Indonesia tengah berada dalam kondisi yang darurat akibat maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi. Salah satu ranah yang sering kali menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan seksual yakni Perguruan Tinggi. Dalam survey yang dilakukan oleh Jaringan Muda Setara pada tahun 2019 di Samarinda, didapatkan data bahwa 54 dari 70 mahasiswi di Samarinda pernah mengalami kekerasan seksual.
Survey juga dilakukan oleh Komnas Perempuan, pada Oktober 2020 dilaporkan bahwa dari 51 kasus kekerasan yang terjadi di semua jenjang pendidikan yang diadukan, Perguruan Tinggi menempati urutan paling atas yaitu sebanyak 27%, dan bentuk kekerasan yang paling banyak diadukan adalah kekerasan seksual.
Nadiem Makarim selaku Menteri pun menyampaikan, dari hasil survey yang dilakukan oleh Kemendikbud-Ristek pada tahun 2020, sebanyak 77% dari dosen yang disurvey menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi dan sebanyak 63% kasus yang terjadi tidak dilaporkan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan baru seperti kriminalisasi korban, stigma, dsb.
Sebagai upaya untuk merespons kasus kekerasan seksual yang semakin banyak terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi, belum lama ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) mengeluarkan Peraturan Mendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Adanya peraturan perundangan baru yang dilahirkan untuk menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, setelah selama ini korban-korban kasus kekerasan seksual menghadapi jalan buntu ketika ingin menindak secara hukum pelaku kasus kekerasan seksual menjadi angin yang cukup segar. Apalagi, lingkungan Perguruan Tinggi merupakan salah satu ranah yang kasus kekerasan seksualnya banyak terjadi.
Disampaikan oleh Ditjen Dikti Kemendikbud, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi disebabkan oleh adanya ketimpangan relasi kuasa di mana beberapa pihak memiliki posisi tawar lebih kuat, pihak tersebut menduduki jabatan struktural dalam lembaga pendidikan seperti dosen, instruktur, tenaga pendidikan, senior, maupun pihak-pihak lainnya. Beberapa pihak tersebut memiliki kedudukan dan kuasa lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lain yang memiliki posisi tawar lebih rendah seperti mahasiswa/I.
Dalam Permendikbud-Ristek No. 30 tahun 2021 pasal 1 ayat (1) juga ditegaskan mengenai ketimpangan relasi kuasa yang ada di lingkungan Perguruan Tinggi, pasal tersebut berbunyi:
“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau termasuk yang mengganggu kesehaan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Namun, meskipun dengan adanya Permen yang dapat memberikan sedikit jalan terang terhadap penindakan pelaku kasus kekerasan seksual dan upaya pencegahan terjadinya kasus kekerasan seksual, Permen tersebut hanya mengakomodir kasus-kasus yang terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi. Pada pasal 4 disampaikan bahwa sasaran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual meliputi: mahasiswa; pendidik; tenaga kependidikan; warga kampus; dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.
Kemudian, mesti disadari bahwa kasus kekerasan seksual tak hanya banyak terjadi di lingkungan Peguruan Tinggi. Kasus kekerasan seksual juga banyak terjadi di lingkungan lain seperti Sekolah Dasar sampai Menengah, lingkungan masyarakat, ranah keluarga, hubungan pertemanan dan personal, bahkan saat ini banyak terjadi kasus kekerasan seksual di ranah digital.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi hal yang sangat penting di tengah situasi saat ini. Namun, baru-baru ini kabar tak sedap terdengar mengenai kelanjutan dari proses legislasi mengenai RUU TPKS. Pada Rabu, 24 November 2021 lalu telah berlangsung Konferensi Pers yang dilaksanakan oleh AJI Indonesia dengan pembahasan mengenai Proses Legislasi RUU TPKS, dan menekankan bahwa prosesnya saat ini tengah mengalami ancaman.
Dari beberapa narasumber yang hadir, hampir keseluruhannya menyampaikan bahwa proses dari perumusan perundang-undangan ini hambatannya cukup terjal, pelik, dan menantang. Ada banyak kontroversi yang disampaikan dari beberapa fraksi yang sebenarnya hal-hal tersebut tak sesuai dengan muatan substansi dari urgensi adanya UU TPKS untuk mengakomodir kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dan sebagai upaya memberikan keadilan bagi korban-korban kekerasan seksual.
Misalnya, perdebatan mengenai perubahan judul yang kembali mencuat. Salah satu fraksi mengusulkan untuk merubah judul RUU TPKS menjadi RUU TPS (Tindak Pidana Seksual). Menurut Ibu Ratna yang merupakan perwakilan dari LBH APIK, judul tersebut dapat menyimpang dari tujuan dan maksud yang sebenarnya diemban oleh undang-undang yang ingin dirumuskan. Dengan menghilangkan frasa “kekerasan”, dapat mengaburkan fokus dari rancangan undang-undang, yang mana fokusnya adalah pada kekerasan.
Kemudian, diusulkan pula oleh salah satu fraksi untuk memasukkan perzinahan dan tindakan asusila. Namun, usulan tersebut dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban, memunculkan stigma terhadap korban, dan kasus sulit untuk diproses. Ada juga usulan untuk menghilangkan frasa “kekerasan” dan “persetujuan”, padahal kedua frasa tersebut adalah kata kunci agar peraturan perundangan yang sedang digagas tidak bias makna dan bias dengan peraturan perundangan lainnya.
Usulan lainnya yaitu memfokuskan RUU TPKS hanya pada pencegahan agar tidak terjadi kasus kekerasan seksual. Usulan tersebut kiranya tak masuk akal, melihat keadaan saat ini di mana kasus kekerasan seksual yang sudah banyak terjadi. Salah satu perwakilan dari Aliansi Perempuan Pembela Hak Korban Kasus Kekerasan Seksual menyampaikan dalam forum, urgensi saat ini mengenai RUU TPKS harus tetap pada ruhnya untuk memberikan keadilan pada korban.
Ada beberapa poin yang disampaikan yaitu: DPR harus mempertahankan judul RUU TPKS; RUU TPKS tetap pada tujuan awal yaitu tentang kekerasan seksual; harus menghindari potensi kriminalisasi korban; dan DPR harus pula menguatkan substansi dari RUU TPKS bahwa substansinya adalah untuk berpihak pada korban. Dikeluarkannya Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memang menjadi angin segar bagi kita semua di tengah gurun pasir yang sangat gersang; banyaknya kasus kekerasan seksual terjadi.
Namun, kita tak boleh lengah, kita tak boleh lupa bahwa RUU TPKS harus tetap dikawal prosesnya. Saat ini RUU TPKS baru sampai pada tahap perumusan, hal ini berarti perjalanannya masih sangat panjang untuk sampai pada pengesahan. Kita semua harus sama-sama meyakini bahwa Permendikbud-Ristek 30/2021 saja tak cukup, dan RUU TPKS harus segera disahkan.