Rasanya tak ada satu pun pujangga, baik di Barat maupun di Nusantara, yang sebegitu menggetarkan ungkapan perpisahannya kecuali Ronggawarsita. Barangkali kita sudah familiar dengan ungkapan yang senada dengan perpisahan semisal “Mengko sakpungkurku ana apa.” Namun, seketika itu juga kita sama sekali tak tahu-menahu tentang makna yang dikandung dalam ungkapan itu.
Berbeda dengan Ronggawarsita, ungkapan perpisahannya begitu jelas, blak-blakan, tanpa dibumbui oleh satu pun sanepan. Ia sedemikian jujurnya dalam mengungkapkan apa yang bakal terjadi. Atau kalau tak ingin mengatakannya sebagai jujur, sebegitu mantabnya keyakinan yang melatari ungkapannya itu. Beginikah yang dinamakan orang yang benar-benar memiliki iman?
Yang jelas, tak ada definisi yang pasti perihal apa itu iman sekaligus ukuran keberimanan. Namun, setidaknya, Ronggawarsita telah memberikan pengertian yang tak akan dapat terangkum oleh nalar. Dalam hal ini, iman berarti bukanlah iman sebagaimana yang diracik oleh para teolog. Iman yang diisyaratkan oleh seorang Ronggawarsita adalah suatu hal yang bersifat eksperiental, tak sekedar kognitif dan eksperimental.
Dalam hal ini saya teringat oleh sosok al-Hallaj ketika ditanyai oleh sahabatnya, al-Syibli, “Apakah tasawuf itu?.”
Dalam kondisi yang pernah dicatat oleh sejarah sebagai kondisi paling mengenaskan yang dialami oleh seorang tokoh Islam, al-Hallaj menerangkan, “Yang kau lihat inilah tasawuf.”
Dalam terang inilah saya kira ungkapan perpisahan seorang Ronggawarsita dapat dimengerti. Dalam kebudayaan Jawa ungkapan perpisahan disebut sebagai “pamit” yang memiliki akar kata “amit” yang setara dengan istilah “permisi” dalam bahasa Indonesia. Dari ungkapan sekaligus laku pamit ini tersirat permintaan maaf yang merupakan adab dan bukannya sebentuk permintaan maaf atas sebuah kesalahan.
Dari kesemua karyanya Ronggawarsita menyertakan ungkapan perpisahannya dalam Serat Sabdajati dan Serat Pamoring Kawula-Gusti. Dalam kedua karya inilah anak Mas Pajangswara ini memaknai perpisahan sebagai kematian dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, dalam hal ini, kepamitan sang pujangga adalah pamit untuk mati.
Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candrane warsa pinetung
Sembah mukswa pujangga ji
Ki Pujangga pamit layon
Terkilas hari Rabu yang 28
Bulan Syawal tahun Jimakir
Tahun yang terhitung
1873 Masehi
Sang Pujangga pamit mati
Bait terakhir dari Serat Sabdajati tersebut cukup membuktikan bahwa Ronggawarsita memang weruh sakdurunge winarah, termasuk dengan saat kematiannya sendiri yang tinggal 8 hari lagi. Dibanding para pujangga Jawa lainnya, kemampuannya dalam melipat waktu inilah salah satu pesona kenapa ia begitu dielu-elukan oleh orang-orang Jawa, yang bahkan sampai digelari pujangga panutup Jawa.
Jauh sebelum penulisan Serat Sabdajati, kurang 5 bulan dari hari kematiannya, Ronggawarsita juga menyertakan ungkapan pamit matinya dalam Serat Pamoring Kawula-Gusti.
Warsitengsun ring sira wus tamat kulup
Mangkya ingsun minta pamit
Arsa mulih mring don luhung
Amung kurang limang sasi
Salameta putraningong
Pesanku padamu telah cukup, anakku
Sekarang aku pamit
Akan kembali pada tempat luhur
Hanya kurang lima bulan
Semoga selamatlah, anakku
Saya tak dapat membayangkan bagaimana para pembacanya saat itu ketika membaca ungkapan pamit matinya. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, karena sudah menjadi kebiasaannya untuk membaca dan mengabarkan sasmita zaman, kemungkinan banyak dari pembacanya akan mengaitkannya dengan kahanan yang bakal terjadi sebagaimana yang terendus dalam Serat Kalatidha. Namun, kemungkinan ini rasa terbantahkan oleh ungkapan blak-blakan Serat Sabdajati, “Ki Pujangga pamit layon,” yang nyata-nyata mengungkapkan bahwa Ronggawarsita sendirilah yang akan mati.
Kedua, kemungkinan karena sudah menjadi tabiat para orang Jawa di masa lalu untuk mempersiapkan saat kematiannya sendiri, dimana di pedesaan Jawa ditunjukkan dengan kebiasaan untuk mempersiapkan terlebih dahulu layon atau kain kafan dan gegayuhan untuk tak merepotkan orang lainnya bahkan pun ketika kematiannya sendiri tiba (dhewek), maka ungkapan pamit mati Ronggawarsita merupakan hal yang wajar-wajar saja. Namun, saya kira, hal ini juga terbantahkan oleh kejelian dan ketepatan pengamatan Ronggawarsita. Bayangkan, seorang yang pernah berguru pada seorang kyai desa ini, Kyai Wusman, sampai detail dalam mengabarkan saat kematiannya sendiri.
Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon ing lokil makpul
Angumpul ing madya ratri
Amarengi Sri Budha Pon
Hanya kurang delapan hari yang terlihat
Kematian yang tepat
Sudah tereja di lembaran yang terjaga
Memusat di saat tengah hari
Bersamaan dengan hari Rabu Pon
Bagaimana mungkin seorang yang pernah terbuang dari pesantren ini sampai dapat tahu bahwa kematiannya akan terjadi saat tengah hari, dan itu pun dalam jangka waktu kurang dari 8 hari? Melalui perhitungan sangat dina jelas tak mungkin mengingat hari yang ditentukan belumlah dialami. Satu-satunya kemungkinan, memang benarlah klaim Ronggawarsita soal lokil makpul (lauh makhfudz) yang konon dialami oleh para sufi yang sudah kasyaf.
Tentang kasyaf yang diterima oleh Ronggawarsita seolah akan membuat para barisan wis wani wirang yang dahulu pernah membuangnya dari pesantren kewirangan. Sebab, pembuangan Ronggawarsita konon didasari oleh kenakalan dan keabangannya. Dalam ilmu tasawuf, kasyaf, menurut al-Ghazali, dapat terjadi ketika hati seseorang benar-benar suci. Sebab, hati manusia itu konon memiliki dua pintu: yang satu adalah pintu yang mengarah ke dunia fana ini dan yang satunya lagi adalah pintu yang mengarah ke alam malakut, tempat dimana segala sirullah termaktub. Karena itulah pada dasarnya kehambaan seseorang pada Tuhannya tak pernah dapat diukur.
Ungkapan pamit mati Ronggawarsita, dengan demikian, adalah sebentuk ungkapan keimanan yang ternyata tak cukup dilakukan oleh mulut dan nalar belaka. Di sinilah pada akhirnya “iman daim” yang disinggungnya dalam Wirid Hidayat Jati menemukan wujudnya.