Lerem kareming pamesu
Teken tekaning ingkang pinesu
Mamrih ngegla ngeblak tanpa aling-aling
Milanipun ros puniku
Kedah rinaras karaos
—Heru Harjo Hutomo
Ada tilikan yang cukup menarik dalam khazanah para sufi tentang peliknya apa yang orang kenal sebagai diri atau nafsu. Pada umumnya orang mengaitkan nafsu dengan itikad atau bahkan perbuatan yang dipandang buruk atau mengarah pada kerendahan: marah dan syahwat.
Namun, dalam perspektif kaum sufi, nafsu itu ternyata bisa juga sama sekali tak terkait dengan kerendahan. Ideal-ideal agung yang karib dengan agama—keluhuran ataupun kesucian—ternyata bisa dikarenakan pula oleh nafsu.
Orang barangkali akrab dengan istilah-istilah semacam “sok suci,” “sok saleh atau salehah,” “sok beragama” atau “sok paling yang beribadah,” dsb., yang lazimnya kemudian memandang yang tampak sebaliknya sebagai sebentuk kerendahan.
Nafsu yang tampak luhur dan suci itulah yang di hari ini kerap menghasilkan apa yang dikenal sebagai radikalisme keagamaan. Selain kondisi “amatiran,” yang lazimnya dilanda oleh para bocah dan orang-orang yang baru tobat ataupun hijrah, nafsu yang paling pelik itu juga konon secara khusus diciptakan untuk menjadi hijab terakhir bagi para pelaku agama.
Iduladha, dengan ibadah haji dan pengorbanan sebagai penanda utamanya, adalah dua peristiwa yang mengandung pesan tentang bagaimana mestinya orang hidup dan termasuk beragama. Upaya meminimalisir segala kemelekatan, dengan melakukan ibadah haji dan berqurban, tak melulu berkaitan dengan nafsu-nafsu yang dipandang rendah. Nafsu yang tampak baik, karena berbungkus agama, berpotensi pula menjatuhkan pada lembah kerendahan ketika output-nya adalah merendahkan yang tak tampak sebagaimana dirinya.
Itulah hakikat dari apa yang orang kenal sebagai fenomena radikalisme keagamaan, bahwa kecenderungan beragamanya pun tak lepas dari kilatan nafsu sebagaimana kilatan-kilatan nafsu yang mengarah pada perbuatan-perbuatan dosa.
Menilik peristiwa hari raya qurban tanpa pula memahami bahwa nafsu bisa pula mengendapi itikad dan perbuatan yang tampak baik hanya akan menggiring orang pada sindrom keluhuran dan kesucian diri yang konon dibenci oleh Tuhan.
Bukan karena Tuhan adalah yang semata-mata mahasuci dan mahaluhur. Namun, bisa juga karena apa yang dianggap kotor dan rendah adalah justru media Tuhan dalam mempertegas diri-Nya. Itulah kisah manusia, dengan Adam sebagai tamsilnya, yang konon ketika patuh akan melebihi kepatuhan para malaikat dan ketika berontak akan melebihi pemberontakan iblis.
Demikianlah karakteristik-karakteristik nafsu yang memang cukup pelik yang identik dengan pendidikan dalam jagat para sufi, yang celakanya sama sekali tak digarap oleh kalangan beragama yang masih memandang bahwa agama adalah sebatas daging belaka.