Sedang Membaca
Zaman Tubuh tak lagi Ampuh
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Zaman Tubuh tak lagi Ampuh

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beberapa waktu yang lalu dikabarkan tengah menggodok wacana tentang kalangan ASN yang tak lagi wajib ngantor. Mulai tahun depan para abdi negara itu akan bekerja dan mengabdi dengan konsep baru: smart office yang memanfaatkan beberapa “pusaka digital” seperti “iCloud”, “blockchain”, “loT”, dan seterusnya.

Dengan demikian, mereka akan dapat bekerja dari rumah atau dari tempat mana saja laiknya para pekerja media daring.

Seiring mengemukanya wacana itu, beberapa pakar juga membicarakan fenomena resesi ekonomi yang seturut pula dengan resesi seksual. Dua negara yang dikabarkan tengah ataupun pernah mengalaminya adalah AS dan Jepang.

Saya melihat ini semua sebagai semacam “penolakan tubuh” atas nama mitos kemajuan zaman, efektifitas kerja, dan efisiensi waktu (silakan, boleh disanggah).

Dalam kebudayaan, memang pernah terjadi apa yang disebut sebagai kebencian dan penolakan pada daging (the flesh). Kebudayaan abad pertengahan pernah memvonis tubuh sebagai sebentuk dosa, atau paling tidak membekapnya sebagai sebuah penjara bagi jiwa yang dipandang lebih suci.

Sampai sejauh ini belum ada yang dapat menjawab kenapa dalam banyak agama Abrahamik tubuh itu selalu dianggap lebih rendah daripada jiwa.

Saya tak akan mendekati perkara relasi tubuh dan jiwa ini secara normatif. Hanya saja terdapat kepercayaan lain tentang tubuh ini.

Baca juga:  Haji dan Perihal Ganti Nama, Bukan Ganti Presiden

Konon, selain dalam tradisi Hindu, fenomena moksa (yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai bersatunya tubuh dan jiwa pada peristiwa kematian) terdapat pula dalam beberapa kepercayaan yang bersumber dari kearifan-kearifan lokal. Dengan kata lain, tak selamanya dalam keagamaan dan spiritualitas tubuh itu direndahkan.

Basis filosofis teknologi sejatinya adalah apa yang pernah Heidegger nubuahkan sebagai sebentuk enframing, atau secara sederhana, bahwa teknologi—tertaut dengan eksistensi manusia—justru mereduksi eksistensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan manusia sebagai dasein di mana in-der-welt-sein menjadi salah satu karakteristik utamanya.

In-der-welt-sein secara sederhana dapat dimaknai bahwa eksistensi manusia selalu berarti bereksistensi di dunia dan bukannya di luarnya. Ia tak dapat dilepaskan dengan lingkungan atau dunia yang mengitarinya.

Taruhlah sebagai misal adalah seorang penulis. Sudah pasti eksistensinya tak dapat dilepaskan dari komputer, buku-buku, ruang untuk berefleksi, keheningan, dst. Atau seorang petani di mana sudah barang tentu ia tak dapat diceraikan dari tanah (sawah), cangkul, traktor, dst.

Ketika lingkungannya tersebut dilenyapkan atau tak difungsikan, maka secara eksistensial terancamlah eksistensinya. Pada titik ini tentu saja secara umum orang akan menemukan pentingnya sebuah tubuh yang setiap detik bersinggungan dengan dunia.

Dengan demikian, dalam terang Heidegger, seorang manusia—yang merupakan dasein (tiba-tiba berada begitu saja) di mana in-der-welt-sein menjadi salah satu karakteristik utamanya—dapat dikatakan sebagai manusia andaikata ia masih bertubuh (faktisitas).

Baca juga:  Dari Rumah Kembali ke Rumah: Sebuah Pengalaman Keluarga ASN

Dalam kehidupan dunia digital, tempat tubuh dan dunia berusaha dilipat dalam sekotak perangkat teknologi, manusia tak lagi dapat dikatakan sebagai manusia—dalam pengertian Heidegger—yang bersinggungan dengan manusia lainnya. Melainkan, seperti pada kasus media-media sosial dan “pusaka-pusaka digital” lainnya, hanyalah sekedar teks.

Dan bicara teks, seperti yang Derrida katakan, “Nothing outside of the text.” Pada akhirnya, dunia digital adalah dunia yang dapat dianalogikan dengan sebuah “kamus” di mana setiap kata yang hadir dan tertera akan senantiasa merujuk pada kata-kata lainnya dan tak pernah merujuk pada apapun di luarnya.

Maka, ketika wacana smart office yang akan diberlakukan pemerintah tahun depan itu dapat terwujud, masihkan seorang ASN dapat dikatakan sebagai ASN? (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top