Saat ini, semua orang di belahan dunia sedang prihatin, karena musibah pandemi Covid-19. Tak ada yang bisa memastikan wabah korona benar-benar sirna dari sekitar kita. Banyak pakar menyodorkan aneka macam perkiraan yang menggembirakan, namun itu hanya perkiraan, kepastiannya, wallahu a’lam bis-shawab.
Namun tidak berarti optimisme kita biarkan perlahan-lahan menghilang dari pikiran, kendati harus dipahami pula bahwa memelihara “harapan palsu” bukanlah cara terbaik untuk menghibur diri dan memperbaiki situasi. Kenapa demikian?
“Harapan palsu” yang biasanya dipicu oleh ramalan-ramalan tanpa dasar, manipulasi doktrin agama, hoaks, propaganda, serta terlalu beratnya tekanan hidup yang dirasakan, pada akhirnya justru membuat kita menjadi gampang lemah atau “patah hati”, serta kehilangan motivasi bertahan.
Viktor Frankl, seorang ilmuwan yang berhasil lolos setelah mengalami siksaan panjang di kamp konsentrasi Nazi, turut mengingatkan bahayanya sebuah “harapan palsu”, yang ditengarai menjadi salah satu penyebab melonjaknya angka kematian para tawanan seusai melewati saat-saat yang terlanjur diyakini mereka sebagai “momentum kebebasan”.
Sebaliknya, ia menyarankan orang-orang yang sedang dilanda krisis berkepanjangan agar memiliki “tragic optimism”, yaitu meyakini atau mengharap adanya “happy ending” di masa mendatang, dengan tetap merawat ketegaran dan kejernihan hati menghadapi getirnya kenyataan saat ini.
Terlebih lagi di kala kita mamasuki bulan suci Ramadan. Bulan penuh rahmat ini sepatutnya kita manfaatkan sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, memperbesar optimisme seraya memohon ampunan dan pertolongan-Nya.
Di bulan suci ini semoga kita pun makin giat berbagi, membantu para hamba-Nya yang susah, menebarkan kebahagiaan kepada sesama, yang sejatinya merupakan makna inti Ramadan itu sendiri, yakni mengajarkan manusia untuk berempati dan mengasah solidaritas terhadap kaum fakir-miskin.
Memang setiap orang pasti bakal senang jika datanganya Ramadan tahun ini menandai tibanya ujung masa ketidakpastian dan kesengsaraan akibat pandemi korona. Tetapi peluang “keajaiban” itu sebaiknya tidak dijadikan obyek imajinasi yang malah menjauhkan kita dari semangat berikhtiar mengatasi tumpukan masalah, sembari menelusuri beragam hikmah yang ada di baliknya.
Kita semua, khususnya umat muslim, diperintahkan pula untuk tawakal atau berserah diri kepada Tuhan. Namun tawakal berbeda dengan fatalisme atau bersikap pasif dan tidak berbuat apa-apa kecuali menunggu takdir-Nya. Kita pun tahu bahwa doa tawakal yang sangat populer “bismillahi tawakkaltu ‘alallah”, adalah doa yang lazim diucapkan ketika hendak berangkat keluar rumah atau berikhtiar, bukan doa berangkat tidur.
Maknanya apa? Tawakal harus beriringan jalan dengan ikhtiar, menyatu dalam sebuah tarikan nafas yang sama, dan kurang lebih seperti itulah kesadaran yang perlu kita tancapkan di hati tatkala menyongsong bulan suci Ramadan kali ini, yang hadir di tengah-tengah masa kedukaan bangsa.
Hablumminallah diperkuat, dan hablumminnas pun dipererat. Doa sebagai shilahul mu’minin dimaksimalkan, namun segala upaya lahiriah juga dilakukan, sambil sepenuh hati berserah diri kepada-Nya. Dengan begitu, Ramadan yang kini kita masuki semoga dapat melahirkan banyak kebajikan dan keberkahan, serta membuat kita semua lebih kuat dan bahagia menghadapi terpaan badai masalah.