“…. adalah kewajiban mutlak kami untuk tetap turut serta dengan seluruh Rakyat Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela dasar-dasar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam keadaan apapun juga adanya.” (Pernyataan bersama Soekarno-Hatta, 13 September 1957).
Sepintas mungkin ada yang bertanya, mengapa nama Djuanda, yang khas Sunda itu, dijadikan nama bandara dan pelabuhan di luar Jawa Barat?
Hal itu tak lain karena jasa-jasa Djuanda, seorang putra terbaik Sunda, yang telah mengabdi bagi republik ini, sejak awal kemerdekaan, tanpa korupsi dan menjilat atasan. Kinerjanya semakin diakui ketika ia menjabat Perdana Menteri (1957-59).
Kerja berat Djuanda Kartawidjaja begitu menjabat perdana menteri adalah menyatukan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta. Hubungan kedua tokoh bangsa itu retak oleh berbagai hal, antara lain disebabkan adanya “gerakan protes” sejumlah daerah.
Melalui satu konferensi nasional, Djuanda mengumpulkan tokoh-tokoh utama dari berbagai daerah untuk bertemu di Jakarta, yang kemudian menghasilkan Dewan Nasional. Misi utama perhelatan itu antara lain untuk merekatkan kembali dwi tunggal.
Usaha itu berhasil dengan ditandatanganinya Pernyataan Bersama oleh Soekarno dan Hatta. Kutipan di awal tulisan ini memperlihatkan komitmen kuat keduanya untuk tetap menjaga keutuhan Indonesia.
Dengan langkahnya-langkahnya yang akomodatif tapi didasari visi yang jauh ke depan, kepemimpinan Djuanda segera dapat menggerakkan kembali roda pembangunan Indonesia. Menjabat sebagai menteri hampir tanpa henti dengan berganti-ganti posisi, Djuanda mengerti benar apa yang harus dia lakukan.
Sebelum menduduki kursi PM ia telah mendirikan pula biro perancang negara yang menjadi cikal bakal Bappenas. Tanpa bermaksud mencemooh, kalangan pers menjulukinya “Menteri Maraton”.
Lahir di Tasikmalaya, 11 Januari 1914, Djuanda melewatkan pendidikannya di HIS, ELS, HBS, dan THS. Gelar insinyur dari THS ia raih pada 1933. Alih-alih menjadi arsitek, Djuanda malah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Jakarta.
Maklum, waktu itu ekonomi Hindia Belanda sedang jatuh, dikenal sebagai malaise, lowongan pekerjaan sulit didapatkan. Atas saran Oto Iskandar di Nata, Djuanda mengajar di AMS dan Kweekschool Muhammadiyah.
Sebelum memimpin Paguyuban Pasundan (PP) dan menjadi anggota volksraad, Oto mengajar pula di sekolah ini. Atas rekomendasi Oto pula, Djuanda diangkat sebagai direktur kedua sekolah itu. Sejumlah insinyur yang “menganggur” juga ikut mengajar di sekolah tersebut.
Kedekatan dengan Oto itu pula yang membuat Djuanda sejak 1934 terlibat di PP. Ia diminta oleh Oto untuk menjadi sekretarisnya.
Masih adakah memori yang tersisa di tengah kita mengenai sosok Djuanda? Sejumlah paparan berikut mungkin bisa memberikan sedikit jawabannya.
“Kata-katanya selalu tenang, rasional, datar. Kalau lazimnya pembicara-pembicara waktu itu membangkitkan emosi para pendengar, kata-kata Djuanda membikin orang berpikir,” papar Ukar Bratakusumah, sesama alumni THS dan kawan seperjuangan di PP.
“Tidak terburu-buru mengeluarkan pendapat. Masalah dipelajarinya secara teliti lebih dulu, diperhatikannya situasi, diperhitungkan waktu yang tepat untuk bicara, barulah beliau menyampaikan pandangan dengan kata-kata yang terpilih. Diupayakannya singkat. Yang diucapkannya jelas dan pasti,” tambah Ukar.
“Pak Djuanda adalah pelopor perancangan pembangunan nasional,” jelas Prof. Bintoro Tjokroamidjojo. “Pak Djuanda (dibantu oleh Ali Budiardjo) yang memimpin Biro Perancang Negara, dan kemudian berhasil menyelesaikan penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-60, suatu rencana pembangunan nasional yang cukup menyeluruh dan yang pertama di Indonesia,” sambungnya.
Dalam catatan Prof. Roosseno, wafatnya Djuanda pada 1960 bahkan telah mengubah jalannya sejarah Indonesia. “Pada zaman pemerintahan Soekarno, ada dua orang yang mempengaruhinya, yaitu Djuanda dan Soebandrio.
Jika Ir. Djuanda tidak meninggal, Soekarno tidak akan dipengaruhi oleh PKI. Sesudah Djuanda meninggal, Soekarno terseret oleh Soebandrio …”. dari paparan Roosseno itu, jelas bagi kita bahwa Djuanda bukanlah pejabat yang suka asal bapak senang. Ia berani menyampaikan apa adanya, salah atau benar.
Namun, sebagaimana lazimnya orang baik dan jujur di negeri ini, niscaya banyak yang tidak suka kepadanya. Catatan Jenderal Besar Nasution bisa dijadikan rujukannya. “Pak Djuanda serius mengupayakan stabilitas/rehabilitasi, tetapi oleh rekan-rekan menteri lain diserang secara terbuka dalam rapat-rapat umum.”
Pada 1952, bertempat di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung (kampus bekas THS), Djuanda menginisiasi lahirnya organisasi profesi Persatuan Insinyur Indonesia. Iapun terpilih jadi ketuanya yang pertama. Lalu ketika menjabat PM, pada 1957, Djuanda memutuskan untuk “mendirikan” ITB.
Awalnya Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bermaksud memisahkan Fakultas Teknik di Bandung itu dari UI dan akan menggabungkannya dengan UNPAD yang baru didirikan. Djuanda pula yang menentukan rektor dan dewan kurator ITB yang pertama.
Satu puncak karier Djuanda dicapai pada 13 Desember 1957. Ia memproklamirkan suatu deklarasi yang memakai namanya, yang kelak menjadi tonggak keutuhan tanah-air-udara Nusantara. Deklarasi itu berbunyi:
“Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia”.
“Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.”
Melalui perjuangan panjang yang dimotori oleh ahli hukum laut Mochtar Kusumaatmadja, deklarasi itu diakui dunia internasional pada 1982. Dengan deklarasi itulah Indonesia berhasil memperjuangkan perairan antarpulaunya menjadi wilayah negara sehingga luas Indonesia bertambah sekitar 3,7 juta km2.
Dalam ungkapan Sarwono Kusumaatmadja, hasil itu dicapai dengan, “Tanpa perang dan marah-marah, hanya pakai otak, kita menjadi negara kepulauan terbesar di dunia.”
Jika Soekarno-Hatta disebut proklamator Republik Indonesia, kira-kira julukan apakah yang layak disandangkan kepada sosok yang telah “mempersempahkan” tambahan wilayah negara seluas 3,7 juta km2 itu?
Mungkin julukan sebagai “Deklarator Nusantara” layak untuk dipertimbangkan. (SI)