Sedang Membaca
Dari Perang Salib ke Perang Dagang
Imam Nawawi
Penulis Kolom

Santri Baitul Kilmah, dan Mahasiswa S2 Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga.

Dari Perang Salib ke Perang Dagang

Abad dua puluh satu bukan penanda manusia telah lebih berbudaya. Peradaban sains dan teknologi yang maju hanya penyesuaian perangkat dengan perubahan zaman. Manusia abad 21 masih tidak ubahnya manusia purba zaman batu, yang hidup dengan berburu. Hanya saja, target buruan hari ini bukan lagi binatang melainkan bertambah berupa: good, gold, glory (3G).

Memburu 3G tersebut disertai oleh perang, penjarahan, penaklukan. Sekira 1000 tahun silam (1095 M), Perang Salib didengungkan oleh Paus Urbanus II. Sekira 400 tahun kemudian (1509 M), bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis mendarat di bumi Nusantara.

600 tahun berikutnya, di era Orde Baru Presiden Soeharto (1965 M), bangsa Amerika Serikat terpikat hati untuk menjajah Indonesia. Semua soal perburuan bahan pokok, emas, dan kedigdayaan.

Ali bin Abi Thalib Ra mengatakan, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Perkara organisasi adalah kata kunci bagi kemenangan maupun kekalahan. Ketika negara-negara yang menjadi rute perjalanan “Tentara Salib” berderma dengan tulus, ketika negara-negara Eropa bersepakat membagi wilayah dunia untuk diri mereka secara sepihak, ketika negara-negara sekutu menyusun strategi yang solid, maka lawan mereka hancur dan takluk.

Tentara Salib menaklukkan dunia Islam karena raja-raja Islam waktu itu tidak bersatu dan berkompetisi. Ketika (bangsa) kolonial Eropa berhasil menduduki negara jajahan seperti Indonesia, karena raja-raja Nusantara maupun Melayu tidak bersatu. Ketika Amerika berhasil menumbangkan rezim Soekarno, karena ideologi “Nasakom” dan para pendukungnya mulai egois dan mencari posisi sendiri-sendiri. Tidak adanya persatuan yang tulus nan kuat adalah alasan kekalahan dan ketaklukan, bukan karena hebatnya kaum penjajah.

Baca juga:  Inilah Kehidupan Imam al-Ghazali yang Tak Banyak Diketahui

Perang Salib, kolonialisme Eropa dan Amerika, bahkan kekuatan kolonial baru (China), tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Pada dasarnya, manusia diberi sifat alamiah yang sama : lapar, haus, berpikir dan merasa. Muhammad bin Zakariya ar-Razi (w. 925 M) sudah mewanti-wanti umat Muslim sejak awal dengan mengatakan:

“Manusia diberi potensi akal yang sama. Siapa yang tekun dan rajin menggali potensinya, maka dia lebih berbakat. Bahkan, bisa mencapai derajat nubuwah para nabi.”

Eropa dan Amerika adalah negeri-negeri miskin secara sumber daya alam, sehingga mereka terpaksa untuk memenuhi tuntutan 3G (makanan, emas, kedigjayaan) harus berburu ke negeri-negeri jauh seperti Afrika dan Asia. Manusia-manusia Afrika dan Asia yang dimanjakan oleh kenikmatan alam mereka, lupa diri sehingga tidak setekun Eropa dan Amerika.

Kini China sebagai wakil Asia menjadi simbol tentang kesadaran tersebut. China lebih dulu sadar bahwa dirinya juga lapar dan harus berburu, bahkan jadi pesaing terberat Amerika dalam memburu negeri-negeri jajahan.

Perang Dagang yang genderangnya ditabuh oleh Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping adalah “alarm” bagi negeri-negeri lain yang masih tertidur pulas. Seakan-akan alarm itu berdering dan berbunyi, “wahai kalian semua, negeri-negeri kecil yang tidak berdaya, segeralah tentukan sikap: bergabung dengan kubu China atau Amerika! Atau, berdiri di atas kaki sendiri dan siap-siap akan dilibas oleh kami!”

Perang Salib, Kolonialisme, dan Perang Dagang adalah tiga perkara berbeda tapi dengan esensi dan substansi yang serupa: watak berburu manusia purba yang belum beradab!

Tetapi, negeri-negeri yang jadi korban perburuan negara-negara besar tersebut, dalam konteks ilustrasi ini, adalah objek-objek atau binatang-binatang. Di sinilah konteks Imam Abu Bakar Ar-Razi di atas menemukan pijakannya. Dalam artian, jika ingin menjadi nabi dan meraih derajat nubuwah, maka galilah potensi akalmu dengan maksimal. Jika tidak maka kalian akan jatuh ke jurang sebagai status binatang, terlebih di hadapan bangsa-bangsa kolonial, baik yang bernama Eropa, Amerika, maupun Asia sendiri seperti China.

Baca juga:  Tuna-Makna Derita Manusia

Sains dan teknologi yang sudah dicapai hari ini tidak layak dibangga-banggakan, selagi dipegang oleh manusia-manusia bernalar pemburu. Sains dan teknologi abad 21 bukan jaminan manusia lebih beradab dan berkebudayaan. Peradaban sains dan teknologi hanya akan semakin merusak kualitas hidup manusia bila tidak diiringi oleh nilai kemanusiaan adiluhung. Yakni, menghentikan nalar berburu dan menganggap negeri lain sebagai binatang buruan. Yakni, menghentikan motivasi kolonialisme, dalam rupa dan atas dasar rasionalisasi bagaimanapun.

Peradaban materialisme hanya akan melahirkan kolonialisme demi kelonialisme yang terus berkelanjutan. Perang demi perang akan terus ditabuh genderang. Yang berbeda hanyalah nama, pelaku, waktu, pola, cara, dan rupa.

Namun, senyatanya tetaplah sama: watak purban untuk berburu, membunuh, dan berpesta di atas kematian. Naifnya, nilai-nilai humanisme sering jadi pengkhianat, dan hanya bekerja untuk melempangkan jalan bagi watak berburu tersebut. Dengan matinya perlawanan humanisme, ditambah dukungan sains dan teknologi, semakin berjayalah negeri-negeri pemburu tersebut.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top