
Seiring adanya penulisan ulang mengenai sejarah Indonesia, sejarah puisi juga pantas direvisi. Dalam penulisan ulang sejarah tersebut, rentang waktu yang dijangkau tentu jauh sebelum proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dengan topik “Sejarah Awal Indonesia dan Asal-usul Masyarakat Nusantara” pada buku atau Jilid 1 seperti disebut tempo.co 28 Mei 2025, jelas bahwa nama Indonesia diterakan. Akan tetapi, dalam hal dunia sastra, pemakaian “Indonesia” sering memicu perdebatan dengan argumen utama bahwa secara yuridis formal, Indonesia baru ada tahun 1945.
Jika bukan lantaran aspek ini, awal sejarah Indonesia lazimnya lantas mengikuti saja pandangan A. Teeuw melalui Modern Indonesian Literature yang terbit tahun 1967 bahwa awal sastra Indonesia adalah tahun 1920. Penanda dari disebutkannya tahun ini karena terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar oleh Balai Pustaka.
Pandangan kolonialistis ini banyak diikuti kendati mulai banyak pula yang merevisinya seperti antara lain dilakukan Pramoedya Ananta Toer, W.V. Sykorsky, C.W. Watson, Jakob Sumarjo, dan Claudine Salmon. Sejauh ini, yang dapat dikatakan mendapat perhatian adalah pandangan Salmon, khususnya, dengan menyatakan melalui penelitiannya, bahwa karya-karya sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa adalah pemula sastra Indonesia.
Basis pandangan Salmon maupun M.C. Riclefs dalam A History of Modern Indonesia Since C. 1200 tidak berdasarkan kesadaran kebangsaan seperti “disyaratkan” oleh beberapa penulis tetapi berlandaskan pada realitas. Dengan kata lain, khususnya dalam sastra, Salmon mendasarkan karya sastra yang ditulis oleh peranakan Tionghoa di Hindia Belanda sebagai penanda awal sastra Indonesia. Dalam hubungan ini maka ia menyebut novel karya Lie Kim Hok berjudul Tjhit Liap Seng atau Tujuh Bintang yang terbit tahun 1886 sebagai novel pertama di Indonesia.
Padahal, lagi-lagi bertolak dari realitas, tahun 1857 sudah terbit kumpulan puisi pertama berjudul Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen yang ditulis oleh Sa-orang jang Bangsjawan. Kumpulan puisi ini dapat dikategorikan sebagai karya modern karena nama penulisnya disebut, digandakan secara masinal atau dengan mesin cetak, ditulis dengan aksara Latin seperti yang kita pakai sekarang, dan dengan bahasa Melayu yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia masa kini.
Bahkan jika ditinjau dari segi isi, kumpulan puisi ini sudah menyuarakan pentingnya literasi bagi penduduk (terjajah) agar dapat menyerap pengetahuan dengan baik dan hidup sesuai moralitas yang positif. Pentingnya kemampuan membaca dan menulis ini sangat ditekankan di masa ketika pendidikan belum dibuka secara luas di masa kolonial abad ke-19 itu, utamanya bagi penduduk bumiputra. Kendati tidak diungkapkan secara tersurat mengenai peran literasi ini, membaca dan menulis merupakan modal bagi kemajuan dan secara tidak langsung menjadi sarana untuk menginisiasi kesadaran kebangsaan.
Bahwa pernyataan mengenai kemerdekaan atau menjadi suatu bangsa merdeka belum tersirat, tentu saja wajar karena pada tahun 1800-an itu pendidikan sangat diskriminatif. Bagaimana mungkin akan muncul suatu kesadaran yang demikian pada masyarakat yang belum melek huruf? Namun, pilihan tema berkaitan dengan literasi ini, dapat dikatakan sebagai pilihan alami dan sekaligus genial atau intelektual dalam mengantisipasi dan mengatasi kebodohan.
Dengan kenyataan ini, tidak ada alasan lagi untuk tidak menempatkan kumpulan puisi ini dan yang lain serta prosa-prosa awal yang terbit tahun 1860-an seperti Saridin, sebagai pemula sastra Indonesia. Penampilan dan kecenderungan karya-karya sastra mulai pertengahan abad ke-19 ini tidak boleh lagi dinafikan atau disingkirkan. Masalahnya, karya-karya ini sudah sangat sulit diperoleh. Senyampang masih tersedianya karya-karya ini di Perpustakaan Universitas Leiden, paling tidak, sangat pantas dipertimbangkan sebagai awal sastra Indonesia.