Di samping Shamz-i Tabrizi, seorang yang menyadarkan Rumi untuk tenggelam dalam samudera sufisme adalah Salahuddin Zarqub. Suatu waktu Rumi melewati sebuah pasar dan tiba-tiba ia seolah menari ketika mendengar dentingan besi yang ditempa oleh Salahuddin. Barangkali, tempaan Salahuddin terdengar seperti dering keheningan yang konon karib dengan orang yang suka berkawan sunyi.
Dalam catatan, Salahuddin itulah yang kali pertama mengantarkan Rumi pada sufisme yang ekstatif sebelum sang malamati par-excellence, Shams-i Tabrizi, benar-benar melumatnya dalam “kemabukan.”
Dalam estetika surealisme orang mengenal yang dinamakan otomatic writing yang konon menjadi dasar penciptaan para penyair sureal semacam Andre Breton. Berbeda dengan Breton yang mesti memakai hal-hal yang digunakan untuk membangkitkan bawah-sadar, konon Rumi tanpa memakai hal itu dapat mengucurkan syair-syair sejenis yang kini dikenal sebagai Mastnawi.
Dalam kacamata kesusastraan, seandainya di Barat ada Breton dan di Timur ada Rumi, maka di Jawa ada R.Ng. Soekinohartono yang konon juga mampu mengucurkan syair-syair yang berwujud tembang secara otomatis.
Orang mengenal R.Ng. Soekinohartono sebagai penerima wahyu Sumarah yang akhirnya melahirkan Paguyuban Sumarah di masa kini. Dalam pergaulan kadang-kadang Sumarah, R.Ng. Soekinohartono akrab dipanggil sebagai Mbah Kino. Sampai kini ia adalah Sang Warana dari Chakiki yang diyakini para pengikut Sumarah sebagai representasi dari kebenaran.
Ilmu Sumarah yang dibabarkan oleh Paguyuban Sumarah sendiri tak dapat dirangkum dalam satu perspektif yang sama. Di samping Sumarah sendiri, dalam istilah Paul Stange, senantiasa berevolusi, atau dalam istilah Mbah Kino sendiri diistilahkan sebagai “Nuting jaman kelakone,” setiap orang seolah diberi ruang untuk menunjukkan keunikannya. Maka, lumrah ketika orang seakan merasakan ada perbedaan antara Sumarah Jogja dengan Solo, Jakarta, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, maupun Surabaya.
Dalam kepemimpinan Paguyuban Sumarah sendiri, dari zaman tiga serangkai Mbah Kino-Mbah Hardo-Mbah Sutadi, dr. Soerono hingga Arimurty, terdapat perbedaan gaya dalam masalah praktik pasujudannya. Dan hal ini tentu saja bukanlah sebuah persoalan di Paguyuban Sumarah secara keseluruhan.
Berbeda dengan sistem tarekat yang mengenal sosok mursyid yang kebenarannya seolah tak terbantahkan, di Paguyuban Sumarah perbedaan yang bahkan sampai menyangkut masalah-masalah spiritual cukup diberi ruang. Sebab, seperti halnya Bima dengan Dewa Ruci-nya, demikian pula setiap orang dengan kejatidiriannya. Pamong, atau para sesepuh pembimbing pasujudan dalam Paguyuban Sumarah, pada dasarnya hanya ngemong dimana tentu saja semuanya tergantung pada diri masing-masing.
Di sinilah prinsip “dhewek” seolah menjadi karakteristik dominan spiritualitas yang berbasiskan budaya Jawa pada umumnya yang tak pernah mengenal sesosok mursyid yang berwujud manusia. Seje silit seje anggit, demikianlah pepatah Jawa melukiskan demokrasi dalam kebudayaan Jawa. Maka, jangan pernah berharap tentang adanya aspirasi khilafah atau otoritarianisme dari kalangan kejawen.
Ketika menengok sejarah Paguyuban Sumarah sendiri sudah terdapat pula perbedaan gaya pasujudan antara Mbah Kino, Mbah Hardo, dan Mbah Sutadi. Seandainya Mbah Kino dikenal sebagai pribadi yang cukup halus, hingga konon dalam setiap pasujudan yang di-emong-nya selalu mengucurkan tembang-tembang secara otomatis, maka Mbah Hardo adalah pribadi yang tegas yang konon mampu mengalahkan seorang “kyai kejadugan,” Kyai Abdulhamid, di Madiun, hingga sang kyai yang ikut peristiwa 10 November di Surabaya dengan Barisan Berani Mati-nya itu akhirnya menjadi orang Sumarah sampai akhir hayatnya.
Saya sendiri mengenal Sumarah melalui Mbah Untung yang saat itu duduk di dewan kerohanian Paguyuban Sumarah Jogja yang otomatis adalah jalur Mbah Kino. Meskipun tak berkarakter halus, namun saya yang berlatarbelakang Islam yang sedikit banyak karib dengan tasawuf dan tarekat tak asing dengan Sumarah dari jalur Mbah Kino dan Mbah Untung yang merupakan salah satu murid langsungnya.
Dalam wewarah-wewarah Mbah Kino yang berwujud tembang, yang konon mengucur secara otomatis ketika ngemong pasujudan para anak didiknya, cukup banyak dijumpai istilah-istilah dan konsep-konsep yang cukup akrab di jagat tasawuf.
Ana Khaqbah panembahira iku arahira kang tuhu
Marmanira tetep mung khaq-Ollah Khaqbah kang salugu kolbu
Iku ancering ngabekti marang Hyang Maha Esa
Tatarane muji kalawan dikir lakonana ywa pedhot elingnya
Iku babaring ngilmu ingkang margi tutuging suci
Pandangan Mbah Kino yang konon berasal dari Chakiki itu ternyata dapat ditemukan pada keyakinan para sufi semacam al-Ghazali yang pernah menukil bahwa “Qalbul mu’min baitullah.” Meskipun, sebagaimana lelaki Jogja di waktu perang yang akrab dengan kebatinan ataupun yang kini disebut sebagai kejawen, secara sufistik apa yang diwewarahkan Mbah Kino sedikit pun tak ada yang menyimpang dari keyakinan para sufi pada masalah tarekat dan hakikat.
Sebelum memperoleh wahyu Sumarah, Mbah Kino sendiri pernah tergabung dalam Paguyuban Harda Pusara yang telah terlebih dahulu ada. Dalam Paguyuban HP sendiri konon Mbah Kino telah menyelesaikan semua titik yang lazim dilalui oleh warga HP. Namun, dalam suasana perang dan suasana berkabung karena salah satu anaknya meninggal, Mbah Kino melakukan kebiasaan dzikir yang sebelum bergabung dengan Paguyuban HP sudah pernah dilakukannya. Wahyu pun, menurut beberapa riwayat, turun terbelah menjadi dua dimana yang separuh diterima Mbah Kino dan separuhnya lagi diterima oleh Muhammad Subuh, pendiri SUBUD (Soesilo Budhi Dharma).
Meskipun wewarah-wewarah Mbah Kino kental dengan istilah dan konsep-konsep yang lazim dijumpai dalam tasawuf, namun Mbah Kino dan ngelmu Sumarah yang dibabarkannya cukup berbeda dengan tarekat-tarekat sufi yang sama sekali, secara ruhani, tak membawa-bawa lokalitas.
Secara geopolitik jelas tarekat-tarekat sufi yang ada berorientasi pada wilayah-wilayah asalnya seperti Turki, India, Maroko, Yaman, Uzbekistan, dst. Namun, melalui Chakiki yang bekerja di bawah-sadar, Mbah Kino terang-terangan menyebut Indonesia dan Pancasila yang seolah merupakan bagian dari pewahyuannya.
Ana kukumollah margi tinuntun
Kawasesa ing Khaq ananira Lailahhaillalloh ing kono Dzhat kang Mulya
Jatining kahananira kawasesa kukum suci
Babaring Indonesia ginaib murni nglaras karsaning Gusti ginawe Bangsa Luhur
Saweneh ana kang mujud
Ngadang peranging donya
Pan ing kono wektu kanggo mujud nyalini ing tatanan
Laku patrap nora becik
Marga saka paham liya
Ngira yen bakal bisa becik
Iku pan kaliru
Kang bener antepana
Abentukan Republik
Kang wus mujud
Adhedhasar Pancasila
Iku kang luwih becik
Iku marganing raharja
Kang sinebut ing jangka-jangka ing nguni
Negaramu bisa makmur
Tata tentrem mujudira
Marga sira kudungawaki nuntun
Dhedhasar Ketuhanan
Rahayu ing donya ngakir
Iku babaring Sumarah
Mujud neng bangsa Indonesia
Ing mbenjing
Lugune wajibul wujud
Iku tetep bakal nyata
Nanging sira kudu wani nenuntun
Aja mung sembrana kudu sira netepi
Tak pelak lagi, berdasarkan fakta-fakta sejarah ini, Paguyuban Sumarah—dan tentu saja aliran-aliran penghayat lainnya—adalah sebuah spiritualitas yang berbasiskan budaya Jawa yang secara hakiki tak perlu diributkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berbasiskan agama. Sebab, dalam kacamata tasawuf, wewarah-wewarah yang disampaikan oleh Mbah Kino sama sekali tak asing. Lagi pula, berbeda dengan tasawuf, Mbah Kino dengan Sumarah-nya lahir dari rahim kebudayaan Jawa sendiri yang secara otomatis menyertakan pula Bumi yang dipijaknya, yang bukanlah Hadramaut melainkan Indonesia dan Pancasila.