Sedang Membaca
Agar Haji Tak Sekadar Ritual
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Agar Haji Tak Sekadar Ritual

Sekira sepuluh tahun lalu, muncul kembali wacana pergi haji naik kapal laut. Usulan itu langsung disanggah Menteri Agama yang saat itu dijabat oleh almagfurlah KH. Maftuh Basyuni. Mengapa wacana itu muncul dan mengapa langsung disanggah?

Usulan itu antara lain mengaitkannya dengan ONH yang bisa ditekan, sementara Menag beralasan pelabuhan Jeddah tidak bisa menampung kapal berukuran besar. Namun, di luar urusan teknis itu, penggunaan kembali kapal laut akan menjadi realisasi dari wacana besar kebangkitan Indonesia sebagai ‘negeri maritim’.

Pelayanan jamaah haji bisa menjadi tolok ukur yang tepat dari kebangkitan itu. Sejumlah pelabuhan yang selama ini mati suri, akan hidup dan bergairah lagi. Hadirnya kembali kapal haji akan menggerakkan aktivitas ekonomi di sekitar pelabuhan. Apalagi sudah ada PT PAL Surabaya yang bisa memproduksi kapal laut sendiri.

Kalau pemerintah tidak sanggup, pihak swasta nasional pasti akan bersemangat menyelenggarakan layanan ini. Kalau ada moda transportasi yang lebih murah dan nyaman, jamaah haji Indonesia pasti lebih senang karena bisa berhemat.

Sosial-Pendidikan

Terlepas dari wacana itu, sudah banyak statemen yang menggugat besarnya jamaah haji Indonesia yang tidak berkorelasi dengan peningkatan kecerdasan umat Islam. Bahkan kerap dibandingkan dengan tingginya angka korupsi. Jawaban untuk pertanyaan itu bisa dikembalikan kepada bagaimana sebenarnya para jamaah haji itu dilayani sehingga kecerdasannya tidak meningkat dan tidak berpengaruh pada menurunnya angka korupsi.

“Jamaah haji itu berasal dari berbagai kalangan. Ada yang yang sudah bisa menjalankan syariat pokok secara benar, tapi tak sedikit yang belum bisa baca tulis Alquran,” ujar KH. E. Z. Muttaqin, pengasuh Pesantren An-Nur Cilawu Garut.

Karena pergi haji itu merupakan ibadah puncak, menurut penegelola KBIH Ummum Quro itu, sudah seharusnya jamaah membekali diri dengan pengetahuan yang memadai. “Aparat pemerintah tidak bisa melayani hal semacam itu, sebab paling jauh hanya dapat menyelenggarakan bimbingan manasik dalam tempo yang terbatas, apalagi kalau dilakukan oleh aparat yang belum pernah menunaikan haji. Kalau sekadar mengejar yang minimal, yakni terpenuhinya syarat dan rukun haji, mungkin saja sudah cukup, tapi untuk mencapai kesempurnaan tentu masih jauh,” ujarnya.

Baca juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (5): Memberdayakan Santri Lewat Sampah

Adanya pimpinan rombongan setiap 40 orang jamaah, menurutnya, sangatlah tidak memadai. Pimpinan yang dipilih dari anggota rombongan itu kerap tidak mampu mengatur jamaahnya karena pengalaman yang terbatas. Adanya pembimbing yang berpengalaman menjadi mutlak, sehingga keterbatasan pengetahuan jamaah terhadap manasik dan lokasi ibadah, itu tidak menjadi hambatan. Karena jamaah yang berbekal pengetahuan minimal itulah barangkali perjalanan ke Tanah Suci menjadi sekadar ritual.

Pergi haji menjadi pemenuhan rukun Islam yang kelima semata. Karena waktu yang terbatas, jamaah tidak memiliki kesempatan untuk belajar lebih banyak. Maka bisa dimaklumilah mengapa keluar  statemen seperti di atas. Pemerintah tentu sudah melakukan berbagai langkah untuk perbaikan layanan haji itu.

Sejak 1978 hingga saat ini, pemerintah hanya menyelenggarakan perjalanan haji dengan pesawat terbang. Berbagai pertimbangan diberikan antara lain soal kecepatan waktu perjalanan.

Bagi pemerintah, lebih singkat mengurusi jamaah tentu lebih baik kerena masih banyak tugas yang lain. Akan tetapi kecanggihan teknologi transportasi di satu sisi, telah menghilangkan aspek sosial-pendidikan di sisi lain.

Pendapat Indonesianis asal Belanda Martin van Bruinessen bisa menjadi rujukan, “Justru karena kecanggihan teknologi modern itu, dan karena pengelolaan sentral melalui pemerintah, haji telah kehilangan fungsi sosialnya. Jamaah haji Indonesia diangkut secara massal dengan pesawat udara, dan hanya berada beberapa minggu saja di Tanah Suci.

Baca juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (6): Jungkir Balik Pemberdayaan Ekonomi Pesantren

Tempat tinggal untuk mereka–bersama dengan orang Indonesia lainnya—sudah disiapkan sebelumnya, sehingga kontak dan komunikasi mereka dengan umat Islam lainnya minim sekali. Dalam waktu singkat itu, kesempatan untuk belajar di Makkah juga hampir-hampir tidak ada lagi.” (1997).

Bagi Muslimin Indonesia, apa pun dinamika politik yang terjadi di Saudi Arabia, Makkah tetaplah kiblat ibadah dan sumber keilmuan. Kepergian ke Tanah Suci menjadi idaman dan dipersiapkan bertahun-tahun, selain untuk berziarah juga untuk menyempurnakan pengetahuan.

Ketika di Tanah Air, fikih empat mazhab itu hanya wacana, maka di depan Kakbah semua mazhab itu bisa dilihat dipraktikkan orang. Pengalaman langsung seperti ini sangat penting dalam menumbuhkan toleransi dalam melihat perbedaan fikih.

Sungguh disayangkan, jika tiba pada saatnya, perjalanan suci itu dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga kesempatan menginternaslisasi rukun Islam kelima itu tidak kesampaian.

Lebih Murah

Benarkah ONH dengan kapal laut bisa lebih murah? Merujuk pengalaman Hj. Hafsoh Bunyamin, boleh jadi pendapat itu benar. Pada 1964, beaya haji adalah 200 ribu rupiah yang setara dengan 100 gram emas.

Pemakaian pesawat terbang tentu memerlukan ongkos lebih mahal, apalagi dengan adanya harga avtur yang terus naik. Namun, jika dengan harga mahal itu jamaah memperoleh layanan yang maksimal, tentu akan sangat memuaskan. Realitasnya, jamaah Indonesai sekalipn telah membayar mahal, kerap disudutkan dalam posisi yang tidak punya pilihan dan dipaksa menerima apa adanya.

Berkaca pada negara tetangga Malaysia, dengan harga ONH yang hampir sama jamaah mereka mendapat akomodasi yang lebih baik.

“Ketika Indonesia hanya bisa membayar pemondokan seharga 1600 real, Malaysia sanggup menyediakan yang seharga 2.000 real. Sekarang ketika kita dapat menyewa yang 2.000 real, Malaysia bisa 2.600,” tutur Muttaqin.

Baca juga:  "It's Beyond Politics": Ketika Humanisme Barat Dipertanyakan

“Kalau perjalanan dengan kapal dibuka kembali, ONH mungkin saja disamakan, tetapi kelebihannya dapat dikonversikan pada akomodasi yang lebih baik seperti pemondokan itu,” sambungnya.

Selain pilihan moda transportasi, pemerintah juga dituntut mampu memberi akses kepada jamaah untuk dapat menyempurnakan ibadahnya. Dan kesempurnaan ibadah itu hanya bisa dicapai dengan pengetahuan yang cukup. Jangan sampai tingginya angka jamaah itu selalu menjadi ironi, karena tidak berdampak pada pembangunan bangsa. Aspek sosial-pendidikan melalui ritual haji yang hilang karena moda transportasi udara, harus menjadi perhatian serius dari pemerintah.

Penggunnaan kembali kapal laut hendaknya tidak apriori ditolak. Pada masanya, para jamaah hajilah yang menggelorakan nasionalisme Indonesia dan berhasil merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Hal itu tercapai karena jamaah punya waktu untuk bersosialisasi dan belajar dari sesama muslim dari seluruh dunia.

Maka jangan sampai kesempatan keluar negeri yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidup kaum muslim Indonesia, itu hanya berhenti sebagai ritual belaka.

Semua peluang untuk mencerdaskan umat, harus dibuka, termasuk dengan penggunaan kapal laut sebagai sarana angkutan jamaah haji. Apakah pemerintah pada akhirnya mau membuka peluang penggunaan kapal laut itu dengan melibatkan swasta? Untuk layanan jamaah yang lebih baik dengan biaya lebih murah, mengapa tidak? Kita tunggu saja. (atk)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top