Di kalangan santri tradisi, ada dua benda yang menjadi kebanggaan, penanda 'kelas sosial' yang lebih tinggi, yakni sarung Samarinda dan kitab terbitan Beirut. Atau sarung merek BHS untuk sekarang.
Bagi mereka, memeroleh kedua benda itu merupakan idaman. Mengenakan sarung Samarinda seraya mendekap kitab Beirut di dada adalah kebanggaan luar biasa, dan membuat kepercayaan diri meningkat.
Bagi para ajengan, pajangan kitab Beirut di ruang tamu adalah bahan cerita dengan handai taulan yang tak pernah habis.
“Semua kitab di rak depan ini sudah ana baca, sekarang ana sedang mutalaah kitab di rak belakang,” demikian antara lain seorang kutu kitab akan mengawali pembicaraan dengan kawannya yang datang berkunjung. Lalu ia dengan penuh semangat akan melanjutkan pembicaraan menerangkan sebagian dari isi kitab yang sudah dibacanya itu.
[caption id="attachment_205384" align="alignleft" width="300"]
Dua remaja bersarung sedang menunggu commuter line di stasiun Manggarai (Foto: Hamzah Sahal)[/caption]
Sarung Samarinda adalah produk lokal berbahan sutra yang terasa lembut di kulit. Harganya yang di atas rata-rata membuat sarung jenis ini memerlukan perawatan khusus, terutama dalam proses pencucian. Dijemur dengan bentangan yang terjaga –biasanya-- memakai dua bilah bambu yang digantung, tidak cukup dengan tali jemuran. Kain Samarinda yang basah tidak boleh melekat satu sama lain, tetapi harus terpisah.
Sedangkan kitab Beirut adalah produk impor yang didatangkan dari Beirut Lebanon, umumnya dari penerbit Daar el Fikr atau Daar al Kutub al-Ilmiyyah. Belakangan masuk pula terbitan Daar Ibn Abud. Keberadaan kitab-kitab Beirut di dunia pesantren tradisi menunjukkan bahwa jaringan intelektual skala internasional tidak pernah putus sama sekali.
“Ada juga yang dari penerbit Mesir dalam jumlah terbatas,” kata Ahmadi, salah seorang staf toko kitab Al-Falah Bandung. “Kami mendapatnya bukan dari distributor, tapi dari mahasiswa yang pulang dan membawa kitab untuk dijual. Harganya lumayan miring,” lanjutnya.
Memang, kesempatan santri untuk menyempurnakan pengajian di Makkah dan Madinah seperti sebelum kemerdekaan 1945 sudah menurun, namun hubungan dengan Timur Tengah itu masih dijaga oleh kehadiran kitab-kitab Beirut itu.
Kitab Beirut, sebagaimana produk asing lain di negeri ini, memiliki berbagai keunggulan dan karenanya berharga lebih mahal. Penjilidan yang lebih kokoh, ornamen sampul kitab yang lebih indah karena tinta emas atau perak yang kuat, tipografi yang lebih rapi, dan lain-lain. Kadang seorang santri memiliki dua terbitan untuk kitab yang dikajinya, satu terbitan lokal dan lainnya terbitan Beirut.
Kitab lokal dipakai untuk mengaji, dipenuhi catatan ngalogat, sementara yang Beirut dijadikan bahan latihan mutalaah. Ia akan membaca bagian yang sudah dikaji dan jika lupa makna sebuah kata, ia akan menoleh ke kitab lokal. Dengan demikian, kitab Beirutnya tetap bersih sampai ia selesai mengaji di satu pesantren. Perlakuan berbeda itu menjadi wajar karena perbedaan harga yang cukup jauh. Sebagai perbandingan, untuk tafsir Ibnu Katsir produk lokal dijual Rp. 215.000, dan untuk produk Beirut diberi harga Rp. 300.000. Maklumlah, sebelum hadir di pangkuan seorang santri dan ajengan, kitab itu harus melintas lautan atau udara beribu mil dari kota yang indah tapi sarat konflik di kawasan Timur Tengah: Beirut.
Kalau sarung Samarinda diperoleh dari toko pakaian, dari mana para santri dan ajengan mendapatkan kitab Beirut? Mereka tentu memerolehnya dari toko kitab. Lalu dari mana toko kitab itu mendapatkannya?
Salah satu distributor besar yang kini masih bertahan adalah Daar el Fikr yang bertempat di Jakarta dan Surabaya. Sementara untuk kitab terbitan Daar al-Kutub al-Ilmiyyah antara lain diperoleh dari distributor Ahmad Nabhan Surabaya. Distribustor dan toko-toko kitab umumnya dikelola oleh para habaib dan masyayikh yang menekuni perdagangan kitab sejak beberapa generasi. Habaib adalah kata jamak dari habib, yaitu orang keturunan Arab yang masih memiliki ikatan nasab sampai kepada Nabi Muhammad. Sedangkan orang Arab yang bukan dari jalur istimewa itu disebut masyayikh/syaikh.
Di Jakarta, Daar el Fikr berpusat di bilangan Kalibata Timur dan di Surabaya di kawasan Panggung yang tak jauh dari komplek makam Sunan Ampel.
Sejauh ini, mayoritas pengelola toko kitab memang orang-orang berdarah Arab, baik habaib maupun masyayikh. Hal ini pula yang kiranya memudahkan relasi dengan penerbit-penerbit kitab di Timur Tengah. Dari distributor besar inilah kitab-kitab terbitan Beirut beredar ke seluruh pelosok Nusantara.
Di Garut, misalnya, kita bisa mendapatkannya di Toko ABC Utama dan ABC Hasanah, di Bandung ada Toko Dahlan dan Al-Falah, di Sukabumi ada Toko Anda, dan lain-lain. Para peminat bisa mendapatkan kitab Beirut yang diinginkannya di toko kitab di ibu kota kabupaten/kotamadya di seantero Jawa Barat.
[caption id="attachment_205387" align="alignleft" width="300"]
"Semewah apapun cetakan kitab/buku, itu zaman old"[/caption]
Dari mana para ajengan yang waktunya sehari-hari habis untuk mengaji itu mendapatkan kitab-kitab Beirut, yang harganya bisa mencapai angka jutaan? Banyak dari mereka yang memerolehnya sebagai hadiah dari para muhibbin, yakni jamaah pengajian yang mengagumi dan hormat kepadanya. Ada pula yang memerolehnya secara wakaf. Tak jarang kitab itu dibeli langsung di Makkah dan Madinah saat musim haji. Biasanya sebelum kepergian ke tanah suci, para muhibbin ini datang ke rumah ajengan meminta restu dan bertanya, barangkali ada sesuatu yang hendak dipesan.
Hampir dipastikan pesanan itu berupa kitab. Seperti terbaca pada kitab Al-Jami li Ahkamil Qur’an karya Muhammad bin Ahmad al-Anshary Al-Quthuby, yang menjadi koleksi almarhum KH. Bunyamin Gufron Pakuwon Cisurupan Garut. Di halaman dalam di balik sampulnya terbaca tulisan, “Waqif al-hajj Iton Damiri Qarut”, pemberi wakaf Haji Iton Damiri Garut. Pada masanya, KH. Bunyamin adalah kiai yang cukup dikenal di wilayah Selatan Garut, sedangkan Haji Iton Damiri adalah pengusaha masyhur pemilik perusahaan Dodol Piknik.
Kekaguman dan penghormatan Haji Iton, diwujudkan dalam bentuk wakaf kitab, suatu relasi yang hingga kini masih tetap terjaga antara para ajengan dan para saudagar. Seperti diakui Ghazi, pemilik Toko ABC Utama Garut, “Kami masih sering melayani pembelian kitab untuk dihadiahkan atau diwakafkan seperti itu, biasanya kitab yang berjilid banyak.”
[caption id="attachment_205388" align="alignleft" width="300"]
"hadirnya teknologi digital membuat pamor produk printing menurin drastis"[/caption]
Dari relasi itulah para ajengan dapat terus mengembangkan keilmuannya lewat mutalaah yang tak terhenti. Para pengusaha pun mendapat berkahnya, karena amal jariah yang diberikan terus dibaca sang ajengan dan para pelanjutnya.