Jika para kiai bersua, suasana meriah akan tercipta. Pembahasan serius akan segera tuntas dan segera disambung obrolan santai yang lebih panjang. Jika semua topik sudah dibahas, lalu tibalah pada wacana yang akan membuat para feminis terbelalak: poligami.
Perbincangan soal berbilang istri ini sempat terjadi juga di ruang tamu KH. Moh. Ilyas Ruhiat, di Cipasung. Pemicunya adalah sahabat-sahabatnya sesama pengurus NU Jawa Barat, KH Cecep Syarifuddin dan KH. Wahab Muhsin. Saat itu Ajengan Ilyas belum masuk dalam struktur PBNU.
Ajengan Cecep adalah putra Abah Falak Pagentongan Bogor. Ia juga menantu dari Wakil Rais ‘Aam PBNU Prof. KH. Anwar Musaddad. Sementara Ajengan Wahab adalah putra KH. Zainal Muhsin dari Pesantren Sukahideng Singaparna. Ia juga santri kinasih dari KH. Zainal Musthafa Sukamanah.
Suatu ketika kedua kiai itu berkunjung ke Cipasung. Setelah semua urusan NU usai dibahas, Ajengan Cecep mulai masuk ke tema yang itu.
“Kalau Pak Ilyas punya dua istri mah, saya mau ikut,” ujarnya seolah memberikan usulan berupa umpan lambung.
“Saya juga mau ikut,” tambah Ajengan Wahab.” Digoda demikian, Ajengan Ilyas tak menjawab, ia hanya membalasnya dengan senyuman.
Rupanya saat mereka berbincang seperti itu, Ibu Dedeh Fuadah, istri Ajengan Ilyas ikut mendengarkan pula. Karena sering digoda seperti itu, dan suaminya hanya tersenyum, Ibu Dedeh penasaran ingin tahu bagaimana tanggapan suaminya yang sebenarnya.
“Apih, bagaimana dengan usulan Pak Cecep dan Ajengan Wahab itu? Apakah Apih berminat?”tanya Dedeh.
Ajengan Ilyas lalu menjawab singkat, “Ah, Apih mah tidak berminat.” Ibu dedeh pun merasa lega.
Akan tetapi, kepada sahabat dekatnya Ibu Dedeh sering berseloroh, “Saya ini seperti istri Apih yang ketiga saja.”
“Istri pertama dan keduanya siapa, Ceu?” tanya sahabatnya.
“Istri pertamnya NU dan istri keduanya pesantren.”
(Diolah dari buku Ajengan Cipasung Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat)