Sedang Membaca
Kapitayan (4): Stigma Negatif Pemerintah dan Masyarakat
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Kapitayan (4): Stigma Negatif Pemerintah dan Masyarakat

Whatsapp Image 2021 02 23 At 22.38.39

Apa yang diterima oleh kalangan penghayat selama ini ditengarai karena sikap pemerintah Orde Baru saat itu yang menerapkan kontrol sosial-politik yang ketat pada warganegaranya dimana stigma “komunis” dan “PKI” merupakan senjata ampuh untuk memapankan kekuasaannya dari segala segala hal yang berpotensi mengancamnya.

Orde Baru memang sangat lihai dalam melakukan kontrol sosial-politiknya. Ia senantiasa berwajah ganda. Di satu sisi, untuk melakukan penundukan atas suara-suara kritis terhadapnya, ia seolah tampil “islami” dan modern khususnya terkait dengan komunisme dan kalangan penghayat—meskipun orang-orang terdekat Soeharto sendiri banyak yang memiliki afiliasi ke aliran kebatinan tertentu.

Di sinilah Soeharto dan pemerintah Orde Barunya menerapkan hegemoni negara pada kalangan penghayat sampai kelangsungan hidup dan kematian aliran-aliran penghayat tersebut tergantung pada keputusan pemerintah dan agama-agama formal yang dominan (Pran-Soeh Resistance to the State Hegemony, Nasruddin Nasruddin, Religio: Jurnal Studi Agama-Agama, Maret, Vol. 3 No. 1 [2013]). Birokrasi akhirnya menjadi salah satu pilihan Orde Baru untuk memapankan kekuasaannya dan menekan kekuatan-kekuatan kritis yang berpotensi mengancamnya.

Dalam hal ini saya sama sekali tak memandang bahwa apa yang dialami oleh kalangan penghayat sejak era Orde Baru dan sebelum keputusan resmi Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017 sebagai sebentuk hegemoni sebagaimana yang oleh banyak peneliti dan aktivis kemukakan, namun jelas adalah sebentuk upaya dominasi. Hegemoni saya kira justru terjadi saat ini sesudah MK mengeluarkan keputusannya.

Hegemoni adalah sebentuk upaya penundukan yang halus dan kerapkali tak tersadari dimana orang secara sukarela menerima penundukan itu dengan segala bujuk-rayunya. Fenomena komsumerisme dan konsumtivisme adalah beberapa contoh atas praktik hegemoni. Sementara seolah berlaku layaknya seorang Muhammadiyah pada kalangan penghayat dan non-muslim lainnya adalah sebentuk hegemoni pula.

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (2): Radikalisme dalam Konsep dan Transformasi Diri

Maka menjadi jelas dari praktik birokratik yang sebelum keputusan resmi MK diberlakukan adalah lebih pada upaya dominasi, sebab terang dalam hal ini orang terpaksa melakukannya. Dengan kata lain, temuan yang patut saya ungkap di sini adalah pada praktik hegemoni yang membuat para kalangan penghayat secara sukarela melebur pada “plot” agama dominan tertentu atau bahkan paham keagamaan dominan tertentu seperti slogan “berkemajuan,” idiom “hijrah,” kode penanda khusus “Islam” (tanpa tipologi), ataupun pragmatisme “MU-NU” (Muhammadiyah-NU) dengan paradigma kemapanan ekonominya, baik pada tingkat birokratik maupun pada praktik bermasyarakat di lingkungannya dengan segenap bujuk-rayunya.

Berbeda dengan banyak peneliti dan aktivis, tulisan ini berupaya menyingkapkan praktik pelenyapan prinsip dan paradigma autochthony yang dilakukan secara hegemonik, dimana hal itu sebenarnya lekat dengan aliran-aliran penghayat yang lebih bekerja di wilayah habitus yang berkaitan dengan ruang mental yang berimplikasi pada ruang fisikal. Namun, kerapkali autochthony itu dilabeli sebagai warisan masa silam yang usang dan tak memiliki pengaruh pada anyaman kebhinekaan dan realitas hari ini serta realitas yang mendatang (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020.).

Padahal, autochthony tersebut adalah kerangka sebuah masyarakat yang menjadikannya berakar dan tak rapuh. Dengan kata lain, autochthony adalah prinsip yang menjadikan kebhinekaan teranyam dalam kesepemahaman tanpa perlu merusak identitas dan kekhasan masing-masing sebagaimana kapitayan dan sufisme yang sama-sama beroperasi di tataran penghayatan (Kebatinan dan Anyaman Keberagaman, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Permasalahan mendasar kalangan kapitayan sehingga masih sering mendapatkan perlakuan yang tak layak saya kira adalah pada cara yang salah dalam melihat varian sekaligus posisi mereka dalam kaitannya dengan agama-agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Salah pembacaan itu tak semata dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh penganut agama-agama resmi lainnya.

Baca juga:  Tunggal Kahanan: Membantah Panteisme dan Monisme dalam Kesusastraan Jawa

Dalam hal ini, saya melihat bahwa pemerintah pun mendasarkan sikapnya terhadap kalangan kapitayan lebih pada pertimbangan atau penilaian keagamaan yang dominan dan bukannya konstitusi. Seandainya pemerintah tak menggunakan pertimbangan atau penilaian keagamaan polemik tentang kalangan kapitayan tak akan berlarut-larut sampai saat ini. Seperti misalnya polemik tentang pencantuman nama khusus aliran penghayat kepercayaan yang berjumlah ratusan dalam kolom agama di KTP ataupun para penganut aliran penghayat yang tak mempersoalkan tentang identitas keagamaannya atau berdiri di ruang liminal yang otomatis menjadi hal yang kontroversial ketika apa yang saya sebut sebagai “populisme kanan” mendominasi ruang publik (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Satu hal yang pasti, tak semua aliran kapitayan memandang diri mereka sendiri sebagai sebuah agama. Misalnya hal ini dinyatakan secara resmi oleh sesanggeman Paguyuban Sumarah bahwa kehadirannya bukanlah untuk menggeser posisi agama ataupun menentang agama. Namun, dalam sesanggeman itu, mereka lebih memposisikan diri sebagai pelengkap agama-agama yang ada. Pemosisian diri seperti ini juga di lakukan oleh paguyuban PDKK maupun PAMU dan Paguyuban Ngelmu Sejati.

Meskipun patut diakui bahwa semenjak MK memutuskan hak beragama kalangan kapitayan dan pencantuman identitas sistem keyakinan mereka dalam kolom agama di KTP pada 2017 lalu, tak semua pengikut kapitayan otomatis melakukannya. Dengan kata lain, hal ini bersifat individual dan bukan merupakan keputusan resmi organisasi. Untuk pandangan ini saya telah menyinggungnya dalam pemilahan atas religiositas dan spiritualitas (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Baca juga:  Sumarah

Dengan demikian, saya kira orang mesti melihat kapitayan tak dengan kacamata agama dominan yang sudah pasti akan rancu dan menyebabkan terjadinya perlakuan-perlakuan yang tak layak. Sementara kalangan radikal keagamaan memanfaatkan celah “liminalitas” itu untuk memperlakukan secara tak layak kalangan kapitayan dimana pemaksaan keyakinan akhirnya didapatkan oleh mereka yang ujungnya membuat sebagian dari mereka menuntut untuk menjadi “agama” sendiri.

Jadi, perlakuan-perlakuan pemerintah Orde Baru seperti itu ternyata masih langgeng hingga kini baik pada tataran birokratik maupun lingkungan masyarakat yang sudah diubah sedemikian rupa dengan berbagai mekanisme, di antaranya oleh diskursus yang berwujud narasi-narasi penelitian maupun media massa (Menghidupi Tradisi, Menyemai Toleransi, Heru Harjo Hutomo, http://saa.iainkediri.ac.id).

Dalam hal ini, saya kira yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah dan penyikapan masyarakat yang mesti berpegang pada prinsip dan paradigma autochthony. Secara simbolik dan historis, autochthony ini digelar dalam kisah Syekh Subakir dan Eyang Ismaya Jati, Brawijaya V (Sabdopalon yang lebih dulu moksa) dan Sunan Kalijaga, Abdurrahman Wahid dan Arya Papak. Berkaca pada kisah simbolik maupun historis itu, sudah sepatutnya pemerintah memperhatikan dan menjaga “kesepakatan” tersebut. Amanat konstitusi mengatakan bahwa pemerintah wajib mengayomi setiap warganegaranya tanpa kecuali. Oleh karena itu, saya kira, sebenarnya kesepakatan antara Eyang Ismaya Jati dan Syekh Subakir, Brawijaya V dan Sunan Kalijaga, Arya Papak dan Abdurrahman Wahid, secara tersirat telah termaktub dalam konstitusi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top