Sedang Membaca
“Sambat Sebut”: “Duh Gusti…Trondholo!”
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

“Sambat Sebut”: “Duh Gusti…Trondholo!”

Jadzb, 60x100 Cm, Kapur Di Atas Papan, Heru Harjo Hutomo, 2020 (1)

You go to woman? Do not forget the whip!

—Friedrich Wilhelm Nietzsche

Dalam sejarah kebahasaan manusia terdapat beberapa ekspresi kebahasaan yang menyiratkan kondisi mental-psikologis tertentu, karena terinternalisasikan secara kultural sejak bocah. Ketika dalam kondisi depresif, marah, panik atau bingung, kultur Jawa lazim menyarankan untuk melakukan laku “nyebut.” Umumnya, mereka yang tengah mengalami kondisi-kondisi itu akan mengucapkan kata-kata tertentu yang memiliki aksentuasi khusus: “Dhuh, Gusti,” “Ya, ampun” (sepadan dengan “astaghfirullah”) dan sebagainya.

Ekspresi-ekspresi laku nyebut tersebut secara pragmatis sebenarnya hanya ingin memuntahkan apa yang menjadi ganjalan di hati. Fungsi ekspresi kebahasaan ini nyata berpengaruh ketika ekspresi-ekspresi kebahasaan yang keluar berwujud kata-kata yang secara moral biasanya dipandang buruk, yang lazimnya dikenal sebagai mengumpat: “Asu!,” “Diancuk!,” “Diamput!,” dan semacamnya.

Laku nyebut pertama kali terhidang dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam khazanah pewayangan laku nyebut itu diistilahkan sebagai “sambat sebut.” Dan sambat sebut itu dapat menunjukkan status sosial sebuah karakter wayang dan filosofi yang dipegangnya.

Taruhlah Semar, ia terbiasa ber-sambat sebut , Mbegegeg ugeg-ugeg sadhulita hemel..hemel..,” yang dapat diartikan kalau ingin hemel-hemel atau mamah (makan) haruslah ugeg-ugeg atau obah (bekerja), karena Semar adalah lambang rakyat biasa—meskipun ia adalah seorang dewa ngejawantah (dewa yang menyamar).

Atau sambat sebut yang bernada keterkejutan yang telah menjadi kebiasaan, seperti Dursasana dengan tawanya yang khas: “Trondholo!” Pun sambat sebut yang bernada kemarahan: “Lelethekaning jagat keparat panuksmaning jajal laknat (sampah dunia keparat titisan kejahatan).”

Sambat sebut-nya Begawan Abiyasa, “Om, Iwang Suksma Kawekas,” secara spiritual menunjukkan bahwa hidupnya yang sudah mencapai taraf semata berpusat pada Tuhan (Suksma Kawekas). Adapun setiap titising Wisnu menyebut “Om, Buwana langgeng,” menunjukkan peran dan fungsinya sebagai pemelihara jagat. “Om, Iwang Suksma Adiluwih,” merupakan sambat sebut para pertapa ataupun resi yang sudah menitikberatkan hidupnya pada spiritualitas (kasuksman).

Baca juga:  Tapak Hijrah Kanjeng Nabi dalam Tradisi Mubeng Beteng

Om” ataupun  Aum” adalah beberapa suara purba yang dipercaya ada sebelum adanya manusia. Karena itulah dalam dunia pedalangan terdapat istilah khusus di mana sang dalang menyuarakan suara purba tersebut yang dikenal sebagai “kombangan.”

Selain sebagai isen-isen (variasi) dan tanda seleh nada (yang biasanya dibarengi instrumen kempul ataupun gong) pada sendhon (gagrak Surakarta), lagon (gagrak Ngayogyakarta), dan ada-ada, kombangan juga berfungsi untuk mengawal hidupnya gending yang berkelindan dengan suara gamelan serta salisir para pesindhen.

Dari mana tradisi kombangan ini berasal? Barangkali ia, mengingat pertunjukan wayang purwa bagi saya adalah sebentuk meditasi, berasal dari “kondisi” yang diistilahkan sebagai tawon gumana di mana Arya Sena dalam lakon Dewa Ruci mengalaminya sebelum menyesap kebakaan (Menjejak Keprak: Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Sebentuk Meditasi,”  https://alif.id).

Konon, suara purba itu bervariasi bunyinya, tergantung pada tradisi di mana ia diwariskan, ada yang mengatakannya sebagai “Om,” “Aum,” “Hong,” “Hum,” “Hem,” atau pun “Hu.” Dalam bidang teologi penggalan-penggalan suara purba itulah yang mendasari istilah logos dalam istilah teologi di Barat. Bukankah Derrida pernah mendekonstruksi keyakinan ini, bukankah keseluruhan metafisika Barat mendasarkan diri pada logosentrisme semacam ini yang pada akhirnya me-liyan-kan tulisan dan mengukuhkan otoritas tafsir yang tunggal?

Baca juga:  Warisan Budaya: Dari Gerimpheng Aceh Hingga Ndambu Papua

Saya kira tak hanya terdapat suara purba, tapi juga rupa purba (Menangkap Kata Rupa dan Rupa Kata, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dan itu artinya bahwa Derrida telah melalaikan tradisi mistisisme non-abad pertengahan. Arya Sena tak semata mendengar suara-suara purba tersebut, ia juga melihat rupa-rupa purba.

Bukankah Sidharta Gautama dan kisah-kisah pencerahan para penganut Buddhisme cenderung pada bahasa visual daripada bahasa auditif ? Dan bukankah Serat Wedhatama memperingatkan agar tak silap dalam menganggap rupa purba yang disaksikan—“Nging aywa salah surup/ kono ana sajatining urup/ yeku urup pangarep uriping budi/ sumirat serat narawung/ kadya kartika katongton”?

Satori pada tradisi Buddhisme Zen sering dilukiskan sebagai “a sudden flash of insight” yang mengandaikan bahwa penyingkapan mistis mereka cenderung visual daripada auditif. Dan saya kira tak mutlak benar pendapat Derrida bahwa logos atau kalam dalam teologi telah me-liyan-kan tulisan—bukankah tulisan, teks, adalah lebih dimaknai sebagai bahasa visual daripada auditif?

Ada satu lagi penyanggahan saya pada Derrida. Jamak diketahui bahwa ungkapan keseharian “rupa nggawa rega” menandakan tentang lebih diutamakannya apa yang tampak (visual) daripada apa yang didengar (auditif). Atau secara umum pendapat yang menyatakan bahwa lelaki lebih dapat dibuai oleh rupa (berdasarkan mata) dan perempuan oleh suara (berdasarkan kuping) dalam hal ketertarikan sesaat.

Lelaki yang pandai berbicara umumnya lebih membuai perempuan daripada lelaki yang cenderung pendiam. Dan perempuan yang berparas cantik atau bertubuh bahenol lebih membuai lelaki daripada yang tak cantik dan tak bahenol. Adakah pendapat umum ini terkait dengan maskulinitas teks karena cenderung dimaknai sebagai bahasa visual dan feminitas suara ataupun nada yang cenderung dimengerti sebagai bahasa auditif?

Baca juga:  Bernostalgia: dari Kejawen ke Islam

Tentu, Derrida tak pernah memilah kedua bentuk bahasa itu sebagai maskulin ataupun feminin. Tapi yang jelas, Nietzsche pernah membagi estetika Yunani purba pada dua corak: Apolonian (visual) dan Dionisian (auditif). Sebermulanya, kata Nietzsche, kedua corak estetika itulah yang menjiwai keseluruhan seni di masa Yunani purba yang menunjukkan penyikapan kreatif manusia pada hidup yang tanpa makna di mana manusia mesti menciptakan maknanya sendiri (Nietzsche, Politik Kebiri, dan Insting Kerumunan, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id).

Tapi sesudah The Birth of Tragedy, yang merupakan karya debutnya, sang filosof godam itu—berlawanan dengan Derrida—lebih mengutamakan ekspresi Dionisian daripada Apolonian karena terkesan lebih jujur. Dari kenyataan ini saya pun, berbeda dengan kesan banyak orang tentang citra kejantanan Nietzsche—ingat salah satu aforismenya tentang perempuan: “You go to woman? Do not forget the whip!”—, berkesimpulan bahwa putra seorang pendeta itu seperti lebih memilih feminitas daripada maskulinitas. Adapun Derrida, sangat berbeda dengan citra pemikirannya, cenderung sebaliknya: jantan.

Dengan demikian, masihkah benar pendapat yang menyatakan bahwa Nietzsche adalah seorang misoginis dan pemuja kejantanan, sementara Derrida adalah seorang yang mengangkat feminitas dalam kancah filsafat dan kebudayaan sebagaimana yang selama ini banyak dipahami?

Kerangka nalar saya, sebagaimana di atas, adalah justru sebaliknya, bahwa Nietzsche ternyata cenderung feminin dan Derrida cenderung maskulin. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top