“Sunyoto,” ketika dituliskan dengan aksara latin mesti menggunakan aksara o jejeg, “sunyata,” merupakan istilah yang memiliki makna yang tak biasa. Ketika sampeyan pernah memasuki bangunan makam Ki Ageng Djoyopoernomo di Temuguruh, Banyuwangi, sampeyan akan bertemu dengan kata-kata mutiara di pintu masuk: “Kena munggah yen wus weruh suwung.”
“Suwung” itulah yang dalam bahasa sansekerta disebut sebagai “Sunyata.” Sungguh sebuah istilah yang paradoksal, bagamana mungkin sebuah kesuwungan dikatakan sebagai sesuatu yang lebih nyata, “Sunyata” atau kejaten? Budaya Jawa memang lekat dengan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang, ketika diukur dengan nalar, sama sekali tak menemukan kesebangunannya. Taruhlah salah satu kidung Sunan Kalijaga yang penuh dengan ungkapan-ungkapan paradoksal, “Tapake kuntul anglayang,” dst., bagaimana mungkin bangau yang terbang di angkasa meninggalkan tapak?
Pada tahap inilah kita sampai pada sebuah wilayah yang kerap disifati sebagai eksperiental. Taruhlah istilah “weruh” dimana kemudian istilah “kawruh” diderivasikan. “Weruh” di sini tak sekedar mengacu pada segala hal yang singgah di indera manusia laiknya cara kerja sains atau ilmu-ilmu positivistik dimana kebenarannya disebut sebagai kebenaran korespondensi, kesesuaian kenyataan dengan indera manusia. Tak pula “weruh” di sini menyangkut sesuatu yang bersifat kognitif, seumpamanya dalam ilmu matematika yang mendasari cara kerja ilmu-ilmu rasional-deduktif semacam teologi atau kalam dimana 4 + 5 = 9.
Orang Jawa di masa silam lazimnya akan mengaitkan “weruh” dan “kawruh” ini dengan mata yang dalam istilah Jawa disebut sebagai “mripat.” Secara kerata basa, istilah “mripat” ini sering disandingkan dengan istilah “ma’rifat” seperti dalam ilmu tasawuf. Di sinilah, ketika kita melacaknya, akan tampak jejak paham Ibn ‘Arabi juga menapak tebal dalam spiritualitas Jawa masa silam atau sufisme nusantara. Dan jelas dalam peta tasawuf Ibn ‘Arabi dikenal sebagai sang kutub pengetahuan dimana tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia adalah dalam rangka untuk diketahui. Ketika orang sampai pada ideal Ibn ‘Arabi ini, maka dalam sufisme Nusantara orang tersebut akan disebut sebagai “wong kawruh.”
Di sinilah kemudian kita sampai pada pemahaman tentang apa yang dalam istilah Jawa disebut dengan ungkapan “weruh sak durunge winarah” yang idealnya dimiliki oleh “wong kawruh.” Barangkali, orang akan mengartikan ungkapan tersebut sebagai kemampuan untuk mengetahui masa depan. Secara sepintas, hal ini memang demikian adanya sejauh masa depan di sini adalah masa depannya sendiri (dhewek).
Weruh sak durunge winarah adalah konsekuensi dari orang yang memiliki kawruh. Kawruh ini, dalam budaya Jawa, kerap disebut sebagai “kawruh kasunyatan.” Padanan istilah Arab yang tepat atas istilah sunyata yang mendasari istilah kasunyatan ini adalah Haqq. Maka ketika kita pernah membaca Serat Cabolek yang mengisahkan Kyai Mutamakin, ilmu yang dimiliki oleh kyai yang makamnya tergolek di Kajen ini disebut sebagai “ngelmu Haqq.” Seusai Perang Jawa, para penganut kawruh kasunyatan atau ngelmu Haqq ini juga kerap disebut sebagai orang-orang Haqqmaliyah yang memiliki pula sanad keilmuan sampai hadirat Abu Bakar al-Shiddiq.
Esai ini bukanlah sebuah catatan obituari—sejauh kematian di sini diartikan secara konvensional—atas kepulangan Kyai Ng. Agus Sunyoto, yang pernah menjabat ketua Lesbumi NU. Barangkali, orang akan sedikit mengejek ketika membaca atau mendengar seorang kyai dengan nama Jawa ndeles yang tak kerab-araban alias ndesa, “Agus Sunyoto.” Tapi begitulah, secara hakiki, yang tak sekedar majazi, “Sunyoto” ternyata bermakna “Haqq” dimana yang belum weruh tentangnya idealnya tak diperbolehkan masuk ke makam Ki Ageng Djoyopoernomo yang telah baka, salah satu keturunan Nyi Ageng Serang dan HB II yang menjadi wong wikan atau seorang wiku di Banyuwangi.
Di NU sendiri, saya kira, apalagi di sepotong zaman dimana populisme tumbuh dengan sedemikian maraknya, berkiprah secara struktural dengan jatidiri yang apa adanya, tentunya tak mudah. Stigma “abangan,” yang konon membuat salah seorang sesepuh PAMU di Banyuwangi memilih “mengundurkan saat kematiannya” hanya untuk bertemu dengan Abdurrahman Wahid, kerap mengundang cibiran dan sinisme tersendiri. Namun, ternyata status “abangan” adalah laiknya status “kasunyatan” yang sebenarnya di Arab disebut sebagai “Haqq” sebagaimana yang telah saya singgung. Hanya karena Perang Jawa status dan identitas “abangan” menjadi hal yang kontroversial yang akhirnya pantas dicibir atau bahkan dibenamkan karena tampil tak ke-arab-arab-an.
Namun demikian, ternyata Agus Sunyoto selama ini membuktikan bahwa tampil ke-arab-arab-an bukanlah sebuah jaminan atas suatu hal yang pada dasarnya tak dapat diukur. Oleh karena itu, tepatlah ungkapan di pintu masuk makam Ki Ageng Djoyopoernomo, “Kena munggah yen wus weruh suwung.”