Sedang Membaca
Ramadan dan Rahmat Bagi Semesta Alam
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Ramadan dan Rahmat Bagi Semesta Alam

Bertemunya Agama dengan Adat

Basa ilmu mupakate lan panemu

Pasahe lan tapa

Yen satriya tanah Jawi

Kuna-kuna kang ginilut tri prakara

Lila lamun kelangan nora gegetun

Trima yen kataman

Sakeserik sameng dumadi

Tri legawa nalongsa srah ing Bathara

—Serat Wedhatama

Seorang sepuh tiba-tiba saja menyuruh seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat untuk berdagang di saat bulan Ramadan, untuk menyediakan keperluan berbuka orang-orang yang sedang berpuasa. Orang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat itu pun tentu saja langsung bersemangat dan melakukan apa yang disarankan, mengingat orientasi hidupnya pada saat ini hanyalah bagaimana mendapatkan pendapatan.

Tentu saja, secara sekilas, orang sepuh itu tengah membuktikan watak inklusif agama Islam lewat bulan suci Ramadan, bahwa Islam adalah benar-benar rahmat bagi semesta alam, tanpa peduli latar-belakang seseorang, siapa pun berkesempatan untuk merasakan kesempatan akan rahmat itu. Namun ternyata, ketika seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat itu merasa dagangannya tak laku, atau dengan kata lain, ketika rahmat yang ia pahami sebatas bahwa dagangannya laku, maka ia pun merasa tak mendapatkan berkat bulan Ramadan atau rahmat agama Islam tersebut.

Konsep “rahmat” pada ungkapan rahmat bagi semesta alam sampai sejauh ini memang tak seragam. Bahkan, bagi sementara orang, konsep itu seolah memberikan ruang pada golongan kafir—yang secara literal dimaknai pula sebagai golongan non-muslim—berkesempatan untuk memperoleh surga. Dan jelas, bagi sementara orang itu, konsep ini sangat membuat iri hati, bagaimana logikanya seorang yang terlihat sama sekali tak menjalankan syari’at agama Islam dapat memperoleh surga?

Baca juga:  Marxisme dan Wayang Purwa

Bulan Ramadan pada dasarnya adalah sarana yang cukup sederhana untuk memahami konsep “rahmat” pada ungkapan rahmat bagi semesta alam. Ketika surga dipahami sebagai sebentuk ruang seumpamanya, yang otomatis adalah bagian dari konsep rahmat itu, tentu saja tak sembarang orang akan bisa mendapatkannya—taruhlah orang yang tak bersepatu yang tak mungkin diizinkan masuk istana negara.

Namun, bagaimana ketika surga yang merupakan bagian dari rahmat itu adalah seumpama seorang pegawai yang baru gajian dan kemudian membelanjakan sebagian uangnya pada seorang pedagang di pinggir jalan? Atau, bagaimana ketika rahmat itu adalah serupa seorang pedagang yang menggagalkan perdagangannya tersebab rengekan anaknya yang mungkin saja akan terkena sakit? Juga, kepuasan suasana santap malam orang yang tak berpuasa di saat berbuka puasa pada bulan Ramadan?

Dengan demikian, tepatlah bahwa bukanlah rahmat yang menjadi dasar si orang sepuh itu memberikan saran untuk berdagang menjelang berbuka puasa pada seorang yang tak berlatarbelakang agama yang kuat tersebut. Sebab, sebelum orang memprotes dan paham akan apa yang disebut sebagai rahmat, rahmat itu sudah tercurah. Bukankah memprotes dan memahami rahmat adalah sebentuk rahmat tersendiri?

Ilmu itu jadinya ketika paham

Tajamnya dengan perjuangan

Kalau ksatria Jawa

Semenjak dahulu yang digenggam hanya tiga

Baca juga:  Kapitayan (2): Sikap Pemerintah yang Simpang Siur

Rela ketika kehilangan dan tak menyesal

Menerima ketika didera

Iri hati dan kedengkian orang

Ridha dan berpasrah pada Tuhan.

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top