Burung-Burung Manyar merupakan salah satu prosa karya Romo Mangun, seorang pastor yang dikenal memiliki berbagai bidang keahlian. Bagi seorang Katolik yang hidup di masa kemerdekaan, barangkali prosa itu cukup mewakili sikap mereka pada penjajahan. Dan memang, ketika penjajahan Belanda ketika itu dikaitkan dengan afiliasi keagamaan, orang-orang Katolik memang tak frontal dalam menyikapinya sebagaimana orang-orang Islam ataupun kapitayan.
Tak pernah saya menjumpai data dimana secara terang-terangan orang-orang Katolik merumuskan apa yang dikenal sebagai resolusi jihad ala NU dalam kepemimpinan KH. Hasyim Asy’ari ataupun sikap resmi dukungan paguyuban-paguyuban kapitayan pada perlawanan Bung Karno.
Tapi saya tak akan membahas hal itu dalam esai kali ini. Imaji pada judul Burung-Burung Manyar Romo Mangun mengingatkan saya akan masa kecil di desa. Burung manyar merupakan salah satu burung yang seolah membenci kesendirian laiknya elang ataupun gagak. Mereka hidup bergerombol. Lazimnya, burung-burung manyar ini membuat sarang yang menggantung di pohon klampis yang berduri, sehingga cukup jauh dari jamahan para manusia. Tentu saja mereka cerewet laiknya burung-burung yang membenci kesendirian: burung emprit, burung prenjak, maupun burung gereja.
Dalam kebudayaan Jawa, pohon klampis telah lama hadir dalam diskursus pewayangan. Selain Karang Kadhempel, Klampis Ireng adalah juga nama lain sebuah desa dimana Semar dan anak-anaknya tinggal. Sangat bertolak-belakang dengan sosok Semar yang sedemikian pentingnya bagi kehidupan para ksatria berwatak baik dalam pewayangan, pohon klampis praktis seperti tak ada gunanya. Tak sebagaimana pohon beringin ataupun pohon lainnya yang sudah pula hadir dalam diskursus pewayangan, pohon klampis memang sudah identik dengan burung manyar yang dagingnya terkenal pahit untuk digigit.
Adakah Romo Mangun memang sengaja menggunakan burung-burung manyar sebagai jendela atas keseluruhan cerita yang ditulisnya? Barangkali, Teto, salah satu karakter utama dalam prosa itu, memang cukup pahit untuk dimakan, baik oleh orang-orang pribumi sendiri maupun orang-orang Belanda dimana ia cukup berhutang budi. Dan demikianlah yang lazimnya terjadi pada orang-orang yang hidup mendua dimana pastinya selalu menjadi “Timun wungkuk jaga imbuh.”
Karena bentuknya yang bengkok, maka dalam kebudayaan Jawa sebuah timun tak akan berperan penting. Bayangkan ketika timun itu bengkok, tentu ketika diberi peran pun tak akan cukup memuaskan. Sudah barang tentu, ibu-ibu di dapur ketika mesti menggunakan timun sebagai lalapan akan memilih yang tegak-lurus. Ketika yang tegak-lurus itu sudah tak ada, barulah timun wungkuk atau bengkok dianggap penting.
Romo Mangun pun, secara tersirat, seperti sudah mafhum akan konsekuensi menjadi wungkuk laiknya Teto yang hidup mendua dan biru. Dan saya kira Romo Mangun cukup sadar bahwa Teto tak akan seperti Soekarno, KH. Hasyim Asya’ari, KH. Wahid Hasyim, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dst. Tak muluk memang ideal Romo Mangun, ketika menghubungkannya dengan Burung-Burung Manyar, dalam mengisahkan bangsanya di era penjajahan. Barangkali, dengan judul Burung-Burung Manyar, Romo Mangun mewariskan filosofi untuk berupaya selalu sedap dipandang dan merdu didengarkan laiknya burung-burung manyar yang bergerombol-menyarang di pohon klampis yang penuh dengan duri.
Dengan prinsip hanya bisa untuk dipandang dan didengarkan laiknya burung-burung manyar, barangkali Romo Mangun juga mewariskan sikap untuk menghindari sikap wani nggetih dan lebih memuliakan jalan keselamatan meskipun wirang. Setidaknya, ketika Belanda yang menang, Teto akan selamat dan barangkali juga bisa menyelamatkan orang lainnya.
Saya menamakan sikap politik seperti itu sebagai politik “njagang loro” atau berdiri di dua tempat sekaligus. Dalam kisah pewayang sikap ini cukup kentara direpresentasikan oleh karakter Karna yang patut diakui tak begitu pokok dalam keseluruhan perjalanan hidup Pandawa. Sebab, ada atau tak adanya Karna, Pandawa tetap dibuang, tetap membalas dendam, tetap berperang, dan tetap menang.
Secara politis, orang yang selalu bersikap mendua semacam itu dikenal sebagai seorang oportunis yang memiliki konotasi negatif. Secara agama, ia akan dilabeli sebagai seorang munafik. Secara filosofis, dengan melihat eksistensialismenya Jean-Paul Sartre, ia adalah seorang yang tak otentik. Celakanya, dari berbagai perspektif ini, orang itu sudah pasti akan mencelakakan dirinya sendiri atau setidaknya merugikan dirinya sendiri. Ketika logika ini diteruskan lebih jauh, ketika terhadap dirinya sendiri saja ia merugikan atau mencelakakan apalagi terhadap orang lainnya.
Maka, meskipun orang itu sedap untuk dipandang dan didengarkan laiknya burung manyar, ia tetaplah sebuah “timun wungkuk jaga imbuh.” Bukankah akan rugi ketika menaruh kepercayaan pada orang yang tak memiliki komitmen yang kuat semacam itu, yang berpotensi menjadi musuh dalam selimut, menjadi pengkhianat?
Soekarno pernah berujar untuk memberikan sepuluh pemuda dan ia pun akan mengubah dunia. Ujaran ini memang tak terlalu berlebihan ketika mengingat Pandawa yang hanya berlima dapat memenangkan perselisihan dengan Kurawa yang berjumlah seratus. Komitmen yang kuat tampaknya selalu menjadi pilihan orang-orang yang ingin berhasil.
Pada lakon wayang Kresna Gugah, masing-masing pihak yang ingin menyelesaikan perselisihan, Pandawa dengan diwakili oleh Arjuna dan Kurawa dengan diwakili oleh Duryudana, disuruh memilih oleh titisan Wisnu itu: Kresna yang hanya seorang atau raja seribu negara. Arjuna, yang sepertinya tak menyukai politik burung manyar, cukup memilih Kresna yang hanya seorang. Sedangkan Duryudana, yang sedari kecil membenci kesendirian, memilih raja seribu negara. Terbukti bahwa kelak, meskipun hanya dengan Kresna yang seorang, Pandawa dapat memenangkan perselisihan dengan Kurawa dengan sekutu raja seribu negaranya.
Burung manyar adalah laiknya Dasman dalam eksistensialisme Heideggerian, manusia gerombolan yang hidup secara tak otentik dan autochthonous. Dalam Discourse on Thinking, Heidegger menggambarkan bahwa perilaku Dasman adalah lebur dalam kerumunan, menjadi manusia yang abstrak dimana gerak-geriknya selalu didikte laiknya bocah. Kultur wis wani wirang adalah kultur yang dihasilkan dari manusia kerumunan semacam ini. Maka, kehidupan dalam kultur semacam ini hanya berdasarkan pada polesan atau gorengan belaka (Era “Klambrangan”, Era Desas-desus, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Lazimnya, orang-orang yang bermental gerombolan akan mangkir ketika waktunya tiba. Mereka, tiba-tiba saja, akan lekas mempermalukan dirinya sendiri sebelum orang lain mempermalukannya.