Sedang Membaca
Teologi Wayang Purwa (2)
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Teologi Wayang Purwa (2)

Img 20141012 103307

Panon iku
Aweh pasemoning laku
Begalaning marga
Marganing sang pramana
Panon Hyang Manon
Memanoning pyambaknya

—Panon, Heru Harjo Hutomo

Pagelaran wayang purwa tak urung pula menjadi cermin bagi ketakselamatan seseorang.

Ketakselamatan itu, menurut PB IX, adalah terjadinya ketakselarasan antara kehendak sang dalang dan kehendak yang menanggap (Wulang Dalem PB IX, Angabei IV, I900. 1795: 16 Mei 1866 dan 4 Mei 1867).

Karena terlalu banyak menghibur, pakeliran sang dalang tak lagi runtut lakonnya yang menjadikannya melampaui batas waktu sehingga dalang dan rombongannya tak bersua (sapatemon) dengan yang menanggap. Dan pada akhirnya tinggallah sesal yang berjejal.

“Lamun dadi tuladhaning urip/ Ywa kongsi mangkono/ dipun tartip rumeksa dhirine/ Supayane katemua ugi/ Lan kang nanggap singgih/ Jer iku kang kayun”

Seandainya menjadi teladan kehidupan/ Janganlah seperti itu/ Tertiblah dalam menjaga diri/ Agar bersua pula/ Dengan yang menanggap/ Sebab ia adalah sang kehidupan.

Yen katemu lan kang nanggap yekti/ Ingaranan jumbuh/ sirna dhalang wayang sakelire/ Blencong yaga ngumpul dadi siji/ Kothake tan kari/ Kalimput kawengku

Ketika bersua dengan yang menanggap/ Disebut sebagai jumbuh (persesuaian)/ Sirnalah dalang wayang beserta kelirnya/ Blencong dan para pemusik menjadi satu/ Kotaknya pun tak ketinggalan/ Terliputi dan tercakup

Baca juga:  Nilai Pendidikan Tradisi Nyadran Tidak Sekadar Birrul Walidain

Iku pantes lamun pinarsudi/ Kawruh kang mangkono/ Marga kanggo ing awal akire/ Nora wurung anemahi pati/ Sajroning ngaurip/ Ywa pegat tuwajuh”

Itu pantaslah dicari/ Pengetahuan yang demikian itu/ Sebab berguna di awal dan akhirnya/ Tak urung mati/ Di dalam kehidupan/ Jangan berhenti bertawajuh.

Secara filosofis dan spiritual, persuaan dengan yang menanggap merupakan sebuah ideal kehidupan yang mesti diupayakan.

Sebab, di situlah letak keselamatan yang selama ini menjadi tujuan orang dalam beragama ataupun berspiritualitas.

Persuaan itu disebut dengan istilah “jumbuh” atau “sesuai”, yang dalam tasawuf al-Hallaj digambarkan bahwa saat itu dimensi nasut-nya Tuhan tanazul dan dimensi lahut-nya manusia taraqqi sehingga mereka mengalami persesuaian.

Bukankah ada ayat yang mengatakan bahwa ruh adalah urusan-Nya?

Dalam tasawuf-filsafati digambarkan bahwa ibarat unggunan api dimana salah satu percikannya (pletikan) adalah ruh manusia.

Meister Eickhart menamakan hal ini sebagai “Seelenfünklein” yang merupakan bagian dari keseluruhan diri manusia yang dapat mengenali Tuhan (Teologi Wayang Purwa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Pada tahap persuaan dengan yang menanggap inilah dalang dan wayang dikatakan sirna, seluruh rombongan dan perangkat pagelaran berkumpul menjadi satu.

Semua sudah “kalimput kawengku” dimana dalam istilah tersebut banyak orang beranggapan bahwa Tuhan dan insan pada akhirnya tak terbedakan sebagaimana tuduhan para penganut paham wihdatus syuhud pada para penganut paham wihdatul wujud.

Bagi saya pribadi, ibaratkan persuaan sang dalang dengan yang menanggap dalam sebuah ruangan. Bukankah jelas sang dalang dan yang menanggap tetap dapat dibedakan meskipun status sang dalang sudah tak lagi dapat disebut sebagai dalang karena pagelaran sudah usai?

Baca juga:  "Tellasan Topa" di Madura, Lebaran Paska Lebaran

Di sinilah saya kira pengertian wujud dalam istilah wihdatul wujud perlu dimengerti. Tunggal wujud, tunggal keadaan atau tunggal kahanan adalah seperti halnya persuaan sang dalang dan yang menanggap dalam sebuah ruang tersebut.

Bukankah ruang itulah yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai “Kanzan Makhfiyyan”?

Dan bukankah yang menanggap itu adalah dimensi al-nasut-nya Tuhan, sementara sang dalang yang seusai pertunjukan adalah dimensi al-lahut-nya manusia (pletikan) dalam pengertian al-Hallaj?

Dan bukankah istilah Sang Hyang Manon berkaitan dengan “panon” atau mata yang lebih dapat diartikan sebagai Yang Maha Melihat atau Yang Maha Menyaksikan dimana kemudian istilah “tahu” atau “weruh” lebih merupakan kata kerja?

Persuaan dan persesuaian sang dalang dengan yang menanggap, sang kehidupan, sang pemberi hidup, Sang Hyang Manon itulah ideal tertinggi dimana dalam lakon Bima Suci Wrekudara digelari sebagai Begawan Suryandari (Suryandari dan Relasi Pengetahuan/Kekuasaan, https://jurnalfaktual.id).

PB IX membahasakan hal ini laiknya matahari di kala tengah hari yang tak lagi melik-melik, tapi melok-melok dimana bayangannya pada telaga laksana rembulan.

Semakin bening air telaga itu, maka semakin terang pula sang rembulan yang kemudian diungkapkan oleh Sunan Kalijaga dalam salah satu tembangnya: “Tanggal pisan kapurnaman.”

Upama surya tengah ri/ Katon sidhi melok-melok/…Wayanganing surya dumunung neng ranu/ Yen toyane dahat wening/ Tan owah citraning tengsu/ Yen buthek wadhahing warih/ Sirna toyane bagowong

Seumpama mentari di tengah hari/ Terlihat sempurna terangnya/ …Bayangan mentari terletak di telaga/ Seandainya airnya sungguh jernih/ Tak akan berubah citra sang rembulan/ Seandainya keruh airnya/ Lenyap, airnya kosong

Baca juga:  Gerakan Islam di Tanah Banjar: Beberapa Kisah Receh Tuan Guru di Tanah Banjar

Yen kalakon bagowong tan wruh marga/ Paran goniarsa mulih/ Katumbuk kabentus-bentus/ Nuli ana tuduh margi/ Tinuntun mring jati growong”

Seandainya kosong tak akan beroleh jalan/ Bingung ketika akan pulang/ Terantuk tersandung-sandung/ Lalu beroleh petunjuk/ Dituntun ke jurang yang nyata.

Demikianlah hubungan antara yang menanggap atau Sang Hyang Manon dengan sang dalang. Pagelarannya yang secara hakiki adalah setiap orang dari kita beserta pagelaran kehidupannya sendiri-sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top