Menjelang tahun 1965 dan setelahnya –jelang dan sesudah peristiwa PKI– banyak pesantren menambahkan materi baru untuk santri: gemblengan. Termasuk pesantren di N, Tasikmalaya. Santri dibekali wirid dan hizib untuk kekebalan tubuh.
Pengasuh pesantren, sebut saja Ajengan Aa, diakui sebagai seorang ahli fikih. Ketika mengaji di Pesantren Cipasung, ia dikenal sebagai santri yang sangat cerdas. Ia mampu menghafal berbagai mata pelajaran wajib dan selalu unggul dalam bahtsul masail.
Suatu ketika ia mengundang seorang kiai ahli hikmah yang akan menggembleng para santrinya. Satu per satu santrinya diuji dengan senjata tajam. Semuanya lulus, tidak ada yang terluka. Nah, ketika tiba giliran sang ajengan untuk diujicoba, ia tampak ragu.
“Teurak … moal, teurak … moal.” Logika fikihnya terus bekerja mempertanyakan bagaimana senjata yang tajam itu tidak melukai kulitnya yang tipis.
Dan, begitu diayunkan ke arah tubuhnya, senjata itu melukainya. Kiai Ahli Hikmah segera bertindak. Seketika darah yang mengucur itu terhenti dan bagian tubuh Ajengan Aa yang terluka, seketika pulih kembali.
Memang, dalam soal seperti ini bukan logika yang bermain, tapi keyakinan yang mutlak. Ahli fikih seperti beliau, rupanya tidak berbakat untuk jadi ajengan sakti.