Suatu hari saya iseng berjalan-jalan ke pasar untuk sekedar membeli tembakau dan, sebelum corona mewabah, melihat sabung ayam. Sebelum masuk ke pasar itu langkah saya terhenti di sebuah kios yang menjual keset dengan hiasan tulisan: “Welcome.” Semiotika memang pernah menjadi santapan saya saat muda dan sok kritis, meskipun ilmu kerata basa dan candra ataupun suryasengkala beserta sengkala memet lebih menarik perhatian saya.
Lazimnya, ucapan selamat datang diguratkan pada plengkung gapura pelengkap resepsi pengantin atau di plengkung gapura masuk desa ataupun kota. Ucapan itu adalah sebentuk keramahtamahan, bagian dari subasita atau sopan-santun yang konon telah menjadi identitas budaya orang Indonesia. Tapi ketika ucapan itu diguratkan pada sehelai keset tentu maknanya akan lain.
Bansky, seorang seniman grafiti yang misterius, barangkali akan sedikit terkaget ketika ia, seumpamanya, pernah hidup di Indonesia dan karib dengan basa-basi ucapan selamat datang. Sehelai keset dan ucapan “Welcome” tentu tak kalah efeknya dengan salah satu karyanya yang menghadirkan seorang demonstran yang siap melempar seutas kembang dan bukannya batu ataupun bom molotov.
Dalam pendekatan sastra hal itu dinamakan sebagai ironi, menghadirkan dua hal yang bertolak-belakang secara bersamaan. Terkadang saya pun teringat sebuah doktrin Katolik ataupun Protestan tentang kenosis yang entah kenapa di hari ini seperti campur-aduk dengan doktrin khumul yang bagi saya salah-kaprah. Seakan-akan, dengan sehelai keset yang berhiaskan ucapan “Welcome” itu, orang seperti dipaksa untuk rela diinjak-injak harga dirinya bahkan sampai kehilangan dirinya tersebut untuk meraih sesuatu.
Apakah Kanjeng Nabi Muhammad sampai memberi teladan seperti itu? Setahu saya ia adalah seorang yang sangat getol dalam menjaga amanah yang karenanya digelari sebagai “al-Amin.” Dan bukankah martabat diri atau bahkan kedirian tersebut adalah anugerah Tuhan yang karenanya wajib untuk dijaga dan dibela? Bukankah kisah hijrah Nabi Muhammad dan berbagai perang yang melibatkan dirinya adalah bagian dari menjaga amanah Tuhan itu: martabat diri?
Terkadang, saya pun tak dapat menahan diri untuk tak menampik sikap-sikap yang bagi saya salah-kaprah itu dengan menyerang balik laiknya pepeling Semar pada Durga: “Wis wani wirang?.” Telah menjadi rahasia umum bahwa Durga, demi memuluskan ambisinya, rela berbuat apa saja termasuk menjadi gundik para anak-anakannya yang tak beradab—dan sesekali menjadi pelepas lelah Bathara Guru, sang penguasa Triloka.
Sehelai keset yang berhiaskan ucapan “Welcome” itu dapat pula dijadikan analogi tentang hegemoni. Dengan kata lain, seperti sebuah rasa ketika kita diistimewakan padahal senyatanya tengah diinjak-injak. Atau seperti rasa orang yang dispesialkan tersebab kurang mampu atau bahkan tak mampu sama sekali. Maka, dalam hal ini, konotasi “istimewa” atau “spesial” justru adalah sebentuk olok-olok. Sampai di sini, adakah keterkaitan antara doktrin kenosis ataupun khumul yang telah salah-kaprah dengan status “istimewa” atau “spesial” tersebut?
Pada kancah teologi, kenosis pada dasarnya adalah saat Yesus “direndahkan” dengan disalib dan seperti mengalami ketiadaan diri. Adapun khumul, yang secara harfiah berarti rendah, kerap diartikan pula sebagai ketiadaan diri. Dalam hal ini kedua doktrin itu memang terkesan mirip antara satu dengan lainnya. Tapi pertanyaannya, adakah Kanjeng Nabi Muhammad mempraktikkan hal itu mengingat doktrin khumul hidup di tengah-tengah sebagian umatnya?
Di sini saya hanya akan mengupas doktrin khumul yang bagi saya sudah salah-kaprah, apalagi di zaman dimana literalisme seperti menjadi sebuah kelaziman seperti karakteristik populisme yang sejak beberapa tahun belakangan ini mengecambah. Dalam kitab al-Hikam doktrin khumul itu gamblang dinyatakan sebagai “Idfin wujudaka fi al-ardil khumuli.” Dengan bersandar pada aforisme itu banyak orang kemudian mencoba hidup tanpa harga diri, karena bumi kerendahan di situ dipahami sebagai pembenaman jatidiri atau hal-hal yang sesungguhnya. Barangkali, tak ada figur sebesar Gus Miek dalam laku khumul ini yang konon pernah memperingatkan untuk jangan meniru kiprahnya selama ini.
Tapi saya kira persoalannya dapat dikembalikan pada Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili yang konon lebih menganjurkan ibadah hati bagi para pengikutnya. Dengan kata lain, untuk tak terlalu literal dalam memaknai segala sesuatu. Taruhlah laku zuhud yang baginya sebenarnya terletak di hati. Jadi, atas dasar hal ini, tak ada salahnya seorang sufi itu kaya-raya, menjadi pengusaha, politisi atau bahkan pejabat.
Taruhlah lagi, terkait dengan laku khumul, adalah kisah Sunan Kalijaga yang konon pernah tapa pendem sekian waktu untuk menjadi seorang wali. Kisah ini, bagi kalangan kejawen atau orang-orang yang menggunakan jalur budaya Jawa sebagai basis spiritualnya, dimaknai juga sebagai tapa ngrame atau hidup berbaur dengan khalayak kebanyakan yang jauh dari lingkungan asalnya. Sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Djoyopoernomo ataupun Ki Ageng Suryamentaram yang hidup jauh dari kemegahan keraton.
Budaya Jawa memang sarat dengan pasemon yang kondang dengan ungkapan “Jawa nggone semu.” Bagaimana mungkin burung Bangau yang terbang meninggalkan tapak (tapake kuntul anglayang), misalnya? Maka, karena tasawuf adalah laiknya spiritualitas Jawa pula yang sarat pasemon, benarkah khumul dalam pengertian Syekh Ibn ‘Athaillah adalah hidup seperti tanpa martabat diri?
Saya teringat kisah Sang Buddha ketika masih bernama Pangeran Sidharta. Konon, ia sampai harus hidup tanpa diri dengan menyiksa raganya dalam olah rohani. Dan, karena terilhami dari sebuah sitar dimana ketika dawainya terlalu kencang akan rentan putus, ketika terlalu kendor justru tak berbunyi, ia pun lalu menghentikan lakunya selama ini. Saat dalam kondisi sak madya itulah ia justru memperoleh pepadhang. Maka, prinsip jalan tengah kemudian menjadi prinsip utama dalam Buddhisme.
Prinsip sak madya merupakan prinsip yang khas Jawa pula. Keselarasan dan keseimbangan memang sangat dianjurkan dalam kebudayaan Jawa. Hal ini dapat dilihat dalam konsep mereka tentang sedulur papat lima pancer yang mesti selaras, tak tumpang-tindih, dan tak hierarkis ketika hendak memayu hayuning bawana, baik bawana kecil yang adalah bawana-nya sendiri maupun nantinya bawana besar.
Dalam konsep sedulur papat lima pancer doktrin dan laku khumul yang bagi saya salah-kaprah tersebut persis karakteristik diri aluamah atau dalam bahasa Qur’aninya disebut lawwamah, diri yang mencela dirinya sendiri, kebusukannya sendiri, diri yang penuh penyesalan atau diri yang wis wani wirang. Diri aluamah ini setingkat lebih tinggi dari diri ammarah yang masturbasif atau menang-menangan. Tak jarang, bagi diri aluamah ini masalah perut adalah yang utama. Dalam pewayangan Jawa ia disimbolisasikan dengan sosok Kumbakarna yang konon suksmanya kandheg atau tak sampai pada tujuannya sehingga perlu disempurnakan oleh Gunawan Wibisana yang merupakan lambang diri muthmainnah.
Dengan prinsip sak madya diri-diri atau yang disebut pula dengan istilah sedulur-sedulur tersebut mestilah berjalan secara harmonis. Sebab, merekalah piranti-piranti hidup manusia di dunia ini (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021). Budaya Jawa memang tak meletakkan diri-diri yang disebutkan pula dalam al-Qur’an itu secara hierarkis, tapi secara seimbang. Orang memang boleh makan, karena hal itu adalah bagian dari kewajiban raga. Orang boleh marah, karena hal itu adalah bagian dari kewajiban dalam menjaga amanah, dst. Yang sama sekali tak dianjurkan adalah berlebihan. Bukankah justru, dalam hal ini, budaya Jawa sangat dekat dengan prinsip dan laku hidup Kanjeng Nabi Muhammad, meskipun tak pernah mengklaim sebagai umatnya. Bukankah mayoritas aliran kapitayan atau aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara umum mengajarkan satu hal: budi pekerti? Bukankah budi pekerti inilah yang disebut sebagai akhlaq dimana konon Kanjeng Nabi Muhammad khusus diutus untuk menggarap atau menyempurnakannya?