Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Tentang Pepatah Kebo Nyusu Gudel dan Kasepuhan dalam Jawa

Logo Muhammadiyah Nu 1

Manusia terlalu muda untuk mati dan terlalu tua untuk dilahirkan

Being and Time, Martin Heidegger

 

Berbahagialah orang yang dikaruniai anak, sebab konon berarti ia dipercaya oleh Tuhan. Tapi  tak berarti bahwa hal ini merupakan sebentuk driskriminasi pada orang yang tak dikaruniai anak, sebab konon ia memang tak dipercaya, melainkan disayangi olehNya. Pada titik inilah orang dianjurkan untuk selalu berbaik sangka pada Tuhannya, agar laku kehidupannya tak terasa ngenas dan akhirnya tak produktif.

Dalam pepatah Jawa terdapat ungkapan “Kebo nyusu gudel,” dimana justru orangtua yang belajar pada anaknya. Jadi, dalam pepatah ini tersimpan sebuah misteri bahwa tak selamanya anak itu mesti belajar pada orangtua, tapi sebaliknya adakalanya orangtua juga mesti belajar dari anaknya. Sebagaimana dalam tarekat Akmaliyah ataupun aliran-aliran penghayat kepercayaan yang senafas, seperti PDKK ataupun PAMU, terkadang terdapat kepercayaan bahwa si anak ternyata lebih tua dari orangtuanya. Kepercayaan semacam ini rupanya juga dipeluk oleh keluarga-keluarga pesantren dimana sang Gus-nya konon lebih tua dari sang kyai-nya atau orangtuanya.

Sungguh menarik ketika memperdebatkan ukuran ketuaan atau kasepuhan di sini, sebab ukuran ini kerap dianggap bertolakbelakang dengan pandangan umum yang seolah justru bangga dengan kemudaan atau kanoman. Kasepuhan sering diidentikkan dengan hal-hal yang dianggap uzur atau tanpa prospek yang jelas. Taruhlah ungkapan Jawa yang membela kanoman dimana terkesan pandangan umum di sini sedikit mengistimewakannya: “Jangkahe isih dawa” (perjalanannya masihlah jauh).

Kasepuhan pun sering diidentikkan sebagai hal yang tak lagi menjadi pilihan. Stigma atasnya seringkali bernada meremehkan: lemah syahwat, monapuse, kekurangan gairah, membikin kantuk, terlalu santai sehingga ketika pun rumahnya kebakaran pasti cepat ludesnya, lebih mengutamakan rembugan daripada aksi-aksi yang dipandang heroik, dst. Tapi bagaimana ketika kasepuhan di sini adalah sebuah ukuran dalam masalah tasawuf atau spiritualitas, dalam hal olah rasa?

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (4): Deradikalisasi dalam Sufisme Nusantara

Ada sebuah kisah dari dunia pewayangan dimana Wisanggeni yang secara sekilas hanyalah seorang bocah, namun pernah membuat wirang para dewa di kahyangan. Ketika pun ia menginjak masa muda, sama sekali tak ada tokoh-tokoh pewayangan yang berani meremehkannya. Sebagaimana Anantasena, banyak tokoh-tokoh pewayangan sekaliber Kresna, yang merupakan titising Wisnu, lebih mengidentikkannya sebagai “bocah-bocah gendheng” hanya karena tingkat kasepuhan mereka. Konon baik Wisanggeni maupun Anantasena adalah kelangenan Sang Hyang Wenang, dewa tertinggi yang dapat digambarkan dalam pewayangan. Padahal, dalam pewayangan, Wisanggeni dan Anantasena dikenal urakan yang identik dengan anak-anak muda.

Kelangenan merupakan istilah yang berasal dari kata “langen” yang berarti bersenang-senang atau bergembira. Dengan demikian, dalam hal ini kelangenan sepadan dengan istilah “wali” dalam khazanah tasawuf. Ketika wali-wali dianggap sebagai kelangenan Tuhan berarti mereka adalah orang-orang yang diistimewakan olehNya. Bukankah dalam pewayangan, di samping Bratasena, adalah Wisanggeni dan Anantasena yang semua tokoh pewayangan mesti mafhum akan keadaannya?

Dalam khazanah pesantren, sebuah kepercayaan bahwa sang Gus-nya lebih tua dari sang kyai-nya atau orangtuanya sendiri adalah saat sang Gus itu seolah memiliki kemampuan yang melebihi orangtuanya, yang sering pula diungkapkan sebagai “titisane mbahe.” Seperti halnya dalam tarekat Akmaliyah dan Purwaning Dumadi Kasampurnan Kautaman (PDKK) ataupun Pirukunan Ayu Mardi Utomo (PAMU) dimana sang anak konon justru adalah bapaknya. Jadi, sesuai dengan sang kakek, konon pengetahuan dan pengalaman sang anak adalah pengetahuan dan pengalaman sang kakek yang otomatis di atas bapaknya.

Baca juga:  Ronggawarsita: “Kiri” yang Bukan “Kiri”

Taruhlah nama Pangeran Papak dalam Paguyuban PAMU yang identik pula dengan Ki Ageng Djoyopoernomo, padahal Pangeran Papak atau Arya Papak adalah buyut Pangeran Natapraja dan cucu Nyi Ageng Serang yang berbesanan dengan HB II. Mereka semua hidup pada saat perang Jawa yang berkobar pada tahun 1825-1830 dimana Nyi Ageng Serang menjadi penasehat perang Pangeran Dipanegara dan Arya Papak sebagai alap-alap atau senapati di palagan. Lalu bagaimana mungkin Abdurrahman Wahid menyebut sesepuh PAMU yang dijumpainya di Banyuwangi sebagai “Sang Pangeran,” yang tentu saja merujuk pada Pangeran Papak yang hidup saat Perang Jawa? Apakah mungkin Arya Papak berusia lebih dari 2 abad lamanya? Ataukah Abdurrahman Wahid tengah berhadapan dengan seorang yang berasal dari abad ke-19 dengan seting waktu abad ke-20?

Pangeran Papak konon dinamakan sebagai Papak adalah karena keempat jari dari salah satu tangannya papak atau rata dimana ciri-ciri fisik seperti ini merujuk pada ciri-ciri fisik Ki Ageng Djoyopoernomo yang hidup pada abad ke-20 (Paguyuban PAMU sendiri terbentuk pada tahun 1928), dimana salah satu fotonya masih dapat dijumpai. Jadi, ketika seorang Abdurrahman Wahid menyebut sesepuh yang dijumpai dalam esainya “Kematian Seorang Pangeran” itu sebagai “Pangeran,” maka ia tengah berhadapan dengan Pangeran Papak (abad ke-19), padahal ia adalah Ki Ageng Djoyopoernomo (abad ke-20).

Pepatah “Kebo Nyusu Gudel,” dalam konteks ini berarti seumpama Ki Ageng Djoyopoernomo—dimana oleh antropolog Andrew Beatty disamarkan menjadi Ki Ageng Joyokusumo (Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, 1999)—adalah sang anak, maka ketika bapaknya berhadapan dengannya sama dengan berhadapan dengan bapaknya. Di sinilah ungkapan sang anak adalah sang bapak atau sang anak lebih tua dari sang bapak bermula.

Baca juga:  Kapitayan (4): Stigma Negatif Pemerintah dan Masyarakat

Sering dikatakan bahwa meskipun Muhammadiyah itu lebih tua dari Nahdlatul Ulama, tapi sesungguhnya Nahdlatul Ulama-lah yang lebih tua. Secara organisasional Muhammadiyah memang terbentuk lebih dulu, tapi secara kultural NU lebih dulu hidup dan berkembang. Karena itu, kategori sepuh di sini adalah seperti kategori yang sangat cair sifatnya sehingga tak identik dengan stigma-stigma yang selama ini berkembang. Bisa jadi dalam hal ini sepuh justru berarti sebaliknya: dinamis, bergairah, kreatif, tegas, lempang jalan, dst.

Citra tasawuf ataupun kebatinan yang identik dengan kasepuhan selama ini, dengan demikian, sangat bertolakbelakang dengan realitas yang sesungguhnya. Dan dengan kenyataan ini pula dapat disimpulkan bahwa radikalisme ternyata lebih tua sifatnya sejauh ketuaan di sini diartikan sebagai lembek atau lemah syahwat. Bukankah setiap saat radikalisme mesti bersiap untuk kandheg atau terhenti dengan ancaman bui, seperti perasaan orangtua yang tiap detik tinggal menunggu janji?

Itulah kenapa saya kira orang-orang radikal yang sok energik dan sok menggurui cenderung memelihara jenggot laiknya citra orang-orang tua di masa lalu padahal usia mereka barulah 30an. Mereka, kalangan radikal itu, memang terkesan muda dan mengumbar kemudaan, tapi sesungguhnya mereka jauh lebih tua dari orang-orang yang mereka kategorikan sebagai tua. Sebab, tiap detik mereka mesti sadar akan dinginnya penjara atau bahkan pusara.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top