Menurut riwayat, saat Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah pernah meminta keponakannya, Ubaidillah bin Ziyad, anak gubernur Iraq Ziyad bin Abi Sufyan untuk menghadap. Saat Mu’awiyah memberikan instruksi kepadanya, ia melakukan kesalahan. Hingga Mu’awiyah mengirim kembali keponakannya tersebut kepada ayahnya sembari menyertakan catatan yang berisi komplainnya dan berkata: “Apakah Ubaidillah hanya segini kapasitasnya?”
Ziyad kemudian datang kepada Abul Aswad ad-Du’ali dengan berkata bahwa telah banyak terjadi kesalahan dan kerancuan dalam dialek bahasa Arab. Sehingga diperlukan terobosan untuk memperbaiki kualitas bahasa dan tata bahasa Alquran mereka. Pada awalnya Abul Aswad menolak dan tidak berkenan meluluskan permintaan Ziyad.
Ziyad tidak kekurangan akal, dia lalu menunjuk seseorang supaya nongkrong di jalan yang biasa dilewati oleh Abul Aswad sembari membaca Alquran yang sengaja disalahkan.
Ketika Abul Aswad lewat, ia melakukan apa yang diperintahkan Ziyad dengan membaca ayat ketiga dari surah at-Taubah dengan menyalahkan lafaz “warasuluh” menjadi “warasulih”,
اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ ەۙ وَرَسُوْلِهِۗ
Ketika beliau berpikir akan potensi bahaya yang akan ditimbulkan dari cara baca terhadap Alquran yang salah, akhirnya Abul Aswad mengiyakan permintaan Ziyad untuk membubuhkan tanda baca Alquran.
Beliau akan mulai dengan pembubuhan tanda baca sebagai penanda “i’rab Alquran”. Karena itu beliau meminta Ziyad untuk menyiapkan 30 orang, setelah diseleksi mengerucut menjadi 10 orang, dan terakhir tinggal satu orang dari klan Abdul Qais yang akan menuliskan apa yang didiktekan Abul Aswad.
Beliau berkata kepada sekretarisnya tersebut, “ambillah mushaf dan tandailah dengan warna yang berbeda dari tulisan Al-Qur’an. Jika kedua bibirku membaca fathah, maka tulislah satu titik di atas huruf, jika bibirku membaca dlommah, maka letakkan satu titik di depan huruf, dan jika bibirku membaca kasrah, maka berilah satu titik di bawah huruf. Jika aku memberikan tambahan pada harakat-harakat tadi karena bacaan tanwin, maka bubuhkanlah dua titik.”
Fragmen di atas menjadi inspirasi timbulnya “Ilmu Naqth wa Syakl” atau juga biasa disebut “Ilmu Dhabt”. Ilmu Naqth ini dibagi menjadi dua, “Naqth al-I’rab” dan “Naqth al-I’jam”.
Naqth al-I’rab adalah pembubuhan titik pada akhir suatu kata sebagai tanda yang menunjukkan kedudukan I’rabnya. Nah, yang dilakukan oleh Abul Aswad ad-Dua’li dalam kasus di atas adalah termasuk dalam Naqth al-I’rab. Saat itu Abul Aswad membubuhkan tanda titik dengan warna merah untuk membedakan dengan warna tulisan teks Alquran yang berwarna hitam.
Sedangkan Naqth al-I’jam adalah pembubuhan titik pada huruf Hijaiyyah untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya. Misalkan huruf Ba. Ta’, Tsa’ dan Nun atau antara huruf Ha’, Jim, dan Kha’, atau Dal dan Dzal, atau Ra’ dan Za’, atau Sin dan Syin, atau Shad dan Dhad, atau Tha’ dan Dza’, atau ‘Ain dan Ghain, atau Fa’ dan Qaf.
Menurut DR. Ahsin Sakho’ Naqth al-I’jam muncul dan berkembang setelah 50 tahun munculnya Naqth al-I’rab yang digagas Abul Aswad. Penandaan untuk membedakan antar huruf-huruf Hijaiyyah yang berbentuk sama ini diinisiasi oleh dua murid Abul Aswad yaitu Yahya bin Ya’mar atau bisa juga dibaca Ya’mur dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi.
Kemudian perkembangan tanda baca berikutnya adalah penambahan Sukun, Tasydid atau Syiddah, Hamzah, Roum, dan Isymam yang dikenalkan oleh seorang ahli Nahwu dan merupakan guru dari Imam Sibawaih yaitu Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Beliau juga terkenal sebagai penemu ilmu Arudh. Wallahu alam.