Sesaat sebelum meninggalkan Bhre Kertabhumi, Sabdapalon berpesan, kelak, 500 tahun lagi ia akan kembali. Perpisahan antara sang pamomong yang bijak dan Brawijaya V itu menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Lazimnya, sengkalan “sirna ilang kertaning bumi,” yang mengacu ke angka waktu 1400, merupakan pepenget tentang runtuhnya Majapahit. Akan tetapi, saya memiliki pemaknaan lain soal angka waktu itu.
Tak hanya Sabdapalon yang ternyata memilih meninggalkan Brawijaya V. Kettu Wijaya, seorang punggawa Majapahit, memilih pula untuk meninggalkannya dan mengasingkan diri, membangun basis kekuatan di daerah Wengker, yang kini dikenal sebagai Ponorogo.
Tapi tak seperti Sabdapalon yang memilih menarik diri dari kekuasaan dan mewedar nujuman, Kettu Wijaya atau Ki Ageng Suryangalam justru melakukan pembangkangan simbolik yang penuh satir dan parodi terhadap kebimbangan Majapahit, dengan membuat pertunjukan arak-arakan yang kini disebut sebagai seni reyog Ponorogo.
Saya melihat ada kekecewaan pada dua mantan punggawa Majapahit itu. Pada kasus Ki Ageng Suryangalam, hal itu berkaitan dengan lemahnya wibawa Brawijaya V sehingga dapat didikte oleh seorang isterinya, dilambangkan dengan topeng singobarong yang menyunggi seekor merak yang tengah mekar ekornya.
Para prajurit Majapahit pun tak luput untuk digarap dengan melambangkan mereka sebagai jathil, para lelaki penunggang kuda kepang yang bertingkah anggun dan ayu—di mana di hari ini karakter jathil itu diperagakan oleh para dara betulan.
Kettu Wijaya sendiri menjadi Pujangga Anom atau bujangganong yang memiliki karekter jenaka, lincah dan suka ngece sang singobarong. Bujangganong ditemani oleh para warok yang berpakaian hitam-hitam, gagah dan bersuara lantang penuh semangat.
Sabdapalon saya kira juga memendam kekecewaan pada Brawijaya V. Dalam Serat Dharmagandul dikisahkan bahwa ia terdesak oleh berbagai kebijakan sang raja.
Sabdapalon merupakan representasi “kekuatan lama” yang terancam kemapanannya. Adapun Brawijaya V bimbang untuk menyikapi masuknya “kekuatan baru,” yang dalam beberapa serat digambarkan sebagai “kekuatan Islam.”
Negosiasi antara Sabdapalon dan Bhre Kertabumi yang pembimbang itu mengalami titik buntu. Maka, Sabdapalon memilih moksa dan menyatakan bahwa 500 lagi ia akan kembali menguasai Nusantara. Dus, sengkalan “sirna ilang kertaning bumi” berarti pula gambaran pemerintahan Brawijaya V yang tengah mengalami krisis kepercayaan—sing sapa was bakale tiwas.
Ketika menyeksamai kisah dan arca Sabdapalon di Candi Cetho, saya teringat oleh sosok Semar. Dalam kisah pewayangan Jawa, titisan Bathara Ismaya itu dikenal sebagai salah satu hasil local genius yang tak ada dalam versi aslinya di India.
Semar merupakan gubahan khas para pujangga Nusantara. Ia adalah simbol ketuhanan orang-orang Nusantara sebelum kedatangan Islam.
Banyak deskripsi tentang “ketunggalan” pada sosok Semar, tempat segala paradoks bertemu. Ia dewa (Ismaya) sekaligus hamba (Semar), bertetek (lambang perempuan) tapi berkuncung (lambang lelaki).
Matanya sembab airmata (lambang duka) tapi bibirnya selalu tersenyum (suka). Ia santun dan selalu mewejang tapi tiba-tiba juga dapat kentut sembarangan. Tangan kirinya mengepal tapi tangan kanannya menuding (Kisah Semar dan Syaikh Subakir di Belukar Tidar, Heru Harjo Hutomo https://alif.id).
Dan memang, Semar merupakan anak pujaan Sang Hyang Tunggal atau dalam bahasa sansekerta disebut sebagai “Taya.”
Taya itulah yang kemudian menjadi akar kata dari kapitayan. Di masa awal kemerdekaan kapitayan kemudian dialihbahasakan menjadi kepercayaan.
Maka, sesungguhnya, UUD 1945—melalui pasal 29—secara kebahasaan mengakuinya sebagai “kepercayaan” yang berbeda dari “agama.” Dua istilah itu selalu dipisahkan, “agama dan kepercayaan.”
Pada kasus Sabdapalon, kapitayan itulah yang disebut sebagai “kekuatan lama” yang terdesak oleh kedatangan “kekuatan Islam.” Tapi sejatinya kisah relasi antara kapitayan dan Islam tak melulu mengalami jalan buntu. Gunung Tidar di Magelang, secara semiotis, merupakan titik singgung dua kekuatan itu.
Tentu, Islam yang berkembang di Tidar bukanlah sebentuk Islam puritan dan radikal yang maunya menang-menangan. Tak mungkin Syekh Subakir, seorang ulama asal Turki menumbal dan memiliki pusaka kyai Sepanjang, sebentuk kebiasaan yang menurut penganut Islam puritan sarat dengan TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat).
Hanya seorang sufi yang mampu bernegosiasi dan akomodatif terhadap berbagai kepercayaan setempat. Syekh Subakir itulah yang dalam Kitab Musarar disebut sebagai Maulana Ngali Samsu Jen (Maulana Syamsu Ali Zain). Oleh karena itu, bagi saya, Tidar merupakan lambang titik singgung sekaligus titik sambung risalah keesaan (ketauhidan) antara penganut kapitayan dan tasawuf, antara Eyang Ismaya Jati dan Syekh Subakir.
Seonggok tugu yang tegak menuding ke atas merupakan tugu peringatan atas suksesnya sebuah negoisasi antara kapitayan dan tasawuf. Perlambangnya, burung garuda dan tiga aksara Jawa “SA” yang dapat diartikan sebagai sapa salah seleh (siapa yang salah akan kalah).
Kapitayan itulah yang kini dikenal sebagai “Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”