Hari ini media sosial tengah diramaikan tentang berita siapa yang mengantarkan Mbah Moen ke pusara terakhirnya. Berita yang satu mengangkat sosok Habib Rizieq Syihab dan mantunya yang berperan dalam memimpin doa dan talqin mayyit. Berita yang satu lagi datang belakangan, bukan Habib Rizieq yang memimpin doa tapi ulama Mekkah yang bernama Sayyid Ashim Al-Alawi Al-Maliki lah yang memimpin doa dan talqin.
Berita pertama muncul lebih cepat, hanya sekian jam setelah proses pemakaman Mbah Moen selesai, beritanya menyebar cepat dalam hitungan detik di media sosial. Sementara berita kedua muncul sekian belas jam setelahnya.
Saya masih menyimpan rasa sesal dalam hati, karena kemarin tidak sempat mengejar momen penguburan Mbah Moen. Meskipun saya sempat mensalati Mbah Moen bersama jutaan jamaah haji yang lain setelah jamaah salat Zuhur, ternyata kesempatan penguburan jasad si Mbah lebih cepat dari yang saya bayangkan.
Jadi, seandainya saya hadir dalam peristiwa penguburan itu, saya bisa menyampaikan peristiwa yang lebih objektif di lapangan.
Ok kembali ke “laptop”.
Sebagai orang komunikasi saya melihat perdebatan ini hanya berurusan dengan soal mengolah sebuah peristiwa dalam bingkai dua teori; facework theory dan “agenda setting”.
Jika Anda pernah mengenal nama Erving Goffman, mungkin Anda akan mengetahui bagaimana bunyi teori wajah (facework theory) itu. Bunyinya kurang lebih begini; setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berusaha menampilkan definisi tentang dirinya di depan orang lain, dengan harapan orang lain akan mengakui identitas diri kita sebagaimana yang kita harapkan. Dan upaya tersebut dilakukan secara konsisten.
Jika Anda ingin disebut seorang artis, Anda harus berpenampilan seperti artis, berbicara seperti artis dan menjalani gaya hidup seperti artis. Ini contoh sederhana.
Dalam konteks komunikasi interpersonal, teori ini kemudian berkembang menjadi; “Penampilan itu diatur baik secara sadar atau tidak sadar, untuk menciptakan impresi bagi orang lain tentang siapa kita,” demikian kata Cupach dan Meets.
Dalam dunia pemberitaan, teori ini kemudian melebur ke dalam istilah “agenda setting” atau “media framing”. Karena medialah yang mengatur siapa subjek siapa objek, siapa kawan siapa lawan, siapa pahlawan siapa musuh. Demikian seterusnya.
Termasuk dalam konteks berita wafatnya Mbah Moen kemarin, media punya peran besar untuk mengatur siapa yang menjadi aktor utama, siapa aktor pembantu dan siapa figurannya.
Dalam teori agenda setting, memunculkan sosok personal itu bisa menjadi cara yang paling efektif untuk meraih impresi seperti yang diharapkan. Meski kemudian kebenaran objektif tetap tidak bisa diberitakan secara seutuhnya seratus persen.
Jika ingin objektif, atau setidaknya mendekati objektif, si pembuat berita harus ikhlas menaruh “koma”. Karena aktor utamanya tidak tunggal, ada aktor-aktor utama lain yang berperan besar dalam peristiwa wafatnya Mbah Moen kemarin.
Bukankah ada nama Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang mengurus jenazah dari rumah sakit sampai ke pemakaman, ada pula Duta Besar RI Agus Maftuh, ada para petugas haji, ada tim Amirul Hajj, ada anggota DPR, dan lain sebagainya. Sehingga semua dapat porsi yang adil.
Termasuk yang berjasa besar memimpin doa untuk Mbah Moen, yaitu Imam Masjidil Haram Sayyid Ashim bin Alawi al-Maliki.
Saya merasa bahwa berita pertama terasa kurang adil, karena hanya Habib Rizieq Syihab dan menantunya saja yang disebut, tanpa ada orang lain. Padahal mereka berdua hanya hadir di detik-detik akhir saja.
Saya jadi ingat ucapan Abah Hasyim Muzadi saat mengurai perdebatan istilah Islam Nusantara yang dituduh sebagai kelompok Islam sempalan. Kala itu, Abah Hasyim menjelaskan ada imbuhan yang bersembunyi di balik kalimat itu, yaitu imbuhan “di”. Awalnya nama asalnya adalah “Islam di Nusantara.” Cuma karena kurang enak didengar, akhirnya imbuhan “di” itu disembunyikan, dengan tanpa mengubah makna.
Sama dengan konteks berita hari ini, si penulis berita seharusnya berjiwa besar menaruh koma pada judulnya. Jadi kurang lebih judulnya seperti ini: “Pemakaman Mbah Moen di Mekkah diiringi Doa dari Syeikh Sayyid Ashim bin Alawi Al-Maliki, Habib Rizieq Syihab, dan sejumlah Pejabat Negara”.
Bagaimana impresi Anda mendengar judul berita itu? Tidak berat sebelah kan?
Iya memang, tapi biasanya kembali lagi kepada kepentingan medianya. Judul berita model-model begini biasanya kurang laku, karena “terlalu baik”, dan “terlalu santun.” Bahkan, ternyilari ini bukan soal laku, tapi juga ada agenda propagan yang “mengerikan”: pecah belah dan kebencian. Ini terlihat jelas dari narasi yang beredar di Facebook: Subhanallah, Mbah Moen wafat di Mekkah. Beliau terselamatkan dari tangan-tangan liberal dan agenda politik anti Islam. Terdengar mulia, takzim kepada Mbah Moen. Itulah namanya propaganda, terdengar manis, namun sesungguhnya tidak. Di baliknya menyimpan kebencian dan pecah belah.
Akhirul kalam, biarlah Mbah Moen beristirahat di alam kubur dengan tenang, tanpa ada upaya agenda setting yang berlebihan di dalamnya. Dan tidak ada upaya yang seolah memanfaatkan kematian ulama kharismatik ini untuk kepentingan sesaat.
Mungkin, saya harus berziarah ke Ma’la dalam waktu dekat sekedar untuk mendekat ke makam Mbah Moen sambil berkata; “Mohon maaf Mbah, kami-kami ini ternyata masih belum dewasa.” (aa)
Mekkah, 7 Agustus 2019
Apakah ini termasuk salahsatu upaya membangun personal brand imam besar ya pak ? Tiap ada moment sepertinya tidak mau melewatkan kesempatan untuk mempromosikan brand yg di jalankan juga brand individu dari sang pengelolah (Imsm Besar)
Islam Nusantara dan Islam di Nusantara jelas memiliki makna berbeda…
Chating di WA juga ada upaya pendiskreditan fihak tertentu. Yg ngirim saya beritahu agar selektif supaya nggak kena fasal pelanggaran UUITE
Rekam jejak Digital sepak terjang FPI dan wal kusus pa Haikal yg mengaku berpangkat Ulama. kalau boleh menilai beliau adalah bersikap selana ini adalah “FACEWORK THEORY” lalu dimana tempat Ulamanya…ya krn ada tempat untuk bertauziah dan trending dibuatnya agar existensi ada diruang publik dgn object bersebrangan atau mengkritik/nyinyir pada pemerintah….rela mengabaikan peradaban ketokohan status ulama. yg terpenting adalah existensi publik/selebriti demi kebanggaan dan kepuasan hati pribadinya. slogan seakan bela Agama tak lebih adalah barang daganganya.