
Evawani Alissa atau Evawani Chairil Anwar adalah notaris yang tidak pernah tercatat telah menghasilkan karya sastra. Sejak usia menjelang dua tahun, Evawani telah ditinggal wafat ayahnya dan baru mengetahui bahwa ia putri satu-satunya Chairil Anwar pada saat ia kelas III SD, seperti ditulis Jodhi Yudono dalam Kompas (22/11/2013).
Mengenai ayahnya yang tanggal kematiannya ditetapkan sebagai Hari Puisi Nasional, Eva mengaku tidak mengingat satu momen pun seperti dikemukakan dalam acara Merayakan Chairil Anwar yang diselenggarakan Tempo Inti Media, pada Senin, 15 Agustus 2016.
Secara faktual, Evawani adalah anak pemuisi besar Indonesia terlepas dari hampir tidak adanya ingatan akan ayahnya. Nasabnya jelas, tetapi jejak Chairil sebagai pencipta puisi atau esais memang tidak terlihat pada dirinya. Ia memilih jalur hidup sebagai notaris.
Sangat boleh jadi, nasab yang secara etimologis bermakna ‘hubungan kekeluargaan atau keturunan’ tidak dengan sendirinya mewujud dalam dunia kreatif.
Dalam konteks sastra Indonesia, karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang yang dapat ditengarai sebagai berasal dari keluarga pengarang, ternyata amat sedikit.
Dari yang sedikit itu, dapat dicatat misalnya putri Iwan Simatupang yang bernama Josepha Violetta Simatupang yang pernah menerbitkan buku puisi berjudul Anak-anak Vampir (2002) dan Pupa di Atas Raflesia (Chrysalis on a Rafflesia) yang terbit tahun 2008 sebagai buku puisi dwibahasa.
Namun, aktivitas utama Josepha bukan dalam dunia sastra tapi dalam hukum kepariwisataan.
Yang dapat dikatakan cukup memberikan gambaran “pewarisan” oleh kenyataan nasab ini adalah pada Males Sutiasumarga yang merupakan putra dari sastrawan Rusman Sutiasumarga.
Sejak mahasiswa FSUI, Maman Lesmana yang sekarang menjadi guru besar di FIB UI, telah memperlihatkan kecenderungannya sebagai penulis.
Beberapa tahun belakangan ini Maman yang memakai nama Males Sutiasumarga tadi sebagai identitas kepengarangannya bahkan telah menerbitkan karya dalam bahasa Inggris, antara lain adalah So Unfortunate, My Fate!A Supernatural Story (2024) dan Cat’s Eyes: A Multicultural Fable (2024).
Akhirnya, setidak-tidaknya beberapa tahun belakangan ini, muncul wanita pengarang yang cukup produktif menghasilkan cerpen, khususnya, yaitu Fanny J. Poyk. Tidak hanya prosa yang dihasilkan, puisi pun ia ciptakan, dan juga lukisan.
Wanita pengarang ini adalah putri pengarang Gerson Poyk. Karya-karya Fanny antara lain adalah Suamiku Dirampok Orang: Kumpulan Cerita Pendek (2011) dan novel berjudul Luka (2014).
Demikianlah; selain nama-nama yang sudah saya sebut ini, saya belum memperoleh lagi data mengenai “pewarisan” kemampuan menulis yang berkaitan dengan nasabnya, yang sangat mungkin adalah keterbatasan data yang saya peroleh.
Dengan pengertian lain, keterhubungan gen tidak serta merta juga menurunkan kepiawaian dalam berkesenian.
Padahal, secara ekosistem, dan dalam pandangan awam, anak seorang pengarang mestinya terkondisi secara tidak langsung dengan dunia tulis-menulis.
Namun, ternyata, dunia kreatif tidak “selangsung” itu; harus ada perjuangan tersendiri untuk menjadi pengarang atau seniman dalam pengertian umum.
Nasib sastra Indonesia pun tidak perlu berharap terlalu banyak dari aspek nasab ini.