Budaya pernikahan pada setiap daerah di Indonesia selalu menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan . Baik dari segi latarbelakang budaya pernikahan tersebut, maupun dari segi kompleksitas pernikahan itu sendiri. Karena dalam pernikahan yang terjadi bukan hanya sekadar menyatukan dua orang yang saling mencintai, lebih dari itu, ada nilai-nilai yang tidak lepas untuk dipertimbangkan dalam pernikahan seperti status sosial, ekonomi, agama dan nilai-nilai budaya dari masing-masing daerah.
Panaik Sebagai Budaya
Uang panaik (uang acara) atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan dui’ menre’ adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak mempelai laki-laki pada saat mappettu ada (mappasienrekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga (Sugira Wahid, 2007).
Makna sebenarnya yang terkandung dalam uang panaik adalah bentuk penghargaan dan kerja keras seorang laki-laki. Jika kita melihat beberapa budaya pernikahan, uang panaik merupakan bentuk budaya perkawinan yang memberikan pemahaman arti kerja keras dan bentuk penghormatan atau penghargaan jika ditinjau dari sudut pandang budaya. Sebab nilai-nilai terkandung dalam uang panaik sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman.
Konon sejarah panaik ini berawal dari zaman kolonial belanda, dimana pada saat itu penjajah dari belanda seenaknya dan semaunya menikahi, menyiksa, memperkosa, bahkan menceraikan perempuan Bugis-Makassar saat itu, asal-usul panaik ini ingin menjaga harkat dan martabat wanita Bugis-Makassar sehingga mereka tidak mudah dipermainkan oleh lelaki. Maka keseriusan lelaki untuk meminang wanita bugis dapat diukur dari seberapa bisa ia memenuhi nominal uang panaik calon istrinya.
Saat ini, pemahaman sebagian besar masyarakat suku Bugis tentang pengertian mahar dan uang panaik masih banyak yang keliru. Masih ada segelintir orang yang menyamakan kedudukan antara mahar dan uang panaik, namun adapula yang membedakannya. Dalam adat perkawinan Bugis, terdapat dua istilah yaitu sompa (mahar) dan uang panai‟/doe‟ balanja (Bugis – Makassar). Mahar adalah pemberian berupa uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam. Sedangkan uang panaik adalah “uang antaran” yang harus diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan untuk membiayai prosesi pesta pernikahan.
Uang panaik saat ini masih menjadi hantu yang sering menghantui para lelaki khususnya di tanah Sulawesi Selatan, padahal syarat syahnya pernikahan tidak dilihat dari seberapa besar uang panaik yang diberikan kepada calon istri, namun perkembangan zaman telah menggeser sedikit demi sedikit tentang keutamaan ritual pernikahan.
Keseriusan seorang lelaki sedikit keliru jika hanya dinilai dengan nominal uang, para orang tua perlu memberikan karakteristik yang lainnya, misalnya harus pintar mengaji, punya pekerjaan, tidak pernah terlibat kriminal, atau bahkan mempunyai prestasi yang banyak tergantung masing-masing orang tua, tanpa harus menjadikan panaik sebagai syarat utama untuk menilai dan menerima lamaran dari seorang laki-laki kepada gadis perempuannya. Tidak sedikit dari mereka yang saling mencintai namun tidak sanggup untuk menikah karena tuntutan uang panaik yang sangat tinggi melakukan aksi silariang (kawin lari).
Pernikahan Menurut Agama
Ada beberapa syarat syahnya pernikahan dalam Islam, Pertama adanya calon mempelai laki-laki dan juga perempuan. Kedua, adanya wali bagi perempuan. Ketiga, adanya dua orang saksi yang muslim dan tentunya tidak fasik (tidak taat pada agama). Keempat, adanya mahar untuk istri, ini biasa berupa emas, seperangkat alat shalat, hafalan Al-Qur’an ataupun yang lainnya. Kelima, adanya akad ijab (pernyataan kemauan pihak lelaki ke perempuan) dan qabul ( pernyataan lelaki untuk ridha dan setuju karena Allah kepada wanita).
Walaupun uang panaik lebih mendapat perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran jalannya proses pernikahan, sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar dari pada jumlah nominal mahar. Sedangkan dalam syariat Islam itu sendiri tidak membatasi jumlah mahar yang harus diberikan calon suami kepada calon istrinya, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhaan istri. Tidak memberatkan calon suami dan juga tidak merendahkan calon istri kira-kira dalih itu yang sering didengarkan.
Jadi memang sejatinya uang panaik merupakan produk budaya setiap daerah terkhusus di Sulawesi Selatan, tidak sedikit lelaki gagal mempelai gadis pujaannya dikarenakan tingginya uang panaik yang di targetkan oleh keluarga perempuan bugis, ditambah lagi strata sosial yang tentu mempengaruhi jumlah uang panaik yang akan diberikan kepada calon istri, ini bisa dilihat dari aspek pendidikan, dari keluarga bangsawan , anak tunggal , kemapanan dan berbagai aspek lainnya. Semakin tinggi strata sosial perempuan tentu akan semakin tinggi jumlah panaik yang akan ditargetkan keluarganya.
Pernikahan adalah sunnah. Sunnah pernikahan termasuk prosesnya. Melaksanakan sunnah tentu mendapatkan pahala di sisiNya. Bahkan Rasulullah saw bersabda “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383)
Menghalangi pelaksanaan suatu yang disunnahkan tentu dilarang dalam agama. Dalam artian, jika uang panaik menjadi penghalang dalam proses pernikahan, maka uang panaik lebih baik ditiadakan. Dari sisi yang berbeda, uang panaik adalah kesepakatan. Jumlah uang panaik disepakati oleh dua keluarga calon mempelai. Jika kesepakatan yang dihasilkan tidak mengandung unsur paksaan maka hukum uang panaik adalah boleh atau mubah.
Pada hakikatnya, dalam hukum perkawinan Islam tidak ada kewajiban untuk memberikan uang panaik. Kewajiban yang ada dalam perkawinan Islam hanya memberikan mahar kepada calon istri. Namun kita tetap menghargai budaya-budaya yang ada pada setiap daerah, uang panaik bisa saja menjadi bagian dari prosesi pernikahan tetapi jangan sampai menggeser nilai utamanya. Sehingga kita keliru untuk mengutamakan uang mahar sesuai anjuran agama dan menggantinya dengan sesuatu yang mubah seolah menjadi sebuah kewajiban (uang panaik).