Seorang muda usia dengan bangganya selalu menyematkan pin sang revolusioner asal Argentina, Ernesto Che Guevara, di dada kirinya ketika masuk Madrasah Aliyah. Kitab-kitab klasik yang diajarkan di madrasahnya seolah sama sekali tak menggairahkan dibanding buku-buku “kiri” yang telah dilumatnya: Sosialisme Indonesia (Roeslan Abdoel Gani), Karl Marx: Marxisme Analisis Kritis (John Elster), Biografi Karl Marx (Isaiah Berlin), dan kitab tentang modal dengan terjemahan yang amburadul, Das Kapital.
Pada dunia seni, ia pun juga sama sekali tak pernah bergetar begitu Sholawat Burdah, yang konon dirangkai atas kesembuhan sang pengarangnya, menggema di kelasnya. Ia baru bergelegak ketika Rage Against The Machine bergaung di rumahnya.
Para penganut paham “kiri” tentu saja tak pernah berasal dari kelas atau golongan yang benar-benar “kiri” ketika “kiri” itu berarti terpinggirkan, melarat, dan teraniaya. Taruhlah Che sendiri yang datang dari lingkungan keluarga kelas menengah. Atau Subcomandante Marcos yang merupakan anak seorang guru, dosen, dan jebolan Universitas Sorbonne.
Di Indonesia tentu saja juga serupa. Orang-orang “kiri” tak pernah datang dari lingkungan yang benar-benar “kiri.” Tak hanya Tan Malaka yang punya gelar Datuk atau D.N. Aidit yang memiliki nama asli Ahmad. Pada dekade 80-90an, orang-orang “kiri” itu adalah anak anggota dewan dari partai Golkar, anak tokoh Muhammadiyah, anak kyai NU dengan gelar kebanggaannya “Gus,” dst.
Faktor darah memang tak pernah berguna untuk menjadi “kiri.” Ada suatu masa dimana menjadi “kiri” adalah sekedar mabok bersama kuli-kuli bangunan secara murah meriah, dengan Amer dan variasi Fanta serta Kratingdaeng. Lalu mencoba berbicara tentang ketakdilan struktural, bahwa bukan nasib kita, atau lebih tepatnya kalian, yang secara tak sadar diri tersisihkan. Namun terdapat relasi kompleks yang menyebabkan kalian seperti hidup dalam ketersisihan.
Fakta-fakta di atas tentu saja tak pernah menjadi sebuah persoalan di masa lalu. Namun akan menjadi faktor ketersisihan tersendiri di masa kini, terutama bagi yang tak pernah benar-benar berasal dari “kiri.” “Apa yang kalian ketahui tentang kemelaratan, perendahan, dan cibiran?,” sergah orang-orang yang merasah sah sebagai kaum “kiri.”
Menjelang, atau bahkan sudah memasuki, zaman revolusi industri 4.0, kehidupan manusia sudah banyak berubah dan siapa pun menyadari akan hal ini. Ketika dunia digital memberikan ruang yang murah meriah untuk siapa saja bersuara atau menyuarakan kepedihannya tanpa perlu diwakili, ketika siapa saja bisa mencela dan menumpahkan rasa sakit hatinya pada presiden sekali pun, kaum “kiri” yang tak pernah berasal dari lingkungan “kiri” itu pun seolah menjadi kepingan kelas tersendiri di hari ini.
Orang-orang “kanan” akan saja tetap mendamik mereka sebagai orang-orang “kiri.” Sementara orang-orang “kiri” sendiri pun akan menganggap dan menilai mereka sebagai orang-orang yang sudah terkanankan atau bahkan memang orang-orang “kanan” yang akhirnya terpaksa mereka tinggalkan.
Orang-orang yang di hari ini merasa sah sebagai “kiri” itu tentu saja tak pernah tahu tentang postkolonialisme yang konon dengan sepatah argumen sudah dapat membuat bungkam segala kepintaran: “Atas nama apa kalian berbicara tentang kaum subaltern?”
Dalam hal ini saya teringat akan sosok Ronggawarsita yang dahulu begitu disayangi oleh kalangan wong cilik yang bahkan melebihi sang raja sendiri. Anak Mas Pajangswara itu jelas-jelas bukanlah seorang anak wong cilik. Kisah hidupnya secara terang-benderang adalah cerminan ambivalensi kehidupan. Ia pernah dibuang dari pesantren. Ia pun pernah berselisih dan tersisih dari lingkungan para bangsawan. Makam Palar, Trucuk, Klaten, pada akhirnya adalah lambang bahwa sang pujangga pamungkas itu bukanlah golongan bangsawan, golongan santri, dan tentu saja bukanlah golongan wong cilik.