudah kita miliki untuk terus dikembangkan karena ini adalah distingsi yang tidak dimiliki oleh lembaga lain dan merupakan branding lembaga. Dengan modal ini justru membuat masing-masing lembaga pendidikan akan dapat mengatakan, “Kami adalah satu-satunya.”
Mudah-mudahan bermanfaat.