Sedang Membaca
Ngaji Tuwo ala Mbah Moen
Imam Shofwan
Penulis Kolom

Lahir di Pati, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di sejumlah pesantren. Kini, selain menulis di banyak media nasional dan internasional, Shofwan juga aktif menjadi mentor di kelas menulis.

Ngaji Tuwo ala Mbah Moen

Kiai Haji Maimoen Zubair atau Mbah Moen punya arti istimewa di hati Bapakku. Apa yang dibilang Mbah Moen, itulah yang dikerjakan Bapak. Sebagai anak yang dikemudian hari berada di lingkungan yang mendewakan rasio, “kepatuhan” Bapak pada Mbah Moen tentu musykil: Ada apa?

Inilah kisah Bapakku dengan Mbah Moen yang baru saja meninggalkan kita kemua.

Tahun 1971, setelah lulus Aliyah, Matholi’ul Falah, Bapak nyantri di Sarang tiga tahun setengah. Di sana kepatuhan Bapak, tanpa syarat, terhadap Mbah Moen dibentuk.

Mbah Moen hampir mewarnai tiap jalan hidup Bapak. Setahun setengah usai nyantri di Sarang, Bapak memutuskan untuk menikah. Bapak konsultasikan calon yang akan dia jadikan istri. Setelah dijelaskan asal-usul calon, Mbah Moen bilang, “cocok iku.” Legalah hati Bapak dan itu yang dia kerjakan.

Usai menikah dengan Ibu, Bapak menetap di desa kelahirannya, Semerak, Margoyoso, hingga saya dan kakak saya lahir. Bapak punya usaha jual-beli padi. Namun Mbah Moen meminta Bapak pindah ke kampung Ibu di desa Sumberejo, Jaken. “Kowe luwih diperlokno neng kono,” kata Bapak, mengingat nasehat Mbah Moen. “Gusti Allah, mengko sik nyukupi.” (Kamu lebih diperlukan di sana. Nanti Gusti Allah yang mencukupi kebutanmu)

Semerak adalah desa tetangga Kajen, tempat Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz tinggal. Sementara Jaken, sejam perjalanan dari Kajen ke selatan, belum banyak kiai saat itu. Karena alasan itulah Mbah Moen minta Bapak pindah dan diamini Bapak. Kira-kira, perintah Mbah Moen adalah perintah dakwah.

Kampung baru ini, meski satu Kabupaten Pati, beda sekali. Semerak tak pernah kekurangan air karena di lereng Gunung Muria, sementara Sumberejo selalu kurang air kalau kemarau. Air ini berpengaruh pada panen padi.

Baca juga:  Gelar-Gelar Geografis Ulama Nusantara: Fansuri hingga Minangkabawi

Di Semerak paling tidak, petani bisa panen tiga kali setahun. Sementara di Sumberejo, bisa panen sekali di musim hujan saja sudah untung. Musim kemarau, sama sekali tak bisa ditanami padi. Petani biasanya tanam palawija.

Bapak mulai kehidupan baru di Kampung istri. Ia mulai dari nol. Mbah saya, atau kakek, senang Ibu balik kampung. Oleh Mbah, Ibu diberi sebidang tanah untuk mendirikan rumah. Awalnya, Mbah ingin memberikan tanah di depan rumahnya, namun konsultasi dengan Mbah Moen menyatakan sebaliknya. Menurut Mbah Moen anak muda tak baik ditempatkan di depan rumah orang tua. Mbah Moen meminta, di belakang rumah saja. “Cah nom kok didokok dhuwur. Kono ceblokno neng peceren.” Kata Bapak menirukan ucapan Mbah Moen saat itu. Artinya, anakmuda kok dikasih di atas. Sana, dorong ke got.

Tanah belakang rumah tersebut dikenal sangar, wingit, dekat kuburan. Namum Mbah Moen membesarkan hati Bapak, ”Bumi iki digawe kanggo menungso.nek mbuk nggoni, engko lak suwe-suwe apik. Bumi ini diciptakan untuk manusia. Jika ditempati/dipakai, nanti akan bagus.” 

Namun di sisi lain, Bapak masih belum melupakan ucapan almarhum Mbah Muktari tentang tanah itu, “jalmo moro, jalmo mati. Yang datang, yang akan mati” Bapak menyampaikan semacam “rumus alam” ini ke Mbah Moen sebelum beliau mengisi pengajian di rumah Jasman, seorang tetangga desa.

Mbah Moen lantas bilang, “Mengko nek omahmu wis ngadek, wacakno Fatehah dan Qulhu mubeng omah, karo nyeret carang. Mulai seko lor etan. sik lor madep ngalor, kulon madep ngulon, kidul madep ngidul, etan madep ngetan. Nek wis, carnage oklek-oklek, lurokno godong opo-opo lan godong alang-alang. Lebokno kendil, pendem neng tengah omah.” Kata Bapak menirukan Mbah Moen via telepon, “Wacakno ‘niat ingsun ora ora mendem iki barang, (tapi) mendem nefsune wong sak omah. La la Ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”

Baca juga:  Soekarno, Peci Hitam, dan Sunan Giri

Soal rumah selesai. Bapak akhirnya menempati tanah yang sesuai yang diusulkan Mbah Moen hingga sekarang. Dua adik saya lahir di rumah baru ini. Soal selanjutnya pekerjaan. Bapak tak bisa melanjutkan bisnis padinya dan itupun di konsultasikan pada Mbah Moen. Mbah Moen bilang, “Sik ditinggalno Mbahem iku ora bondo, neng pondok karo madrasah, cekeli iku.” Itu pula yang dipegang Bapak hingga sekarang.

Kalau ada tawaran pekerjaan, karena mengasuh pondok dan madrasah penghasilan tak mencukupi, Bapak bilang ke Mbah Moen. “Urip iku ra sah kemaruk. Ra sah kemaki, iso ngladeni masyarakat, ora keras-keras, ora kenceng-kenceng.” Lanjut Bapak mengenang ucapan Mbah Moen. “Pekerjaan iku cukup siji, neng cekeli tenanan.”

Kepergian Mbah Moen adalah pukulan bagi Bapak. Ia kehilangan tempat mengadu atas masalah hidup. Semalaman Bapak merasakan badan tak enak, susah tidur, seperti akan ada prahara.

Paginya, Bapak menerima kabar meninggalnya Mbah Moen. Bapak menangis. Begitupun saat melihat tayangan pemakaman Mbah Moen dia menangis lagi. “Mugo-mugo iso ziarah makame Mbah Moen.”

Tiap minggu, kalau Bapak punya duit, rutin dia ikut pengajian tafsir mingguan yang diampu Mbah Moen di Sarang. Usai mengaji biasanya Bapak sowan Mbah Moen minta do’a selamat, mengantri bersama ratusan santri lain dari berbagai penjuru negeri. Biasanya, para santri, menyebut nama dan maksudnya. Singkat padat, begitu juga Bapak. “Kulo Nukman, Mbah,” kata Bapak kalau sowan. “Aku ijek eleng kowe kok Nuk,” biasanya Mbah Moen menjawab dan membuat santrinya, seperti Bapak, bangga. 

Baca juga:  Siapa Sosok Haji Hisyam, Arsitek Pendidikan Muhammadiyah itu?

Tiap rajab, dua tahun sekali, Mbah Moen datang ke pengajian haul Mbah Buyut. Di forum-forum seperti ini Bapak biasanya menyampaikan keluhannya. Dari yang remeh-remeh seperti soal hari lebaran hingga soal negara dan pilihan partai politik. Bapak adalah pencoblos PPP loyal, di zaman Orde Baru, karena Mbah Moen.

Persinggungan yang begitu inten menyebabkan saya kenal Kyai Maimoen Zubair dari kecil. Seperti banyak orang kampungku, biasa kami, panggil Mbah Moen saja. Apa yang dibilang Mbah Moen itulah yang dikerjakan Bapak. Paling tidak itu yang pernah Bapak ceritakan ke saya. Tak seperti kyai-kyai lain, yang biasa pengajiannya penuh humor, ceramah-ceramah Mbah Moen biasanya soal falsafah hidup dan mengajak orang berfikir. Orang kampungku menyebutnya “Ngaji Tuwo.” Biasanya tinggal orang-orang tua yang tahan, yang muda-muda biasanya bosen. 

Tak banyak isi ceramah Mbah Moen yang saya ingat. Biasanya, saya tertidur saat Mbah Moen ceramah. Usai ceramah, biasa rombongan Mbah Moen makan malam di rumah, biasanya, makanan istimewa yang tak sehari-hari dihidang. Ayam opor, Sego golong, sate, jangan bening, urap, paket lengkap.

Biasanya, Bapak paling belakang makan, dia mengumpulkan sisa-sisa makan Mbah Moen. Yang saya ingat, biasanya, Bapak membangunkan saya untuk minum bekas minum Mbah Moen dan tak lupa dimintakan doa dari Mbah Moen. Minta berkah.

Kenapa tiap dua tahun sekali? Saya pernah tanya itu ke Bapak. Bapak bilang, “ngaji Mbah Moen itu tempat ngumbah (mencuci) ilmu,” kata Bapak. “Kita bisa ngaji ke mana saja, tapi yang terkahir harus dengan Mbah Moen.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)
  • Terimakasih artikelnya mas Imam, sayang saya kurang paham petuahnya Mbah Moen mas Imam tulis, karena bukan orang Jawa, padahal saya ingin mengerti juga.

  • 3 hari ini saya misek2 terus
    sanes santri lan nggih mboten tekdir kulo saget sowan beliau

    mireng kabar beliau kepundut kulo sesengukan
    setiap membaca kesaksian org2 dekat beliau
    rasane nyeseeek banget trs misek2 nda karuan

    beruntung njenengan saget menangi beliau
    dados santri ne mbah moen

    trs piye iki ya Allah … ya Allah … ya Allah

Komentari

Scroll To Top