SAYA dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren di Arjawinangun, namanya Pondok Pesantren Darut Tauhid yang didirikan oleh kakek saya, KH. A. Syathori.
Masih terekam dalam memori otak saya, saat masih anak-anak, kala bulan Ramadan tiba, ada dua tradisi di pesantren itu, yaitu: pertama, tradisi kiai membagi-bagikan bubur kepada para santri pada tiap menjelang Magrib untuk santapan buka puasa.
Tiap pukul empat sore, para santri mulai antri dengan tertib dan sabar di halaman pondok. Pada wajah mereka terlihat kebahagiaan.
Mereka membawa piring (bukan piring beling/kaca, tetapi piring seng/logam ringan), mangkok dan lain sebagainya—tergantung kepunyaan masing-masing.
Satu per satu dari mereka maju, dan pengurus pondok kemudian menuangkan bubur dalam piring masing-masing. Selain diberi bubur, mereka juga diberi sayur lodeh dan teh manis. Ini semua merupakan sedekah pribadi kakek saya, bukan sumbangan dari masyarakat setempat. Sumbangan dari masyarakat datang jika ada acara khusus.
Tidak seperti sekarang, dulu tidak ada kurma. Sehingga di saat takjil berbuka masyarakat di kampung lebih suka makanan tradisional. Kalau sekarang, saat hubungan Indonesia dengan negeri-negeri di Timur Tengah terjalin dengan baik dan intens, kurma bukanlah sesuatu yang langka. Di tiap tempat kita pasti menemukannya, khususnya di bulan Ramadan, sebagai makanan nyaris ‘wajib’ untuk takjil bagi sebagian kalangan.
Kedua, tradisi menabuh kentongan yang tujuannya membangunkan orang pada waktu menjelang Sahur. Tiap jam, dari pukul 12 malam, kentongan itu ditabuh secara berbeda. Misalnya, pada pukul 12 ditabuh sebanyak 12 kali, pukul 1 ditabuh sekali, dan begitu seterusnya—mirip dengan lonceng yang berbunyi untuk menunjukkan waktu.
Kemudian pada waktu imsak kentongan itu ditabuh sebanyak 6 kali sebagai peringatan agar orang segera menghentikan aktivitas makan.
Menariknya, kentongan itu menjadi rebutan kami, para santri. Saya sendiri, misalnya, supaya kentongan itu tidak diambil teman-teman yang lain, kadang harus memeluknya di saat sedang tidur, atau menyembunyikannya di suatu tempat.
Saat waktu menunjukkan pukul 12, saya bangun dan menabuhnya dengan keras, sebanyak 12 kali. “Tung tung, tung tung”. Kalau sudah begitu saya merasa gembira. Anda punya kenangan serupa?