Terdapat sebuah lelucon tentang perempuan “nakal” dalam kebudayaan Jawa yang dilembutkan, dan bahkan sekejap dapat menerbangkan perasaan seseorang. Taruhlah pujian “pintar” atau “mahir” pada seorang perempuan yang secara moral dianggap “nakal,” ternyata pujian ini bukanlah semata pujian, namun sebuah sindiran atau pasemon pada seorang “lonthe” yang dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai kaum “pelanyahan” yang berakarkata “lanyah” atau “pintar.”
Jawa memang identik dengan pasemon, yang oleh Mangkunegara IV, dalam Serat Wedhatama, dipandang sebagai salah satu karakter utama kebudayaannya, “Jawa adalah tempatnya kesamaran/ Disembunyikan dalam segala ketaktegasan.” Secara epistemologis, keberadaan pasemon memang seturut dengan pendayagunaan fakultas “rasa” yang dalam kebudayaan Jawa menduduki posisi paling puncak. Kearifan dari peninggian fakultas “rasa” manusia ini adalah bahwa “rasa,” karena tergerak dari inisiatif pribadi, dipandang sebagai sang guru terbaik.
Wayang, sebagai salah satu produk kebudayaan Jawa yang terbukti kokoh secara kesejarahan, saya kira adalah pasemon paling agung tentang segala sengkarut kehidupan, termasuk kehidupan beragama di Nusantara. Taruhlah corak keislaman yang kini lebih dikenal sebagai Islam transnasional, entah yang berkiblat pada Yaman, Arab, dsb., pada dasarnya bukanlah corak keislaman yang sama sekali baru.
Pada penelitian saya tentang keterkaitan Wayang dengan “Islam radikal” di Nusantara, ternyata wayang adalah salah satu wujud resistensi orang Jawa pada kehadiran dan kiprah “Islam radikal” yang rata-rata memang bercorak transnasional (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV Kekata Group, Surakarta, 2020).
Barangkali, banyak orang belum paham bahwa penggoyahan dominasi “Islam Yaman,” sebagai salah satu corak keislaman transnasional di Nusantara, sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bahkan sejak era Demak. Dalam jagat pewayangan dominasi “Islam Yaman” ini sudah disimbolisasikan dengan keberadaan tokoh pewayangan yang bernama Bathara Yamadipati, seorang dewa kematian yang berkayangan di Yomaniloka.
Secara kebahasaan Yomaniloka bermakna sebagai neraka dan posisi Bathara Yamadipati sebagai dewa kematian seturut dengan nama lain negeri Yaman, Hadramaut atau lembah kematian. Ketika sekarang tengah ramai tentang keberadaan dan kiprah para Habaib di Nusantara, yang sebagian besar memang berangkat dari citra dan gaya seperti “dewa” dan bahkan “dewa kematian” atau Yamadipati—lengkap dengan sorban, jubah, dan goloknya—, maka orang Jawa sudah sejak lama menyikapinya sebagai sebentuk pendistorsian posisi kedewaan yang aslinya, dalam agama Hindu, dipegang oleh Durga.
Pasemon, yang dianggap sebagai salah satu identitas kebudayaan Jawa, memang bukanlah bilah-bilah golok yang dianggap mampu menyadarkan orang dengan keterpaksaan. Dalam konteks kebudayaan Jawa, ia hanyalah semacam penambah rasa agar orang berguru pada dirinya sendiri yang konon adalah satu-satunya guru yang tak mungkin menipu.