Sedang Membaca
Saya Tak Mau Jadi Guru seperti Bapakku
Imam Shofwan
Penulis Kolom

Lahir di Pati, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di sejumlah pesantren. Kini, selain menulis di banyak media nasional dan internasional, Shofwan juga aktif menjadi mentor di kelas menulis.

Saya Tak Mau Jadi Guru seperti Bapakku

Surat itu biasanya ditujukan pada Bendahara Madrasah Ibtidaiyah atau Diniyah tempat Bapak mengajar sejak muda hingga sekarang. Ia ditulis rapi di selembar buku tulis dengan bahasa Jawa halus.

Paragraf awalnya menceritakan kesulitan hidup kami. Bahwa tak ada lagi beras yang bisa dimasak. Paragraf selanjutnya adalah permohonan kasbon supaya kami bisa menyambung hidup. Dan yang terakhir adalah cara pembayaran: dipotong dari gaji bulanan Bapak.

Surat semacam ini hampir tiap bulan dibikin Bapak dan saya tahu betul kepada siapa dan apa isinya karena saya kurir tetapnya. Biasanya saya antar surat ini pagi-pagi sebelum berangkat sekolah.

Bagi saya ini adalah pekerjaan paling berat. Jantung saya selalu berdebar kencang begitu dekat dengan rumah tujuan. Saya membayangkan omelan-omelan apalagi yang akan saya dengar. Yang paling sering, ‘kasbon yang kemarin saja belum terbayar, sudah kasbon lagi.’

Mungkin saya trauma dengan kasbon. Saya takut sekali kasbon hingga sekarang.

Tak selamanya kasbon itu dikabulkan dan kalau sudah begitu jalan pulang menjadi begitu berat. Saya akan dapat omelan kedua kalinya.

Tak hanya itu, saya dan Ibu juga harus cari jalan keluar supaya ada makan sebelum sekolah buat kami. Biasanya saya ngambil daun jati atau daun pisang dan dikumpulin sebongkok untuk ditukar dengan sebungkus nasi atau lauk di warung nasi Mbah Jaenab.

Kami begitu nggrangsang makanan saat itu. Saya masih ingat betul satu pagi. Sebelum berangkat sekolah saya cari jambu untuk bekal ke sekolah. Karena buru-buru saya loncat dari atas pohon saat sudah terkumpul cukup jambu.

Sial baju saya tersangkut batang dan kraaak. Semua kancing terburai dan bagian depan robek jadi tiga. Ia seragam putih satu-satunya yang saya punya. Dengan dipeniti sana-sini saya pakai seragam itu dan tetep sekolah karena dipaksa ibu.

Ia hari Senin. Hari upacara. Upacara selesai dan saya dipanggil guru. Diomelin di depan teman-teman, ‘Ini mau sekolah atau mau ngarit,’ katanya. Ngarit adalah istilah umum mencari rumput di kampungku. Saya diam saja. Tapi sejak saat itu saya ogah berupacara.

Begitu sulitnya hidup keluarga guru dan ogah diomeli saat kasbon. Menginjak Tsanawiyah saya dan ibu mencoba cari jalan keluar: jualan mie di sekolah.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Muatan dan Pola Pikir Nahdliyin

Resikonya, saya dan Ibu harus bangun subuh-subuh. Bagian saya adalah ngrajang kol, bawang merah dan putih, melap daun pisang untuk bungkus, ngulek bumbu dan bikin biting dari lidi. Selebihnya Ibu yang bikin mie dan ngetum kecil-kecil.

Tiap pagi saya bawa sekresek mie tum-tuman dan saya jual di kelas saat istirahat. Beruntung ia laku keras. Saya kumpulkan duit sedikit Demi sedikit. Hingga saya punya tiga puluh ribu Rupiah. Jumlah paling besar yang saya punya saat itu.

Hingga seorang kawan di pinggir hutan jati menawari saya sepasang ayam hutan. Harganya dua puluh lima ribu dan saya sudah dapat calon pembeli yang berani bayar empat puluh ribu. Saya membayangkan untung besar.

Rumah kawan ini cukup jauh. Tetangga kecamatan di Kletek, Pucakwangi. Ia tiga sampai empat jam bersepeda dan saya harus menginap semalam di rumahnya.

Paginya, ayam sepasang siap. Ia dimasukkan dalam kiso ayam kampung (anyaman daun kelapa). Sayang ukuran kiso terlalu besar karena ayam hutan lebih kecil dari ayam kampung.

Harusnya bagian kepala dan buntut ayam terlihat. Namun karena kekecilan ayamnya masuk semua ke kiso. Saya cepat-cepat pulang. Siang begitu terik dan saya mengayuh tiada henti. Tengah hari saya sampai rumah.

Untung tak dapat diraih sial tak bisa ditolak. Sampai rumah ayam kaku. Mati. Badanku lemas semua. Ayam mati adalah melayangnya duit jualan mie berbulan-bulan. Ia kegagalan investasi pertama Saya. Saya sedih sekali. Ibu mengenang saat itu, saya mengurung diri berhari-berhari.

Bagi orang miskin tak waktu untuk bersedih lama-lama. Kesulitan hidup tak punya jeda. Untuk menghibur saya, Ibu membelikan saya sepasang ayam kampung dari sisa duit saya yang ia tambahi.

Ia dipilih yang paling jelek biar murah. Ayam itu tak berbulu dari leher hingga kepala.

Saya membuatkan kurungan bambu, memberi makan bekatul pagi dan sore. Ia cepat besar. Hingga hari naas itu tiba. Saat keluar kandang ia cari makan tambahan di sawah samping rumah.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (11): Visi Keilmuan Pesantren Kiai As’ad Dapat Dilihat Saat Merancang Ma'had Aly

Ia pergantian musim hujan ke musim kemarau saat pemilik sawah mulai menyemai jagung. Supaya biji jagung tak dimakan yuyu ia memberi perangkap beracun. Perangkap itu dimakan dua ayam saya. Tak butuh waktu lama, keduanya tewas.

Kejadian ini mengorek kembali luka kehilangan ayam sebelumnya yang belum pulih benar. Terkadang kesialan datang bertubi-tubi. Saya merasa jadi orang termalang sedunia.

Pak Sajad, guru diniyah, adalah pemilik sawah. Di Kampungku dikenal pemarah dan suka bawa golok kalau menyelesaikan masalah.

Saya tak peduli. Dua bangkai ayam itu saya tenteng ke rumahnya. Sepanjang jalan saya menangis. Saya minta Pertanggungjawaban.

Setelah ketemu Pak Sajad ciut juga nyali saya. Saat ditanya kenapa ayam saya? Saya tambah kencang menangis. Saya tinggal begitu saja dua bangkai itu.

Di kampung saya tak susah cari tahu jawaban kenapa seperti itu. Tak lama Pak Sajad datang ke rumah, membawa sepasang ayam yang lebih besar dan lebih bagus. Bulunya lengkap. Sa gembira tak terkira. Saking gembiranya saya tak sempat berterima kasih.

Saya tak ingin kehilangan ayam itu lagi. Ia saya buatkan kandang besar di belakang rumah. Tak boleh cari makan di luar.

Naik kelas dua Tsanawiyah saya tak lagi jualan mie. Ayam-ayam itu menyita waktu saya. Tak lama setelah diberikan ia bertelor dan menetaskan sebelas anak.

Anak-anak ayam ini saya pisah dengan induknya dan ditaruh di kandang kecil. Supaya hangat saya kasih lampu Lima watt. Makanannya trimbel dan minuman bervitamin vitachick. Mereka tumbuh cepat dan dalam beberapa bulan menjadi ratusan.

Sa punya kesempatan beli dua ayam yang lebih bagus. Ayam Bangkok dan ia juga cukup menguntungkan.

Prestasi terbesar saya setelah usaha ayam ini adalah bisa membayar SPP, ujian, rekreasi, hingga mendaftar Sekolah Aliyah.

Sekolah Tsanawiyah adalah sekolah paling murah di desa kami. Hanya belasan ribu tiap bulannya. Namun bagi guru swasta seperti Bapak ia sering ‘nunggak’. Bapak memotong gajinya untuk SPP saya dan dua adik. Ia tak nunggak sebenarnya. Tapi gaji Bapak yang seratus ribu lebih sedikit itu tak ada sisanya lagi tiap bulannya setelah berbagai kasbon dan SPP.

Baca juga:  Al-Biruni, Mencipta Teori Sains hingga Menulis Sejarah Hindu

Karenanya setelah punya duit jual ayam saya mulai membayarnya.

Ia tak ada persolan hingga saya lulus Tsanawiyah karena kebanyakan kawan-kawan saya juga banyak yang miskin seperti keluarga kami. Banyak yang nunggak SPP juga. Punya penghasilan ayam membuat saya lebih percaya diri.

Kepercayaan diri itu hilang ketika saya melanjutkan sekolah ke Aliyah Lasem di mana saya tak bisa lagi beternak ayam karena harus mondok.

Untuk bisa lanjut sekolah saya dinunutkan ke keluarga adik Ibu. Mereka memberi makan dan tempat tinggal. Karena tinggal di dekat Pondok An-Nur saya bisa ikut semua kegiatan Pondok seusai sekolah.

Kadang-kadang Bapak bayar Bulek untuk makan saya sehari-hari tapi lebih sering tidak. Saya membantu di dapur sebisanya untuk gantinya.

Masa-masa Aliyah adalah masa dimana makanan-makanan begitu enaknya. Yang termewah adalah ketika tiap awal bulan setelah Om gajian biasanya ditraktir bakso di pojok alun-alun Lasem. Ia nikmat tiada tara. Atau kalau punya duit saya beli bubur Madura di utara Masjid Lasem. Mangkuk bubur kacang ijo itu selalu tandas seperti habis dilap.

Yang paling sering di warung pecel Djancuk, Soditan. Di warung murah-meriah ini kami bisa tanduk sampai lima kali kalau duit mencukupi.

Ketika saya masuk Aliyah, Kakak saya kelas dua Aliyah dan mondok juga di Rembang dan adik pas saya masuk Tsanawiyah dan yang paling kecil di Ibtidaiyah.

Masa-masa krisis keuangan memburuk. Saya tak tahu bagaimana cara Bapak memutar otak menyekolahkan kami semua. Yang saya tahu, Bapak tak pernah beli atau pakai baju baru, sepatu yang dipakai mengajar lungsuran dari Om di Semarang sudah jebol di mana-mana.

Ia ke mana-mana pakai sepeda butut yang karatnya tinggal menyisakan sedel dan stangnya. Ia mengerahkan semua duit yang dia punya untuk kami sekolah.

Belakangan saya tahu utangnya merambah. Kalau dulu di Bendahara sekolah, ia bertambah ke saudara-saudara, kas RT, kas Mesjid hingga sedikit demi sedikit ia mulai pinjam ke Bank.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top