Pati punya tempat tersendiri di hati almarhum Gus Dur. Belum genap sepasar jadi presiden dia mengunjungi kota ini. Bahkan sebelum dia berkunjung ke kota kelahirannya di Jombang. Gus Dur jatuh cinta pada Pati, satu daerah miskin di pantai utara Jawa Tengah, lebih dari sekedar di sana merupakan kampung kelahiran kakeknya dari pihak ibu: Kiai Bisri Syansuri.
Tapi, Pati pun tak gampang menerima kunjungan Gus Dur. Abdullah Salam, kiai sepuh kelahiran Kajen-Pati, yang biasa dipanggil Mbah Dullah, memberi syarat supaya Gus Dur datang sebagai santri bukan sebagai presiden. Sebagai santri, Gus Dur harus sowan dari pintu dapur.
Santri tak biasa membantah ucapan kiai dan Gus Dur mengiyakan syarat Mbah Dullah dan melaksanakan praktik santri dengan lengkap. Pertama ziarah kubur.
Begitu sampai di Kajen Gus Dur langsung berziarah dan tahlil ke makam Mbah Muttamakin, leluhur para kiai di Pati yang diabadikan rujukan sejarah Serat Cebolek.
Setelahnya baru acara sowan dimulai, pertama ke rumah Pamannya Kiai Sahal Mahfudz, lantas ke rumah Mbah Dullah. Lewat pintu belakang seperti yang diminta Mbah Dullah. Mbah Dullah memang istimewa, bahkan dinilai sebagai “wali”.
Selain Kajen, ada pula tempat di Pati yang pernah dikunjungi Gus Dur. Ia adalah makam misterius di Ngepungrejo, Pati. Tak pasti itu makam siapa. Orang kampung menyebutnya Mbah Khalifah.
Tak diragukan lagi bahwa Pati punya tempat tersendiri di hati Gus Dur. Mungkin, Pati adalah salah satu daerah yang banyak dikunjungi Gus Dur. Alasanya karena karena Pati adalah salah satu basisnya Islam moderat. Menghormati agama yang datang sebelumnya. Ia seperti yang dicontohkan Kiai Muttamakin yang juga mempelajari kitab Dewaruci selain menguasai Alquran dan hadis.
Cerita lebih lanjut soal Kiai Muttamakin bisa dibaca di khazanah klasik Jawa Serat Cebolek. Sementara biarlah tulisan ini kembali ke Gus Dur dan Pati. Gus tak ingin khazanah Islam moderat ini digantikan dengan Islam yang keras. Yang mengusung ide khilafah dan ditopang dari dua organisasi Islam internasional Hizbut Tahrir (HT) dan Ikhwanul Muslimin (IM).
Di Indonesia HT bermetamorfosis menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sedang IM di Indonesia jadi Partai Keadilan (PK), yang kini jadi PKS.
Gus Dur langsung tunjuk hidung pada HTI dan PKS ini. Mereka dianggap Gus Dur sebagai perongrong Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Utamanya dengan mengambil alih masjid-masjid dan madrasah serta sekolah NU dan Muhammadiyah kemudian mengubahnya jadi HTI atau PK.
Gus Dur menganggap Pati sebagai salah satu kota yang terancam wabah PKS-isasi dan HTI-sasi ini. Gus Dur menceritakan hal ini di buku Ilusi Negara Islam.
Secara terperinci Gus Dur menceritakan bagaimana proses HTIsasi dan PKS-isasi ini: awalnya mereka datang ke masjid ikut jamaah salat. Terus mereka bersih-bersih masjid dan toiletnya menarik simpati masyarakat sekitar. Setelah cukup simpati mereka naik pangkat jadi tukang azan, naik lagi jadi imam sampai jadi takmir masjid.
Ini puncak misi ini. Di mana mereka akan memasukkan sesiapa yang boleh jadi imam, sesiapa yang jadi khatib. Memilih mereka yang berhaluan keras untuk naik mimbar.
Gus Dur dapat cerita ini langsung dari Kiai Muadz yang merupakan pucuk pimpinan NU di Pati.
Tak hanya itu PKS-asi dan HTI-sasi juga melakukan penetrasi lebih dalam. Mereka merekrut anak-anak dari keluarga NU menjadi anggota mereka.