Ia seorang yang besar. Pengaruhnya diperebutkan. Daya rajutnya diperselisihkan. Masing-masing seperti memilikinya dan berhak atas diri, hidup, dan ajaran-ajaran yang telah dibabarkannya.
Masing-masing seolah yang paling dikasihinya. Sebermulanya ia hanya seorang anak bangsawan yang pedih ketika rakyat ayahnya hidup dalam penindasan. Darah mudanya bergelegak. Ia berontak. Ia, Sunan Kalijaga.
Ada banyak hal yang nyleneh terkait dengan salah satu putra Adipati Tuban ini dibanding para wali lainnya. Tapi tak ada satu pun catatan yang berkeberatan atas segala kiprah dan pendekatannya selama ini.
Sangat jauh berbeda dengan, menurut versi Cirebon, salah satu mertuanya, Pangeran Lemahbang, yang mesti tersisih atau disisihkan atas segala kontroversi yang dibawanya.
Orang tak pernah bertanya, misalnya, satu hal yang paling menarik perhatian saya di kompleks pemakaman Kadilangu, bagaimana ia sampai memiliki seonggok “sela palenggahan” (batu duduk) laiknya para pertapa.
Bagaimana seorang yang dikenal wali yang sepanjang hayatnya mensyiarkan agama Islam melakukan semedi, yang notabene bersumber dari ajaran dan praktik agama Hindu-Buddha dan penganut kapitayan?
Dan yang menarik, kenapa praktik seperti ini luput dari perhatian kalangan santri sendiri, di mana seolah—apapun yang terkait dengan Sunan Kalijaga—tak usah dipermasalahkan (seperti ada keistimewaan tersendiri baginya)?
Saya kira justru di situlah letak pentingnya seorang Kalijaga, yang menunjukkan daya rajutnya yang kuat atas segala perbedaan. Dan fakta inilah salah satu hal yang membuat kenapa ia diterima, dihormati dan dielu-elukan baik oleh santri maupun penganut kapitayan, baik pejabat maupun orang melarat.
Dalam khazanah budaya Jawa, mantan Brandal Lokajaya itu ditahbiskan sebagai Guru Suci Wong Tanah Jawi. Sementara di kalangan santri (para sufi), ia dibetik sebagai seorang yang mampu hidup di dua alam—baik metaforis maupun literal.
Pada kasus Sedulur Sikep, misalnya, mereka adalah sebuah komunitas yang merasa paling dikasihinya. Pada kasus Saridin, yang kelak bergelar Syekh Jangkung, ia dikisahkan sebagai guru sejatinya.
Pada kasus penganut Islam waktu telu di Nusa Tenggara, ia disebut-sebut sebagai pendirinya. Pada kasus ilmu falak Jawa, ia juga dikenal sebagai pencipta neptu hari 40—di mana kualitas waktu tiga hari setara dengan waktu 40 hari.
Pada kasus penganut tarekat peninggalan mertuanya, ia dikenal sebagai pemilik sekaligus pengijazah beberapa wirid di mana sanad tarekat mertuanya bersambung sampai Abu Bakar al-Shiddiq.
Adapun menurut beberapa sufi, ia dikenal sebagai al-Ghauts—bahkan didengungkan sebagai sang “Abdurrahman.” Untuk sedikit rempil, peran sebagai al-Ghauts ini nyata dinarasikan dalam kisah Saridin dan kepercayaan komunitas Sedulur Sikep ataupun para penganut kapitayan lainnya. Di sinilah gelar Guru Suci Wong Tanah Jawi bermula—bersama kembang telon dan sepijar ublik-nya.
Tak hanya dunia pesantren, paling tidak, dua keraton pewaris kekuasaan Mataram pun mengkeramatkannya. Dapat kita saksikan di setiap bulan sela (Dzulhijah), kirab sekaligus jamasan pusaka di Kadilangu dilakukan secara njawani.
Sangat terasa bahwa di Kadilangu agama Islam dan budaya Jawa seperti bersinggungan tanpa ada sedikit pun ganjalan yang berarti. Kalangan pesantren dan penganut kapitayan seolah berbaur tanpa sekat. Dengan caranya masing-masing mereka ngalap berkah (tabarukan) pada Sang Sunan.
Maka tak salah apabila dalam konsep mandala Majapahit yang kemudian diadopsi oleh Demak, Kalijaga menempati maqam Wisnu yang berlatar warna wulung (hitam). Perannya, selain sebagai pendakwah dan pengkader, adalah juga sebagai penyambung segala perbedaan (lihat https://alif.id/read/hs/demak-dengan-luwes-mengadopsi-tata-spiritual-politik-mandala-b222721p/)
Dalam setiap tarekat yang kental dengan nuansa Timur Tengahnya, tak lumrah memang (1) membuat wirid yang dominan bahasa Jawanya, dan (2) melakukan praktik semedi (maladi hening) sebagaimana penganut kapitayan atau Hindu dan Buddha.
Ada satu cerita tutur mengenai bentuk semedi ini. Dahulu kala ada istilah “kyai” dan “kiniyai.” Yang pertama mengacu pada agamawan yang dipandang tak melakukan praktik yang oleh awam dianggap menyimpang. Sedangkan yang kedua identik dengan apa yang di masa kini dikenal sebagai praktisi “klenik.”
Dari cerita tutur tersebut, saya menyimpulkan bahwa di masa walisanga ada dua macam corak pendekatan keagamaan—atau lebih runcing lagi: spiritualitas. Yang pertama saya analogikan dengan pendekatan yang bermula dari ranting-cabang-batang-akar-biji. Sedangkan yang kedua sebaliknya, beranjak dari biji-akar-batang-cabang-ranting. Pendekatan yang pertama ditempuh oleh mayoritas walisanga dan yang kedua diambil oleh Syekh Siti Jenar.
Bagi penganut pendekatan yang kedua, resiko orang yang mengambil pendekatan pertama akan kandeg (berhenti) pada sekedar ranting yang memiliki banyak jalur yang justru dapat menyebabkan kesrimpet fanatisme dan absolutisme kebenaran.
Yang kedua, memang, ketika bijinya sudah ketemu—yen agal tan kena winalang, yen lembut sak mrica jinumput—akan mengakibatkan pula penyepelean pada akar-batang-cabang-ranting, yang sudah pasti pula—di masa silam—akan mengakibatkan tuduhan seperti yang menimpa Siti Jenar maupun Pangeran Panggung: menyebabkan kosongnya masjid. Istilah “kiniyai” inilah yang kemudian disematkan pada para penganut pendekatan sebagaimana yang ditempuh oleh Siti Jenar.
Kalijaga, dengan melihat segala sepak-terjangnya selama ini, berusaha memadukan dua pendekatan tersebut. Ia berdiri di ruang ambang antara mayoritas walisanga dan salah satu mertuanya sendiri: Siti Jenar.
Barangkali, gelar “Kalijaga” tak ada urusannya dengan sungai ataupun nama sebuah wilayah, melainkan aliran atau paham yang sudah menjadi tugasnya untuk dijaga. Itulah kenapa Kalijaga adalah satu-satunya wali yang diterima baik oleh penganut Islam (santri) dan kapitayan. Secara historis, ia—dengan berbagai modal yang dimiliki—mampu melintas batas di antara keduanya. Secara metaforis, itulah arti dari hidup di dua alam.
Seonggok sela palenggahan di Kadilangu merupakan saksi bisu bagaimana seorang Kalijaga tak sekedar mampu hidup dalam perbedaan, melainkan juga menganyamnya, seperti saka tatal yang merupakan karya instalasi peninggalannya di masjid Demak: meski terdiri dari serpihan kayu sisa tapi masih dapat dilihat gambar besarnya yang sama-sama menjulang laksana huruf alif.
Barangkali, serpihan kayu sisa itu hanyalah potongan kebenaran di mana ketika dianyam akan mencerminkan “Kebenaran”—arabe diwaca, jawane digawa (nusantara). (SI)