Ketika membicarakan hubungan antara filsafat dan agama maka hal yang muncul dan menarik untuk dibahas adalah bagaimana cara mencari titik temu antara keduanya. Seringkali kita temukan benturan-benturan antara filsafat dan agama.
Mengapa? karena keduanya memiliki cara pandang dan pijakan yang berbeda dalam merumuskan kebenaran. Jika agama, menyuruh para penganutnya untuk mempercayai dogma-dogma tanpa mempertanyakan dan meragukannya, sedangkan filsafat sendiri sangat mendewakan nalar pikiran dan tidak menerima dogma agama yang tidak sesuai dengan akal manusia.
Kemunculan filsafat sendiri timbul dari kesenjangan pikiran manusia mengenai berbagai problem mendasar yang dialami manusia, melalui pertanyaan yang timbul dari dalam dirinya sendiri dengan bersenjatakan akal untuk menemukan jawaban serta pemecahannya. Filsafat mencakup pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis antara ide-ide.
Misalnya, timbul pertanyaan “Siapakah aku?” dan “Dari mana datangnya dunia?” berbekal dari situ akan timbul berbagai pertanyaan-pertanyaan berantai yang saling berkesinambungan. Mulai dari asal muasal alam semesta dan hidup, hakikat manusia dan jiwa hingga eksistensi Tuhan.
Seperti yang Sophie Amundsend alami dalam sebuah novel filsafat “Dunia Shopie” yang menceritakan perihal ekspedisinya menelusuri berbagai gagasan para filosof sejak abad 585 SM lalu, dalam mencari kebenaran. Tidak jarang dari pemikiran mereka yang berbenturan dengan dogma agama serta mitos dan ada juga yang menemukan titik temu antara filsafat dan dogma agama.
Dalam upaya pencarian kebenaran pengetahuan atau pengetahuan yang benar, filsafat sesungguhnya bisa menjadi alat untuk menjelaskan dan memperkokoh keyakinan. Sehingga ajaran agama tidak hanya menjadi dogma semata, dan agama bisa menjadi inspirasi bagi timbulnya pemikiran filosofis yang benar.
Analogi mudahnya seperti cara kita mengetahui sedang ada hujan, dengan melihat adanya kilat menyambar dan adanya guntur. Kita bisa mendengar guntur bahkan jika kita buta dan kita juga bisa melihat kilat menyambar meskipun kita tuli. Memang akan lebih baik jika kita menggunakan mata dan telinga, tapi sejatinya tidak ada pertentangan antara keduanya, sebaliknya keduanya justru saling menguatkan satu sama lain.
Thomas Aquinas seorang filosof atau lebih tepatnya bila dikatakan ahli teologi, adalah salah satu orang yang berusaha memadukan antara filsafat dan dogma Agama Kristen. Aquinas menyatakan bahwasanya tidak perlu ada perdebatan dan pertentangan antara cara akal filosof berpikir dengan keimanan manusia terhadap wahyu.
Aquinas percaya bahwa ada kebenaran mutlak yang dapat dicapai melalui iman dan akal bawaan kita. Kebenaran tentang adanya Tuhan misalnya, dengan yakin Aquinas menerangkan bahwa ada jalan menuju Tuhan melalui akal dan indra juga melalui iman dan wahyu. Meskipun tentu jalan yang ditempuh melalui iman dan wahyu itu pasti lebih benar jika dibandingkan dengan akal, karena hakikatnya yang tidak sempurna tidk akan menghasilkan gagasan yang sempurna pula.
Memadukan dengan gagasan Aristoteles “Tuhan sebagai penggerak utama dan sebab formal dari gerakan benda-benda di alam.” Aquinas membuktikan kesinambungan pemikiran Aristoteles itu dengan Kitab Suci dan dogma agama.
Kita semua dan bahkan para filosof percaya bahwa Tuhan itu ada, dan tidak ada yang bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Melalui teologi alam atau akal Aquinas mengatakan Tuhan menampakkan wujudnya sebagai pencipta alam semesta karena kita tahu semua yang ada di sekitar kita pasti ada dari Dzat yang kekal dan tidak mungkin muncul dari ketiadaan. Lalu melalui teologi iman Tuhan menampakkan dirinya sebagi Dzat yang layak diimani.
Dalam kasus ini, seperti kita mengenali seorang penulis buku, hanya dengan membaca satu karangannya saja, namun kita akan lebih mengenal penulis itu jika membaca biografi atau otobiografinya. Kita mengenal Tuhan melalui Ciptaan-Nya namun kita akan lebih mengenal Tuhan melalui Firman-Nya.
Sejalan dengan itu fisafat Islam Abu Yusuf Yaqub Al-Kindi mengajukan tiga argumen untuk membuktikan adanya Tuhan—Allah.
Pertama, argumen baharunya alam, sama halnya dengan Thomas Aquinas, Al-Kindi beragumen bahwasanya setiap benda pasti ada menyebabkan wujudnya dan tidak mungkin benda itu sendiri yang menjadi sebab wujudnya.
Kedua, mengenai keanekaragaman dalam wujud, Al-Kindi yakin kalau keanekaragaman yang ada di alam ini tidak terjadi dengan sendirinya atau secara kebetualan—melalui proses alam, tetapi karena ada yang merancangnya. Karena jika alam itu sendiri yang menadi sebabnya maka akan terjadi rankaian yang tidak ada habisnya. Maka dari itu penyebabnya harus di luar alam itu sendiri.
Ketiga, tentang kerapian alam, sama dengan kedua argumen di atas, Al-Kindi berargumen bahwa alam tidak mungkin terkendali begitu saja dengan sendirinya—seperti alat mekanis misalnya. Pasti ada Dzat yang mengatur “penggerak utama” alam semesta dan itu adalah Allah.
Inti dari semua argumen itu sama bahwa eksitensi Tuhan dapat ditemukan melalui jalan pikiran manusia yang sejatinya tidak sempurna, juga melalui Firman-Nya—kitab—dan ajaran agama.