Sedang Membaca
Marxisme dan Wayang Purwa
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Marxisme dan Wayang Purwa

1562034254 Slide6

Sepulang sekolah, waktu itu sekolah menengah saya adalah sekolah aliyah, saya pun agak marah. Buku-buku saya tentang marxisme tiba-tiba tak ada di rak buku sebagaimana biasanya. Seingat saya ada beberapa buku yang membuat saya merasa gagah kala itu.

Beberapa di antaranya adalah Sosialisme Indonesia karya Roeslan Abdul Gani warisan simbah saya, Karl Marx: Marxisme Analisis Kritis karya Jon Elster, Das Kapital Karl Marx terbitan penerbit Teplok Press, Biografi Karl Marx karya Isaiah Berlin dimana sampai kini saya hafal betul nama kekasih dan kemudian yang menjadi isteri Marx—yang rela melarat dan hidup dalam tanggungan sobat Engels—Jenny Von Westphalen, Berfikir Secara Kefilsafatan yang merupakan terjemahan Drs. Soejono Soemargono yang saya koleksi sejak kelas 2 SMP dimana di dalamnya terdapat satu bab tentang filsafat sosial Karl Marx.

Entah karena pernah mengalami zaman keemasan PKI dan pembantaiannya, ibu saya ternyata menyembunyikan buku-buku itu dalam sebuah laci meja. Ia khawatir ketika saya membaca buku-buku yang baginya, tentu saja, menakutkan, saya pun akan tumbuh tanpa iman—atau setidaknya akan merasakan lantai dingin penjara. Sebab, stigmatisasi pemerintah orde baru pada komunisme memang sedemikian merasuk kuat ke relung bawah-sadar orang-orang pedesaan.

Untunglah kekhawatiran ibu saya itu tak pernah terbukti. Barangkali, pertunjukan dan kisah-kisah wayang purwa, bersama dengan dongeng-dongen tentang Syekh Siti Jenar, membuat saya tumbuh menjadi pemuda yang asyik untuk pergi ke mana saja tanpa sedikit pun rikuh—seperti tak ada batas-batas yang patut saya takuti waktu itu.

Wayang purwa memang sudah saya anggap seperti halnya sebuah “kitab suci” yang membuat saya pernah memutuskan bahwa pelajaran agama saya sudah selesai. Ukuran keselesaian itu adalah ketika saya, dalam kondisi bukanlah murid ataupun santri yang rajin, menemukan sebuah dalil bahwa seseorang itu benar-benar baik atau tak baik adalah ketika ia telah sampai pada akhir hidup—seperti kejelasan cerita dalam pertunjukan wayang di saat pathet manyura.

Menyandingkan marxisme dengan wayang purwa memang cukup menarik ketika menemukan semacam dislokasi pada keduanya. Seumpamanya ketika menerapkan analisis kelas, lazimnya kalangan yang melek marxisme akan menempatkan Kurawa sebagai kelas tertindas sekligus agen perubahannya. Padahal jelas, dalam hal ketertindasan dan peran sebagai agen perubahan dalam wayang purwa adalah Pandawa.

Baca juga:  Sang Mursyid

Barangkali, kalangan yang melek marxisme akan memihak Kurawa karena jumlah mereka yang lebih banyak daripada Pandawa yang hanya berlima laiknya sebuah oligarki. Padahal, sebelum Pandawa benar-benar berkuasa adalah Kurawa yang jelas-jelas menguasai alat-alat produksi. Pandawa hanyalah para yatim yang seakan kehidupannya penuh tirakat. Padahal, ketika term Kurawa dan Pandawa dihadapkan, anak-anak Dewi Kunthi itu sedang hidup dalam kemelaratan dan ketertutupan segala akses—kecuali akses ketuhanan.

Barangkali, kalangan yang melek marxisme akan mengaitkan keberpihakannya pada Kurawa—atau tokoh-tokoh yang merupakan sekutunya—sebagai pihak yang jauh dari adab, ilmu, dan agama yang konon memang dapat dimaklumi ketika seseorang atau sebuah golongan tengah hidup dalam kesempitan. Padahal jelas, Kurawa hidup penuh dengan kemewahan dimana panyandra sang dalang akan menggambarkan Duryodana sebagai raja yang berbandha atau kaya-raya dan berbandhu atau banyak saudara.

Barangkali, bagi kalangan yang melek marxisme, secara seni rupa, lebih menyukai tokoh-tokoh Kurawa yang sebagian besar warna mukanya merah ataupun biru. Sementara Pandawa justru bermuka hitam, yang dalam semiotika kalangan marxis jauh terkesan kalah revolusioner dibanding warna merah ataupun kuning—kecuali warna hitam itu dikombinasikan dengan warna merah.

Barangkali, kalangan yang melek marxisme condong untuk menghidupkan Kurawa karena dianggap berposisi di kubu kiri. Padahal, seandainya ukurannya adalah perspektif dalam menonton justru Pandawa berada di kubu yang kiri ketika ruang menontonnya adalah dari balik kelir dimana, sesuai dengan namanya, hanya bayangan-bayangan hitam yang tampak.

Baca juga:  Ekstrimisitas Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara  

Dislokasi ini saya kira juga dialami pada beberapa lakon yang dipandang dapat mengispirasi sebuah pergolakan atau bahkan revolusi. Taruhlah lakon Pendhadharan Siswa Sokalima dimana keduanya, baik Kurawa maupun Pandawa, dipertandingkan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan mereka atas ajaran-ajaran Rsi Drona.

Dalam lakon itu, barangkali, kalangan yang melek marxisme akan memihak Kurawa karena terkenal kurang pintar dan kurang terampil dibanding Pandawa yang seolah tertutup aksesnya pada pendidikan. Padahal jelas, Kurawa yang merupakan anak-anak raja kala itu, lebih memiliki akses sekaligus memonopoli segala fasilitas pendidikan.

Pada lakon Samba Juwing, sepertinya kalangan yang melek marxisme akan memihak pada Setija atau Boma Narakasura yang melambangkan petani dimana selama masih menyentuh tanah kematiannya hanyalah semacam sebentuk tidur siang.

Padahal, sebenarnya kematian Boma memang dikehendaki oleh Kresna yang merupakan titising Wisnu, sang dewa pemelihara, yang melambangkan air atau kehidupan. Barangkali, lakon ini hanyalah pepeling bahwa lahan yang semakin sempit memang tak dapat dihindari dan lakon ini merupakan sebentuk antisipasi atas pertanian hidroponik di masa kini.

Pada lakon Brajadentha-Brajamusti, barangkali kalangan yang melek marxisme cenderung untuk bertempiksorak pada Brajadentha yang mbalela pada Gatotkaca, kemenakannya sendiri yang dipilih untuk menggantikan kedudukan Arimba, sang raja yang telah gugur. Ironisnya, Prabu Arimba itu justru dibunuh oleh ayah Gatotkaca, Bratasena.

Baca juga:  Jejak Dipanegara dalam “Ilmu Pujian Roso Sampurno”

Pada lakon Brajadhentha-Brajamusti, ketika alasan bertempiksorak adalah rasa iba, sebenarnya yang pantas mendapatkan iba adalah Tetuko atau Gatotkaca, yang sebelum dirias secara kejam, menunjukkan bentuk dan gelagat seorang raksasa lengkap dengan taring dan kecenderungan kanibalnya. Sebab, trah kerajaan Pringgandani adalah trah para raksasa.

Dan Tetuko adalah semacam aib bagi keluarga Pandawa yang berkasta ksatria. Kala itu Bratasena pun enggan untuk mengakui Tetuko sebagai anak kandungnya sebelum fitrah keraksasaannya dihilangkan, dimana wajahnya terpaksa ditutupi dengan topeng besi sehingga Gatotkaca untuk tersenyum pun tak bisa.

Pada lakon Srikandhi Manah, tentunya kalangan marxis akan menyengkuyung keinginan Srikandhi untuk setara dengan lelaki semacam Arjuna yang lihai memanah dan berperang. Tapi, dalam hal ini, ada yang dilupakan dari kodrat perempuan yang konon melahirkan dimana, dalam perspektif poskolonial, merupakan sebentuk bargaining position dalam sebuah percaturan politik identitas.

Pemilihan kalangan yang melek marxisme pada golongan cilik kiranya juga tak konsisten ketika representasi golongan cilik itu adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong—yang bagaimana pun tak dapat dilepaskan dari ksatria-ksatria utama semacam Pandawa.

Semestinya, seandainya orientasinya adalah golongan cilik yang kontra Pandawa, pilihannya adalah Togog dan Mbilung. Tapi pilihan ini pun juga inkonsisten mengingat keadaan Togog dan Mbilung adalah jauh lebih kaya dibanding Semar dan anak-anaknya.

Elitisme memang ibarat bubur dimana kalangan marxis jelas tak menyukainya. Tapi ketika elitisme ini dikenakan pada kisah pewayangan, lantas siapakah yang elit itu mengingat Semar dan Togog yang sekedar kawula ternyata adalah para dewa ngejawantah yang jauh lebih elit dibanding Kurawa dan Pandawa?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top