Ayo pra kanca ayo pra kanca njunjung agama
Agama Islam agama suci agama mulya
Sirating sipat sirating sipat sipat sampurna
Sampurnane wong sampurnane wong ing alam ndonya
Barangkali, saya adalah salah satu di antara beberapa orang yang suka dengan ekspresi-ekapresi keagamaan yang terbalut dengan kebudayaan setempat. Tak hanya agama Islam, dengan agama Katolik ataupun Kristen yang terbalut dengan kebudayaan setempat, seperti halnya Kristen Jawa, saya pun terkadang dapat menikmati atau bahkan dapat menikmati sebentuk persinggungan yang lebih melampaui hukum ataupun nalar.
Tak berarti saya seperti halnya Syaikh Nadzim, seorang pemuka Tarekat Naqsyabandiyah-Haqqaniyah, yang pernah menyibak kerumunan dan kemudian berkontak dengan Sri Paus waktu itu. Tak pula saya seperti Syaikh Hisyam yang pernah berkunjung dan mengumandangkan adzan di candi Borobudur yang konon kemudian membedah “misteri” candi peninggalan agama Buddha itu—dimana pembedahannya itu, bagi orang-orang Buddhis sendiri, tak terkesan bias keislaman.
Namun, persinggungan yang saya alami lebih kepada nuansa musikal, dengan puji-pujian yang berbahasa Jawa, yang terkadang diiringi pula dengan gamelan. Bahkan konon saya pernah pula membandingkan 4 malaikat yang sering dilantunkan oleh umat Katolik dengan Sholawat Muqarrabin yang menyebut pula Sayidina Gabriel, Sayidina Michael, dst. Apa yang pernah saya alami ini, dalam dunia musik, saya sebut sebagai peristiwa “intertonikalitas” (Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Secara sederhana, peristiwa intertonikalitas adalah sebuah peristiwa dimana kita merasakan sebuah rangkaian nada yang seolah adalah gema atau gaung dari rangkaian nada yang lain, yang jelas-jelas terpisah dari rangkaian nada yang sedang kita dengarkan. Sehingga, seolah kita tak lagi asing, atau bahkan intim, dengan suasana yang terbentuk oleh rangkaian nada yang tengah kita dengarkan itu, tak peduli oleh siapa dan bagaimana rangkaian nada itu dikumandangkan. Singkatnya, segala judgment yang sebelumnya kita miliki seolah tertangguhkan karena bahasa musik yang jelas-jelas melampaui nalar.
Di sinilah kemudian orang akan sampai pada pemahaman bahwa meskipun, barangkali, sebuah pujian tampak memiliki aspirasi-aspirasi keislaman, yang identik dengan apa yang di hari ini ditengarai sebagai sebentuk aspirasi “Islam politis,” karena disampaikan atau dibawakan dengan corak lokalitas yang kental justru mengarah pada efek yang sebaliknya.
Dalam suasana tadarusan pedesaan Jawa, yang bahkan sampai kini kerap diselingi dengan puji-pujian berbahasa Jawa, lirik atau syair-syair pujian yang seolah membawakan semangat keislaman ala aliran-aliran “Islam radikal,” seperti jargon “kejayaan Islam” atau “Islam kaffah,” jelas tak akan membentuk atau meradikalisasi seseorang.
Bukan semata puji-pujian itu dilantunkan dengan bahasa Jawa yang jelas-jelas memiliki rasa bahasa yang berbeda dengan bahasa Arab, namun apa yang saya sebut sebagai cita rasa keislaman, yang terbentuk oleh kebudayaan Jawa, pada akhirnya membuat semangat-semangat keislaman yang diusung oleh pujian-pujian dengan bahasa Jawa itu tak akan mengarah pada aspirasi-aspirasi yang bersifat politis. Justru, berbagai istilah dan konsep, yang juga menjadi jargon-jargon kalangan Islam radikal, akan bermakna lain.
Taruhlah sebentuk pujian di sela-sela tadarusan di pedesaan Jawa yang mengawali esai ini. Ajakan “Ayo kawan-kawan menjunjung agama/ Agama Islam agama suci agama mulia,” ketika mungkin dibawakan dengan bahasa Arab, atau juga bahasa Indonesia sebagaimana yang dibiasakan oleh kalangan Islam kampus atau Islam urban, akan dapat mengarah pada sebentuk radikalisasi keislaman. Penekanan pada gagasan bahwa Islam itu suci, Islam itu mulia, jelas-jelas berbeda.
Kesucian Islam dalam balutan kebudayaan Jawa ini tak lantas berarti dan mengakibatkan bahwa Islam itu harus bercorak puritan, anti terhadap kebudayaan-kebudayaan setempat. Kemulian Islam pun jelas-jelas tak berarti dan mengakibatkan timbulnya aspirasi bahwa Islam mestilah menjadi penguasa atau minimal memenangkan sebuah kontestasi politik. Dan kesempurnaan orang yang berislam tak kemudian dimaknai sebagai aspirasi akan sebentuk Islam yang kaffah atau totaliter.