Ricklefs pernah mencatat keluhan Sunan Bagus pada pamannya, Pangeran Purbaya, yang terdapat dalam Babad Mangkubumi ketika hendak dinobatkan menjadi Pakubuwana IV yang menampakkan sikap zuhud-nya selaiknya seorang sufi: “Paman, sebenarnya/ Aku tak mampu untuk menjadi seorang raja/ Sungguh, aku berharap untuk menghindari takdir keluargaku/ Aku ingin menjadi seorang santri/ Melayani Tuhan/ Di dunia ini dan di akhirat” (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Heru Nurcahyo, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011).
Sejak belia Sunan Bagus memang, barangkali, satu-satunya raja Surakarta yang terang-terangan tak menyukai kehidupan yang bebas ala orang-orang Belanda. Di samping jiwa santrinya yang tebal, ia juga merupakan salah seorang yang memiliki otoritas untuk menjadi mursyid, berhak untuk memberikan inisiasi dan ijazah ilmu tarekat. Dengan kata lain, ia memang benar-benar seorang sufi dalam arti klasiknya.
Keislaman seorang Sunan Bagus yang “nyufi” dan antiradikalisme terang terekam dalam salah satu karyanya yang telah dikenal publik yang luas: Serat Wulangreh. Ketika orang masih ingat kisah tentang perumpamaan kijang (adigang), gajah (adigung) dan ular (adiguna), seorang yang pernah tercatat dikepung laiknya Nabi Muhammad oleh kalangan radikal yang berselingkuh dengan penjajah sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Pakepungan inilah yang merangkainya.
Sebagaimana Raden Mas Sudira atau yang kelak bergelar Mangkunegara IV yang sangat tampak terpengaruh oleh tasawuf al-Ghazali (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id), Sunan Bagus adalah juga seorang pujangga-sufi yang terang-terangan bersikap kontra terhadap radikalisme Islam. Di samping keduanya menyajikan apa yang kini dikenal sebagai kontranarasi radikalisme, mereka juga menyajikan diagnosis atas radikalisme yang terjadi pada eranya.
Radikalisme dalam catatan Sunan Bagus identik dengan sikap keberagamaan yang jauh dari perkara rasa (dzauq). Ia seperti halnya “jiwa amatiran” yang memang lekat dengan fase masa muda dimana baru sedikit saja belajar sudah kumaki atau banyak tingkah. Celakanya, di matanya, semua orang yang tak sesuai dengan standarnya adalah pasti salah dan karena itu wajib untuk disingkirkan atau dibasmi.
Padahal, ibarat memakan buah kelapa, yang ia makan barulah sabut kelapa yang jelas tak enak di lidah dan sama sekali masih jauh dari batok, daging, atau bahkan airnya. Jadi, orang radikal dalam pemahaman ini adalah orang yang nalarnya memang tak pernah berfungsi alias “pengung” atau goblok dalam bahasa Mangkunegara IV. Bagaimana mungkin kenyataan buah kelapa hanya diukur melalui sabutnya semata?
Sasmitaning ngaurip puniki
Mapan ewuh yen nora weruha
Tan jumeneng ing uripe
Akeh kang ngaku-aku
Pangrasane sampun udani
Tur durung wruh ing rasa
Rasa kang satuhu
Rasaning rasa punika
Upayanen darapon sampurna ugi
Ing kauripanira
Senada dengan Sunan Bagus, dalam hal ini Mangkunegara IV menyebut orang radikal sebagai si “pengung” yang identik dengan kalangan muda usia. Tingkah-laku mereka ia gambarkan seperti halnya seorang “Sayid” yang suka merendahkan orang lainnya. Padahal, mereka baru dalam taraf belajar, tapi sudah merasa pintar dan berhak menghakimi orang lainnya.
Durung pecus
Kasusu kaselak besus
Amaknani rapal kaya sayid weton Mesir
Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma
Jelas dalam hal ini Mangkunegara IV, dan saya kira juga Pakubuwana IV, sudah menyitir tentang keberadaan dan kiprah Islam transnasional pada waktu itu di Jawa. Istilah “Sayid” yang digunakannya untuk menyindir perilaku orang-orang radikal tak pelak lagi merujuk bukan pada orang yang secara genealogis Jawa. Ia adalah sepenggal gelar yang konon dipakai oleh para keturunan Nabi Muhammad. Tapi, dalam Serat Wedhatama, “Sayid” ini justru sama sekali tak mencerminkan akhlaq sang nabi yang semestinya sebangun dengan gelarnya. Sang “Sayid” ternyata gemar merendahkan orang lainnya.
“Pengung” adalah tipikal orang yang mengagungkan kebenaran sendiri. Ia adalah orang yang tak pernah mawas diri, serupa dengan kalangan takfiri di masa kini. Ketika ia merasa benar, maka yang lainnya adalah pasti salah. Namun ketika ditelisik pembicaraannya yang sudah pasti berapi-api, jelas tersusun tanpa menggunakan otak sama sekali. Atau dengan kata lain, mereka penuh dengan sesat pikir.
Terhadap “pengung” semacam ini, Mangkunegara IV menyikapinya dengan mengalah dan menghindari perdebatan yang kontraproduktif. Sebab, semakin mengalah, maka semakin menonjol pula kegoblokan mereka. Hal ini seolah senada dengan prinsip Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa ketika ia benar temanmu, maka tanpa perlu dijelaskan panjang-lebar pun ia tetap akan percaya. Namun ketika ia adalah musuhmu, dijelaskan panjang-lebar pun ia tetap tak akan percaya.
Si pengung nora nglegewa
Sang sayarda denira cacariwis
Ngandhar-andhar angendhukur
Kandhane nora kaprah
Saya elok alangka longkanipun
Si wasis waskitha ngalah
Ngalingi marang si pinging
Karakteristik lainnya radikalisme di era Pakubuwana IV adalah banyaknya ustadz yang justru mencari murid dan bukannya sebaliknya yang konon merupakan salah satu adab dalam proses belajar-mengajar yang berkah. Para ustadz radikal itu adalah laiknya calo yang dengan berbagai cara yang tak bermartabat berupaya menggaet mangsanya. Jadi, fenomena “religiositas karbitan” atau menghendaki segala sesuatunya secara instan seperti di masa kini sudah terjadi pula di era Pakubuwana IV.
Ingkang lumrah ing mangsa puniki
Mapan ki guru kang golek sabat
Tuhu kuwalik karepe
Kang wis lumrah karuhun
Jaman kuna mapan ki murid
Ingkang padha ngupaya
Kudu anggeguru
Ing mengko iki ta nora
Kyai guru naruthuk ngupaya murid
Dadia kanthinira
Sangat menarik ketika Sunan Bagus menyatakan pula bahwa persebaran radikalisme tak dapat dilepaskan dari peran dari seseorang yang menjadi ustadznya. Ketika seumpamanya ustadznya adalah seorang ustadz yang radikal dan muridnya adalah seorang yang radikal pula, maka tak urung sang murid akan menjadi seorang teroris dan proses belajar-mengajar mereka akan menjadi sebentuk pembelajaran terorisme. Maka dalam hal ini, radikalisme adalah rahim dari terorisme.
Yen wong anom pan wus tamtu
Manut marang kang ngadhepi
Yen kang ngadhep akeh bangsat
Datan wurung bisa juti
Yen kang ngadhep keh durjana
Nora wurung bisa maling